•Tiga Puluh Dua•

5.5K 638 34
                                    

"Gimana Yun?" Ujar Anggiana langsung setelah menghampiri Yunia.

"Hemothorax."

"Kok bisa?"

"Kayanya gumpalan darah beku yang ngalir ke paru nya kak. Aku gak tau pasti, tapi aku rasa ada yang salah sama anak ini kak." Jawab Yunia sambil memantau keadaan Mahardhika.

"Maksud kamu?"

Yunia menghembuskan napasnya,"Kita liat nanti ya kak? Sekarang aku belom bisa mastiin apa yang terjadi sama anak ini. Ayo kita berdoa yang terbaik buat dia."

"Sekarang dia gimana?" Tanya Anggiana sambil menggenggam tangan Mahardhika yang terasa lebih hangat dari biasanya.

"Buat sekarang dia baik-baik aja. Nanti aku akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut sama dokter spesialis buat sekedar memastikan. Semoga gak sesuai sama yang aku pikirkan."

Adam masuk setelah beberapa saat lalu dokter keluar.

"Gimana dia bun?"

"Hemothorax dam."

"Hemothorax?" Adam mengernyit tidak mengerti.

"Sama kaya pneumothorax. Tapi yang ini darah. Bukan udara."

"Dia bakal diperiksa lebih lanjut karena diduga ada sel abnormal di parunya."

"M-maksud bunda?"

"Kanker paru-paru."

Adam tersentak pelan, terdengar sangat mengerikan. Berulang kali ia berkata dalam hati berusaha meyakinkan diri bahwa ini baru hanya sebuah dugaan. Bukan kenyataan.

Masih ada harapan kalau semua ini tidak benar.

"Segera hubungi keluarganya. Apapun yang terjadi, setidaknya mereka tau keadaan anak ini bagaimana."

•••

"Kamu pikir saya percaya? Suruh anak itu pulang kalau memang masih mau pulang. Gak usah pake bilang dia sakit supaya saya luluh." Ucap Bara menjawab seluruh ucapan Adam yang sepenuhnya memberitahukan keadaan Mahardhika.

Walaupun sebenarnya Adam bertatap muka saja sudah muak, mengingat betapa arogannya ayah dari Mahardhika.

Adam menatap Bara tidak percaya. Bagaimana bisa ia berbohong tentang nyawa seseorang?

Adam mengepalkan tangannya berusaha menahan amarah. Menahan agar tidak menonjok laki-laki di depannya.

"Kalau anda tidak percaya. Tolong datang ke rumah sakit untuk sekedar memastikan. Itupun jika anda masih memiliki rasa peduli anda kepada anak anda."

Kemudian Adam meninggalkan tempat itu tanpa permisi. Menandakan betapa marahnya dia.

"Tolol."

Adam hendak memukul sebuah tiang lampu jalanan untuk meluapkan amarahnya, namun terhenti ketika melihat Azka yang kini ada di hadapannya.

"Ngapain?"

Azka menelan ludahnya, "Gue..mau liat dia.."

"Buat apa?"

Adam kini terkesan bertanya dengan ketus, padahal sebenarnya tidak. Mungkin saja itu karena ia sedang emosi saja. Tapi sayangnya Azka terlalu mengambil hati, bahkan kini ia hanya terdiam.

Dan Adam merasa bersalah karena itu.

"Ayo."

"Hah?"

"Katanya mau liat Mahardhika, gimana sih?"

•••

"Gua keluar dulu."

Adam pergi meninggalkan Azka sendirian bersama Mahardhika yang masih menutup matanya.

"Sorry.." Azka berujar lirih.

Matanya menatap sebuah selang yang ada di tubuh Mahardhika. Ia juga memerhatikan betapa pucatnya tubuh itu.

Azka kembali berpikir, jika saja hari itu Mahardhika memilih mengabaikan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya. Mungkin keadaan akan berbeda.

Mungkin saja Mahardhika kini akan baik-baik saja.

Itu yang Azka pikirkan.

"Sorry buat semuanya Dika..ini salah gua.."

"Lo..jangan kaya gini, gua takut.." Ucapnya bergetar menahan tangisnya.

"Coba aja hari itu lo gak bantu gua, lo hari ini gak bakalan kaya gini."

"Cob--"

"Coba aja hari itu gua gak bantu lo, gua bakalan nyesel seumur hidup gua." Mahardhika memotong ucapan Azka dan membuka matanya.

"Walaupun gua gak boleh berburuk sangka, tapi bokap lo keliatan mau bunuh lo hari itu juga."

Azka terdiam mendengarkan suara pelan Mahardhika yang tampak kepayahan.

"Tapi kenapa?"

"Gua bukan siapa-siapa lo. Dan lo juga bukan siapa-siapa gua."

"Lo adek gua. Adek tiri gua. Kalopun orang lain juga gua bakal tetep berusaha bantu selama gua mampu."

"Tapi gara-gara bantuin gua lu jadi kaya gini Dika.."

"Gua kaya gini karena gua sendiri Azka. Stop bilang gitu."

Kini tarikan napas Mahardhika lebih dalam lagi, seperti kelelahan sehabis berlari jauh.

Suara napasnya seperti itu.

Azka mulai terlihat panik melihat keadaan Mahardhika.
Ia hendak menekan tombol darurat namun tangan Mahardhika segera menahan tangannya.

"Gua.. gak apa-apa.."

Beberapa menit kemudian, napas Mahardhika kembali normal. Walaupun masih terasa sesak, tapi setidaknya tidak sesesak tadi.

Dan sejauh yang ia tau, ini wajar.

Cukup lama terdiam akhirnya Mahardhika kembali membuka suara.

"Az.."

"Gua tau susah banget,dan kesannya kaya gak tau diri gua ngomong ini. Tapi tolong jangan kaya gini.." Ucap Mahardhika sambil menunjuk lengan Azka yang tertutup jaketnya.

Azka terdiam, tidak mau menjawab karena ia juga ingin menghentikan kebiasaan buruk tersebut. Namun jawabannya tetap tidak bisa.

Kemudian kedatangan Anggiana mengalihkan perhatian mereka.

Anggiana menyapa Azka dengan senyuman miliknya.

"Ini yang namanya Azka?"

"Iya Dokter.."

"Oh iya.. Mahardhika mau ada pemeriksaan dulu ya, sebentar."

"Iya dok, saya permisi dulu kalau begitu."

"Iya.."

Setelah Azka keluar, Anggiana mengusap lengan Mahardhika.

"Mau pemeriksaan apa bunda?"

"Rotgen sama biopsi. Gak apa-apa ya nak ya?"

Mahardhika mengangguk, memang jika Mahardhika menolak, dapat keuntungan apa dia?




















•TO BE CONTINUED•

•••

A/n: Problem pas nulis: Udah ada ide, nanti ceritanya mau gini, mau gitu, kesana, kemari. Ehh mager ngetik. Kelakuannya siapa? Iya saya☺️☺️



















Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang