"Bunda.. serius?" Tanya Adam ragu perihal semua yang diceritakan ibunya barusan.
"Iya Adam, anak itu melakukan percobaan bunuh diri. Bunda aja kaget."
Adam terdiam, malang sekali pikirnya. Mau bagaimanapun pasti masalah yang telah dilewatinya itu begitu berat sampai-sampai membuat ia berani seperti ini.
"Terus Bunda.. dia selamat?"
"Ya. Tapi Bunda gak yakin anak itu masih mau bertahan atau tidak."
••••
Sepuluh hari kemudian Anggiana sebagai dokter tentu merasa lega saat pasiennya yang sempat ia ragukan perjuangannya. Bangun lebih cepat dari yang ia kira.
Mahardhika membuka matanya pagi ini, tentunya dengan raut wajah yang begitu bingung apalagi saat ia berikan pertanyaan perihal apa yang tengah dirasakan secara pelan-pelan agar tidak membuat anak itu kebingungan.
"Dika keren loh.. bisa berjuang sampai sejauh ini." Ucap Anggiana seraya tersenyum hangat.
"Nah, sekarang apa yang Dika rasa? masih sesak ga?" Tanyanya yang kemudian dijawab anggukkan kecil olehnya.
Anggiana kembali tersenyum, "Gak apa-apa, nanti juga sembuh..ini jangan di lepas ya?" Ucapnya sambil menunjuk Nasal Cannula yang terpasang apik di hidung anak itu.
Mahardhika mengangguk kecil lagi sebagai jawabannya.
"Nah, sekarang kamu istirahat lagi.. nanti Papa kamu Dokter panggilkan kesini."
Baru saja hendak pergi, tangan anak itu menggenggam erat tangannya.
"Hm? Kenapa?"
"Jangan.. tinggalin Dika.." Ucapnya pelan sekali, hampir mirip seperti bisikan.
Anggiana senang anak ini mulai membuka suaranya, "Engga kok, nanti Dokter kesini lagi.. gak akan ninggalin Dika."
"Takut Papa.."
"Heung?" Anggiana mengusap pelan lengan anak itu. "Papa gak akan marah, Papa malah bangga sama Dika yang udah mau bertahan. Serius deh.."
Tampak raut kecewa disana, namun Mahardhika tidak mengatakan apa-apa dan melepas pegangannya begitu saja.
Anggiana cukup terkejut, perubahan suasana hatinya begitu tiba-tiba. Namun Anggiana tau bahwa itu normal bagi anak yang baru melakukan percobaan bunuh diri.
"Sebentar, Dokter panggilkan Papa kamu dulu.."
Tak lama kemudian sang ayah masuk.
"Dika.. nanti Dokter kembali lagi."
Mahardhika diam tidak mengatakan apa-apa, namun diam-diam kini tangannya tengah mulai bergetar dan kemudian memegang erat pada selimut yang dipakainya.
Sedangkan sang ayah, ayahnya kini hanya menatap Dika dengan seksama.
"Papa.." Ucapnya ragu
"Gak apa-apa, Papa maafin.. asal jangan kaya gitu lagi ya? Papa takut sekali."
Sesaat hatinya terasa hangat, ketika sang ayah mengkhawatirkan dirinya.
"Jangan kaya gitu lagi. Papa juga capek, tapi Papa tidak pernah sebodoh itu untuk melakukan hal seperti yang kamu lakukan. Jangan buat Papa seolah-olah gagal mendidik kamu."
Ucapan sang ayah memang benar, namun entah mengapa itu terasa lebih menyakitkan. Sebenarnya ada rasa sesal yang begitu besar saat mengetahui bahwa dirinya masih baik-baik saja sampai sekarang. Karena niatnya sedari awal memanglah pergi tanpa kembali.
Maka setelah mendengar ucapan ayahnya barusan, ia memilih diam tanpa ada niatan berbicara sekalipun menjelaskan keadaannya.
Dika rasa, siapapun tidak akan pernah mengerti. Kecuali Tuhan dan juga dirinya sendiri."Mama.. dimana?" Ucapnya memilih mengalihkan pembicaraan. Walaupun ia tau bahwa pertanyaan yang ia lontarkan barusan sama saja akan tetap memancing emosi ayahnya.
Salahkan saja mulutnya yang refleks bertanya demikian.
"Gak ada. Dia pergi kerja. Cih, Mama kamu itu lebih mementingkan pekerjaannya. Sadar Dika, untuk apa menanyakan dia."
Benar juga.
Tapi setidaknya ia sudah menaruh harapannya bahwa setidaknya disaat seperti ini ibunya ada disisinya.
"Jadi jangan mencoba hal seperti ini lagi lain kali. Sudah Papa bilang, hal-hal seperti ini tidak akan mengubah apapun. Kamu itu sudah besar, sudah bukan waktunya lagi kamu takut menghadapi segala hal. Belajar dari sekarang. Jangan hanya mati yang ada dipikiran kamu sebagai jalan akhirnya."
"Renungkan baik-baik, Papa ke kantor dulu. Baik-baik di sini."
Terlalu banyak berbicara, sampai tidak sadar bahwa Mahardhika kini menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil terus meremat selimutnya.
Ia kini membaringkan tubuhnya dan menutup menarik selimutnya sampai kepala. Kemudian meringkuk menangis disana.
Ia terbatuk berkali-kali saat dirasa sesak. Ia ingin berhenti menangis, namun mengapa rasanya semakin ia mau berhenti, Semakin banyak pula air mata yang keluar dengan sendirinya.
••••
"Dika? Sayang, jangan gini ya nak.. tenang ya.. ini nanti sesek loh." Ucap Anggiana yang entah sudah berapa kali mencoba membujuk anak tersebut.
Anak yang hanya terdiam dibalik selimutnya, hanya ada suara isakan saja yang tentu membuat Anggiana sedikit panik.
"Dika, coba cerita kenapa? Siapa tau dokter bisa bantu.."
Tetap tak ada jawaban disana, sekeras apapun ia menarik selimut pun usahanya akan tetap sia-sia.
Ia perlu membuat anak itu membuka selimut dengan sendirinya.
Anggiana menghembuskan napasnya lelah,"Dika? Mau denger cerita Dokter ga? Dokter bekerja disini sudah lama loh.. Dokter punya anak seumuran kamu. Namanya Adam, dia suka panggil Bunda ke dokter. Dia nakal banget sampe dulu pernah main ke gudang terus ke kunci. Terus..kamu tau enggak apa yang terjadi?"
Ia terdiam, tidak melanjutkan ceritanya. Menunggu reaksi yang di berikan oleh Mahardhika.
Beberapa menit tak bersuara, Anggiana tersenyum lega saat anak itu sedikit membuka selimutnya. Persis seperti mengintip. Lucu sekali.
"Terus?" Ucapnya pelan.
•TO BE CONTINUED•
•••
A/n: Hai hellowh wassuppp😘
Typo dan segala ketidakjelasan mohon di maafkan 🥰🥰🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Teen Fiction"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...