•Dua Puluh Dua•

6.1K 639 28
                                    

"Kok bisa tau.."

"Kok bisa tau ulang tahun kamu ya?" Tanya Anggiana menyela Mahardhika.

Mahardhika mengangguk pelan, benar. Darimana mereka tau hari ini adalah ulang tahunnya?

"Tiara Dik, tadi gak sengaja Tiara bilang hari ini ulang tahun lo." Kali ini Fachri menjawab.

"Untung gua lagi gak sibuk Dik, jadi bisa kesini makan enak masakan bunda Adam. Hahaha" Dirga berkata sambil tertawa pelan.

"Parah Dirga, gak ada tau dirinya sama sekali." Ucap Adam.

"Emang harusnya jual aja gak sih temen kaya gini?" Fachri mendorong pelan bahu Dirga.

"Ada-ada aja yaampun kalian ini. Ini hayoo makan kuenya." Ucap Anggiana dengan menyuapi sepotong kue cokelat ke mulut Mahardhika.

Mahardhika menerimanya dengan senang hati.

"Makasih bunda.."

"Iya.. yaampun makasih mulu. Sini deh ikut bunda." Anggiana menarik Mahardhika agar lebih dekat dengannya.

"Sekarang giliran bunda, bunda mau bilang makasih ke kamu." Ucapnya sambil mengusap kepala Mahardhika lembut.

Mahardhika menatap Anggiana, "Buat?"

Anggiana tersenyum, "Makasih udah mau bertahan sampai sekarang. Makasih udah jadi anak hebat yang bunda kenal. Bunda bangga!" Anggiana berujar pelan sambil mengusap-usap kepala Mahardhika kemudian Anggiana memeluk Mahardhika sayang.

Mahardhika tidak berkata apa-apa, yang ia lakukan hanyalah membalas pelukan Anggiana.

Nyaman sekali, ia merasa aman dan terlindungi.

"Kamu kalo capek bisa cerita ke bunda.. atau abang-abang kamu Adam, Dirga sama Fachri. Jangan di pendem sendirian."

"Kalo kamu butuh temen buat sekedar cerita, kita semua disini. Jangan ngerasa sendirian sampe mikir mau pergi ya?"

"Bunda tau pasti susah banget jadi kamu. Capek banget ya?"

"Capek bunda.. " Mahardhika berucap dengan suara yang bergetar yang masih di pelukan Anggiana.

Anggiana terdiam mempersilahkan Mahardhika bersuara.

"Mama.. ninggalin Dika.. Papa juga.."

"Katanya sayang sama Dika tapi sampe sekarang gak pernah ada waktu yang Dika dapet dari mereka.."

"Dika juga mau ngerasain makan bareng sama keluarga sambil bercanda. Bukan liatin mama sama papa berantem."

Mahardhika menghirup napasnya dalam-dalam.

"Ternyata alesan mama papa berantem itu Dika.."

"Dika egois banget ya bunda? Kalo bisa ulang waktu Dika lebih baik kaya dulu aja.. gak apa-apa kalo jarang pulang yang penting mama papa masih sama-sama.."

"Dika.. kangen mama papa.."

Pelukan lain ia rasakan dari belakang.

"Keren!! Adik kita keren Dam liat, gua bangga sama lo! Gilaaaaaa makasih udah bertahan!" Itu Fachri yang langsung menghampiri setelah beberapa lama mengamati dari jauh.

Dirga dan juga Adam ikut memeluk dengan erat.

"Dika, kalo butuh apa-apa bilang gua." Ucap Adam.

"Dika, besok mau maen ke rumah gua gak? Lo mau ketemu mama papa gua gak? Kita ketemu besok!" Ajak Dirga.

Mahardhika mengangguk pelan.

Namun yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana Mahardhika kembali merasakan sakit di perutnya. Sedari tadi ia berusaha menahan, namun kali ini tampaknya ia sudah tidak tahan.

