•Delapan•

8.2K 819 27
                                    

"Lain kali Bunda ajak Adam maen kesini."

"Bunda.."

"Hm?"

"Boleh..panggil Bunda?" Ucapnya ragu.

Seperti biasa, Anggiana tersenyum manis. Ia mengusap surai hitam legam milik Mahardhika.

"Boleh.. boleh banget!"

Kemudian seseorang datang dengan kacamata hitamnya. Berjalan angkuh menuju ranjang Mahardhika.

Anggiana mengerti, ia menyentuh tangan Mahardhika dengan mengisyaratkan bahwa ia akan undur pergi.

"Ini Mamanya Mahardhika?"

"Iya saya Mama nya Mahardhika."

"Kalau begitu saya permisi, silahkan berbincang. Dika, nanti Bunda kembali lagi."

Sepeninggalan Anggiana. Farra, menurunkan kacamatanya. Memerhatikan putera semata wayangnya.

"Bunda?" Tanya sang ibu dengan sedikit bumbu intimidasi disana.

Mahardhika menunduk.

"Lupain. Gimana keadaan kamu?" Farra berucap sambil mendudukkan dirinya di bangku dekat ranjang.

"Baik Ma..Mama, gimana?"

"Menurut kamu?"

Mahardhika kembali terdiam. Tidak tau mesti bagaimana ia menjawab pertanyaan di yang diajukan oleh sang ibu sambil menatap matanya lurus.

"Mama denger kamu kaya gini karena overdosis obat, bener?"

"Iya.. Maaf Ma.."

"Sejak kapan kamu kaya gini?"

"Sedari dulu Ma.." Ucapnya dalam hati.

"Biar apa kamu ngelakuin hal kaya gini?"

"Kamu kaya anak yang gak keurus banget, jangan kaya gitu lagi. Kolega-kolega Mama sampe ngomongin di belakang Mama yang anaknya overdosis obat."

"Memangnya kapan Mama urusin aku?"

"Maaf.. Dika janji, kedepannya gak akan kaya gini lagi."

"Mungkin."  Lanjutnya dalam hati lagi.

"Bagus, kamu udah makan belom?" Tanya Farra yang dijawab gelengan kepala dari sang putera.

"Yaudah bentar." Sang ibu pergi dan kembali beberapa menit kemudian dengan membawa semangkuk bubur dan segelas air putih di tangannya.

"Ini, makan dulu." Ujarnya dengan menyodorkan mangkuk bubur itu.

Mahardhika menunjukan wajah tidak yakin saat melihat semangkuk bubur di depannya.

Farra menyadari perubahan raut wajah anak itu.

"Kenapa?"

"Enggak mau Ma.."

Farra menghela napas kasar, "Dika, kamu udah gede. Jangan kaya anak kecil yang susah nurut."

"Tapi Ma.."

"Makan cepet, bentar lagi  Mama mau ada rapat penting sama orang."

"Dika gak suka bubur Ma.."

Ia menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya dengan paksa.

Baru saja bubur itu menyentuh lidahnya, rasanya isi perutnya sudah bergejolak begitu saja.

Ia mati-matian menahan mual saat menelan bubur tersebut. Rasanya tidak enak sekali.

Ia menyuapkan kembali suapan selanjutnya, sungguh. Ia mau menangis saja. Mual sekali ia rasa.

Begitu saja seterusnya sampai pada suapan ke empat. Ia sudah tidak tahan lagi. Bahkan air matanya sudah siap turun kapan saja.

"Hmm, habiskan. Mama mau bayar tagihan rumah sakit kamu dulu. Sekalian pergi ke kantor. Mama pamit, kamu cepet sembuh." Ucap Farra dengan mengusap pipi anak itu sebelum pergi.

Begitu Farra menutup pintu, Mahardhika turun terburu-buru dari ranjangnya sesekali kehilangan keseimbangan akibat rasa pusing yang belum hilang sepenuhnya.

Akibatnya ia terjatuh di tengah perjalanan menuju kamar mandi di dalam kamar rawatnya.

Terlambat. Ia sudah tidak tahan lagi, dan ia mengeluarkan isi perutnya disana.

Mual sekali sampai beberapa kali ia muntah. Walaupun pada muntahan ke tiga dan seterusnya hanya air yang dapat ia keluarkan.

Sesak sekali, ia menangis tersedu-sedu dengan mengusap bibirnya dengan tangan bergetar miliknya. Ditambah dengan aliran darah akibat tarikan paksa selang infus miliknya.

Ia melepas baju yang ia kenakan, yang hanya menyisakan kaos putih yang menjadi dalaman baju rumah sakit yang dia kenakan barusan.

Ia menjadikan baju tersebut untuk mengelap lantai yang sudah di kotori olehnya.

Mahardhika bersusah payah bangun dan pergi menuju kamar mandi untuk mencuci bajunya tersebut.

"Lohh, ngapain Dek?"

Mahardhika refleks menutup wajahnya dan berbalik memunggungi perawat yang datang.

"Jangan kesini dulu, nanti jijik.." Ucapnya sambil terus berusaha mengelap lantai secepatnya walaupun dengan badan yang sedikit sempoyongan dan sesekali memejam.

"Ehh, gak perlu.. yaampun, ayo bangun sini naik lagi ke ranjang nya." Sang perawat berkata demikian sambil menuntun anak itu menuju ranjangnya.

"Yaampun.. kenapa? Ini juga tangannya sampai bengkak? Sakit banget pasti."  Perawat itu meniupi tangannya yang tengah diolesi oleh alkohol.

"Sebentar ya, Kakak panggil Dokter Anggiana dulu."

Mahardhika hanya mengangguk sebagai jawaban.

Tanpa butuh waktu lama, Anggiana datang.

Anggiana melirik sekitar dan langsung paham dengan keadaan.

"Kenapa bisa begini hm?"

"M--maaf.." ucapnya kaku.

"Hey.. gak perlu minta maaf, gak apa-apa kok sini sini.. mana Bunda liat tangannya.."

Anggiana tampak memeriksa tangan kiri yang membengkak itu, "Infusnya pindah ke tangan kanan ya?"

"Nanti bunda panggilkan perawat laki-laki untuk membantu mengganti baju kamu yang basah."

"Iya..

"Iya, kamu makan lagi ya? Nanti Bunda anterin ke sini."

"Jangan bubur ya Bunda.."

"Lohh, kamu terus mau makan apa?"

"Apa aja asal jangan bubur. Dika, enggak suka.."

"Permis--si.. Bunda?"

Perhatian Mahardhika juga Anggiana teralihkan begitu saja saat seseorang masuk ke kamar rawatnya.







•TO BE CONTINUED•

••••

Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang