Terdiam cukup lama, tak ada salah satupun yang mau membuka suara setelah beberapa waktu lalu Bunda meninggalkannya.
Adam juga Mahardhika sama-sama terdiam tanpa tau apa yang harus ia ucapkan untuk memulai percakapan.
Adam sudah gondok sekali dengan hanya duduk disana. Lama-lama ia mengantuk, ia meletakan ponselnya saat dirasa tidak ada yang menarik dari sana. Tapi pada akhirnya ia membuka kembali ponselnya. Padahal ia tahu sebelumnya, bahwa tak ada satupun yang menarik perhatiannya.
Adam memang sering diperintahkan untuk menemani pasien yang sang ibu tangani di rumah sakit ini. Mungkin sekalian mengenalkan dirinya kepada orang lain. Adam juga memanfaatkan hal tersebut untuk bisa selalu bertemu dengan sang ibu.
Hingga pada hari ini, Adam tenggelam dengan isi pikirannya sendiri.
Miris memang, anak remaja seusia dia sudah mencoba melakukan percobaan bunuh diri, mau bagaimana nanti? Pikir Adam.
Jadi sedari tadi Adam terdiam karena ia merasa takut salah berbicara. Kata Bunda, anak itu tiba-tiba akan menjadi sensitif terhadap sesuatu.
Takut saja tiba-tiba kata-kata yang keluar dari mulutnya malah membuat anak itu semakin menderita.
Kemudian ia tiba-tiba berpikir sesuatu, kemudian ia mulai menimang-nimang untuk mulai angkat bicara.
"Boleh ga gua ajak temen-temen gua kesini?" Ucapnya.
Mahardhika otomatis menoleh saat Adam berbicara. "Kalo gak mau gak apa-apa.."
"Boleh.." ujar Mahardhika dengan binar semangat dimatanya.
"Boleh banget!"
Adam melihat itu. "Oke bentar.."
Adam menelpon satu-persatu temannya yang berkenan datang ke sini. Tanpa disangka mereka semua mau datang.
Adam lega, padahal sebelumnya ia takut jika teman-temannya tidak ada yang mau datang. Ia pasti akan malu karena sudah secara tidak langsung menjanjikan teman-temannya untuk datang.
Melihat binar semangat milik anak itu tadi, Adam jadi tidak enak sekali bila tidak menepatinya.
Tak butuh waktu lama Fachri juga Dirga datang dengan masing-masing membawa sebuah bingkisan disana.
"Oyy, Hallo.. kenalin, Dirga. Temen Adam." Ucap Dirga sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Mahardhika dengan semangat menjabat tangan itu, "Mahardhika Adiatama." Ucapnya menyebutkan nama panjang miliknya.
Tak lama suara tawa muncul begitu saja. Dirga, Fachri, juga Adam adalah penyumbang tawa disana.
Sedangkan Mahardhika terdiam bingung di tempatnya. "Kenapa?" Tanyanya dengan polos.
"Hahaha, enggak enggak. Sorry ya Mahardhika. Selera humor aki-aki emang gini." Itu Fachri yang menjawab sambil masih mengatur napasnya.
"Kenalin ya Fachri Ferdinand Wardana. Panggil gua Fachri."
"Ulang ulang deh, Dirga Baskara. Panggil Dirga ya?"
Anak itu mengangguk mengerti. "Panggil Dika, Mahardhika, Adi, Tama, apapun itu. Senyaman kalian." Ucap Mahardhika.
"Nahh, lain kali santai aja. Kaya perkenalan sekolah aja, kaku gitu pake nama panjang. Tapi gak apa-apa sih. Bagus." Fachri berucap sambil menepuk pundak Dika dengan pelan.
"Nahh iya, sorry ya tadi kita ketawa."
"Gak apa-apa. Makasih banyak udah mau dateng!" Mahardhika tersenyum. Manis. Manis sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Teen Fiction"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...