Beberapa kali Mahardhika meminta maaf kepada orang yang sudah tidak sengaja ia tabrak saat berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Yang pasti ia kini tengah kepayahan.
Hingga akhirnya ia sampai pada ruang dimana Azka, calon adiknya berada.
Ia tanpa ragu mendorong pintu di depannya, Mahardhika menahan nafasnya sejenak, kemudian ia menghembuskannya dengan lega saat melihat anak itu baik-baik saja.
Tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya, dimana Mahardhika sudah dihantui dengan bayang-bayang bahwa keadaan anak itu akan sangat mengkhawatirkan dengan banyak luka akibat di serang banyak orang.
Mahardhika lega. Setidaknya keadaan yang sebenarnya. Anak itu terlihat baik, walaupun dengan tangan kanan yang tampak terluka disana.
"Ngapain?"
Seperti biasa. Anak itu bertanya dengan angkuhnya. Nyaris saja Mahardhika membuka mulutnya untuk menghujat habis-habisan anak di depannya itu.
"Ngapain katanya?! Gila aja lo. Lari dari luar ketar-ketir sampe kaki gua rasanya mau copot. Nanya ngapain?!"
Ucap Mahardhika dalam hati, jika saja ia tidak menahan emosinya. Mungkin akan lebih banyak umpatan yang siap meluncur dengan lancar dari mulutnya.
Mahardhika menghirup napas dalam-dalam, "Lo Oke?"
"Gak. Patah tangan doang."
Doang.
"Orang tua lo sama gua bentar lagi pulang. Lo beneran patah tangan doang? Apa masih ada yang lain?"
"Gak. Ngapain sih, gak usah so peduli. Pergi aja gak apa-apa. Gua bisa sendiri."
"Gua juga maunya gitu. Ogah banget kudu ngurusin lo." Mahardhika memutar bola matanya kesal.
"Gua juga bukannya mau."
"Terserah."
Mahardhika menyerah. Tidak ingin menyahut lagi, ia lebih memilih mendudukkan dirinya di sebuah sofa berwarna cokelat yang terletak di ujung ruangan.
Lama kelamaan jenuh juga, karena tidak ada seorangpun yang berniat membuka suara. Mahardhika lebih baik memanfaatkan waktunya dengan tidur. Lambat laun ia memejamkan matanya juga.
Persetan dengan Azka. Anak itu tengah tenang dengan alunan musik yang tampak ia dengarkan dari sebuah earphone disana.
Walaupun yang sebenarnya, Azka sama sekali tidak mendengarkan apa-apa dari earphone miliknya. Diliriknya Mahardhika yang sudah terlelap, kemudian ia juga memutuskan untuk ikut tidur juga. Setidaknya rasa ngilu dan pegal di tangan kanannya sedikit berkurang ketika ia tertidur.
....
Dua jam kemudian Azka terbangun dan melihat sekitar, tidak terlihat siapa-siapa di ruangannya, termasuk Mahardhika.
Ia melirik earphone miliknya yang berada di atas meja. Padahal sebelumnya, itu masih terpasang di telinganya. Ia ingat betul.
Azka memutar bola matanya malas, "Ckh, so peduli."
Tak lama setelah itu sosok Mahardhika muncul dari luar dengan santainya.
Mahardhika tidak berniat mengatakan apa-apa, tidak pula berniat memerhatikan sekitarnya termasuk Azka yang sedari awal memerhatikan kedatangan Mahardhika.
"Lo kalo butuh sesuatu, bilang aja." Ucapnya tanpa menatap Azka.
Ia tetap mengatakan hal itu walaupun ia tau jawaban yang akan anak itu berikan padanya.
Ia juga tau persis bagaimana wajah angkuhnya yang turut serta mengambil kesan menyebalkan milik Azka.
Tak ada jawaban apa-apa, terserah. Ia tidak peduli.
Azka menekan tombol bantuan yang ada di pinggir ranjangnya. Tak lama seorang perawat laki-laki datang ke sana.
Mahardhika mengerutkan keningnya bingung.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" Tanya perawat itu.
"Saya mau ke toilet."
"Anak setan."
Mahardhika berkali-kali menarik napasnya dalam-dalam.
Nyatanya sampai besok pun sama. Anak itu sama sekali tidak menganggap kehadiran Mahardhika disana.
Seketika Mahardhika jadi semakin malas menemani anak itu disini. Jika saja itu bukan perintah ayahnya, ia sama sekali tidak sudi menginjakkan kakinya disini.
Pukul sepuluh pagi, ia pergi menuju kampusnya. Tanpa perlu berbicara pada anak itu. Karena Mahardhika rasa, anak itu tidak peduli akan ada ataupun tidak adanya dirinya disana.
Seperti biasa ia memasuki kelasnya dan mulai memerhatikan dosen di depannya dengan seksama.
Di perjalanan menuju keluar, Mahardhika tak sengaja berpapasan dengan Tiara yang kini menundukkan kepalanya.
Mahardhika jadi semakin tidak enak kepada gadis itu. Walaupun gadis itu yang memutuskannya, tetap saja Mahardhika yang jadi penyebabnya.
Ia sungguh takut melukai perasaan seseorang, akan tetapi ia juga tidak mau menjalani hubungan atas dasar keterpaksaan.
Maka dari itu ini lebih baik ia rasa.
Aneh sebenarnya jika dipikir. Biasanya akan ada Tiara yang berisik di sampingnya, kini Tiara seolah tengah menjauh.
Mahardhika mengalihkan pikirannya, biasa juga seperti ini. Tidak ada teman. Maka seharusnya yang ia lakukan adalah bersikap seperti biasa saja karena sedari awal pun ia selalu kesepian.
Setibanya ia di rumah sakit lagi, Mahardhika tercekat saat di dalam ruangan sudah terdapat Tante Wilma dengan dua orang lelaki dan wanita tua yang tengah mengusap lengan Azka disana.
"Siapa itu?" Tanyanya dalam hati.
Tidak ada sang ayah, maka dengan pasti ia menghampiri Wilma dan kedua orang tua itu untuk ia ajak bersalaman.
Wilma menerima uluran tangan Mahardhika sekilas dengan wajah yang ia palingkan.
Kemudian ia menghampiri orang tua yang sepertinya adalah kakek juga nenek dari Azka.
"Siapa ini Wil?" Tanya sang Kakek.
"Anaknya Mas Bara."
"Ohh?" Ujar sang nenek dengan tatapan yang berhasil membuat Mahardhika serasa terpojok disana.
Mahardhika benci ketika kedua kaki dan juga tangannya bergetar karena gelisah. Tatapan intimidasi dari nenek itu benar-benar membuatnya jadi gelisah sendiri.
Seperti biasa ia menggaruk ibu jarinya dengan telunjuk miliknya. Seperti yang selalu ia lakukan ketika gelisah.
Tak aneh bila tangan miliknya sering terasa perih akibat luka yang diciptakan olehnya sendiri.
Ia menunduk,
"Tolong jadi anak yang baik ya? Jangan sampai buat cucu saya kaya gini lagi lain kali. Kamu yang lebih tua kan? Jadi kamu bertanggungjawab untuk menjaga yang paling muda. Saya harap kamu mengerti." Ujar sang nenek, Mahardhika ingin menjawab. Jika saja yang berbicara bukan orang tua.
Apa-apaan ini? Ia tidak bertanggungjawab atas apapun. Bertanggungjawab dengan diri sendiri saja Mahardhika tidak mampu, apalagi untuk orang lain.
•TO BE CONTINUED•
•••
A/N: Ini ngetiknya sambil ngantuk, maklum nempel sama bantal bawaannya emang begindang ㅠㅠ
Astaghfirullah, real nulis sambil halu. Gak aneh kalo ceritanya gak jelas🤯
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Teen Fiction"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...