Ditambah dengan rasa mual yang membuat Mahardhika seketika memegang perutnya refleks.

Mahardhika mengaduh sambil terus meringis kesakitan.

"Kenapa?" Tanya Anggiana panik sambil menyentuh wajah Mahardhika yang tengah menunduk.

"Dik!" Teriak Adam menangkap tubuh Mahardhika yang terduduk lemas di lantai.

"Sa.. kit.." Lirihnya di ambang batas kesadaran.

"Sakit banget.." Ucapnya lagi dengan bibir pucatnya.

Setelah itu Mahardhika tidak merespon apa-apa lagi ketika mereka berulang kali bertanya.

Mahardhika hanya meringis kesakitan dengan mata yang terpejam. Anggiana menyentuh dahi Mahardhika dan merasakan hawa panas disana, yang membuat Anggiana terkejut adalah melihat bagian perut anak itu terlihat membengkak.

Anggiana menyentuh perut kanan bagian atas dan Mahardhika refleks mengaduh kesakitan.

Tangan Anggiana bergetar, ia juga baru menyadari kalau kulit anak itu sedikit berwarna kuning.

"Ada yang gak beres, langsung bawa ke rumah sakit aja!" Anggiana berujar sambil membantu Adam membawa Mahardhika.

Di dalam mobil Anggiana duduk di kursi belakang dengan Mahardhika dan juga Fachri.

"Ngg.. sakit.."

"Iya.. tunggu sebentar ya? Anak baik anak kuat.."

"Dam! Hati-hati!" Sentak Anggiana ketika Adam tidak sengaja hampir menabrak orang.

"Maaf bunda.." Adam panik, tidak tau harus bagaimana cara meredakannya. Sampai akhirnya tidak fokus dan tidak sengaja hampir menabrak.

"Gua aja yang bawa Dam." Ucap Dirga yang berada di pinggirnya.

"Gak apa-apa gak usah, gua bisa kok. Ini lama lagi kalo tukeran."

"Iya juga."

"Bunda.. mual banget.." lirihnya.

"Gak kuat banget?*

"Berhenti bunda.. Dika gak eungh.. gak kuat.."

"Sabar ya, sebentar lagi hmm? Sebentar.." Ucap Anggiana sambil mengusap kepala anak itu.

Saat sampai di rumah sakit Mahardhika langsung masuk ke UGD untuk segera ditangani, dan selama di UGD Mahardhika terus mengeluh mual.

Mahardhika kelelahan dan berakhir kehilangan kesadaran.

••••

"Pertama kita lakuin tes darah, kita liat fungsi hati nya. Lalu selanjutnya kita coba CT Scan di bagian perutnya." Ucap Tiano sebagai dokter di bagian UGD yang lebih muda empat tahun dari Anggiana.

"Kakak tau kan.. ini gejalanya mengarah ke penyakit apa?"

Anggiana mengangguk pelan, walaupun tidak ingin menerima kenyataan, tetap saja kebenaran tetaplah kebenaran yang tidak seharusnya di abaikan.

"Kakak tenang, ini belum pasti kok. Berdoa saja semoga bukan." Ucapnya lagi seolah menenangkan seniornya itu.

Tiano tidak tau siapa anak laki-laki yang sampai membuat Anggiana terlihat begitu khawatir. Tiano tidak ingin ikut campur, yang jelas Anggiana memang terlihat menyayangi anak itu seperti bagaimana Anggiana menyayangi Adam anaknya.

"Untuk sekarang keadaannya udah stabil, kak Anggiana bisa liat dia sekarang kalau mau."

"Iya, Makasih ya Tian.."

"Sama-sama. Sudah tugasku juga menolong orang."








•TO BE CONTINUED•

•••

A/n: Ya Allah ini kalo gak jelas skip ya guys, merasa ngawur untuk kesekian kalinya 😭🙏

Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang