"Apaan sih Dik? bunda bakalan pulang. Gak usah mikir aneh-aneh."
"Bunda.. sama lo susah gara-gara gua kan? Gue ngebebanin kalian."
"Berapa kali kita harus bilang kalo lo itu bukan beban."
"Tapi kenyataannya gua beban. Beban buat semua orang termasuk kalian."
Mahardhika menarik napasnya pelan saat berbicara sambil menahan tangisnya.
"Dik.."
"Kalo tante itu dateng lagi, tolong bilang gue bakal ikut sama dia."
"Dik!"
"Jangan bikin gua makin keliatan gak berguna bang..gua gak bisa bikin kalian ikut susah.."
"Istirahat Dik. Nanti gua balik lagi." Adam memilih mengakhiri pembicaraan mereka dengan langsung melangkah keluar untuk sekedar mendinginkan kepalanya.
Ia kemudian melirik sebentar Mahardhika yang menarik selimutnya sampai ke atas seperti biasa sebelum benar-benar pergi.
•••
"Bunda.." panggilnya saat ia berhasil menemui Anggiana yang berada di penjara.
"Adam? Kamu kok disini?"
Adam hampir menangis saat itu juga saat melihat Anggiana yang sedikit lebih kurus dari biasanya. Padahal baru tiga hari dirinya tidak bertemu dengan sang ibu. Dan keadaannya sudah sampai seperti ini.
"Bunda, gak apa-apa?"
"Hm. Bunda gak apa-apa sayang.. bunda udah telpon pengacara bunda juga. Kamu tenang aja ya?"
Adam menatap sang ibu, kalau saja ia bisa, maka ia akan mengeluh sesuka hatinya kepada Anggiana.
Namun melihat bagaimana kantung mata itu menghitam, bagaimana senyum manis yang sedikit dipaksakan, Adam mengurungkan niat tersebut dan memilih menyimpannya sendiri.
"Gimana adik kamu?"
"Baik. Dia baik-baik aja. Bunda tenang aja."
"Bunda..udah makan?"
"Udah. Kamu udah makan?"
"Udah." Ucapnya memilih berbohong kepada Anggiana.
Kenyataannya ia belum memakan sesuap nasi pun ke dalam perutnya saat ini.
"Adam, kamu jangan lama-lama tinggalin adek kamu. Lebih baik kamu cepetan kembali ke rumah sakit. Bunda takut Dika digangguin lagi sama wanita itu."
"Iya Bunda, kalo gitu Adam pamit. Bunda baik-baik. Jangan sampe sakit."
•••
Napas Adam tercekat saat tidak menemukan Mahardhika di ruangannya, tiba-tiba menjadi panik sendiri mencari Mahardhika dimulai dari mencari di kamar mandi, dan tidak menemukan siapapun di dalamnya.
Ia berlari di sepanjang jalan mencari-cari seseorang yang selalu ia kenal walaupun dari kejauhan.
Berkali-kali bertanya pula pada perawat dan orang-orang disana apakah mereka melihat anak itu atau tidak.
Pikirannya sudah jelek. Sepertinya wanita itu sudah diam-diam membawa Mahardhika pergi saat ia sedang tidak ada.
Ia memijat keningnya yang tiba-tiba terasa sakit. "Please. Gua bakalan ngerasa bersalah banget gara-gara ninggalin lo tadi. Kalo lo beneran dibawa wanita itu. Sekalipun dia itu ibu lo."
Ia tersentak saat ada sebuah panggilan masuk dengan nomor tidak dikenal disana.
"Halo?"
"Adam. Ini saya, Bara. Ayah Mahardhika."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Jugendliteratur"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...