•Tujuh belas•

5.4K 569 14
                                    

"Tolong jadi anak yang baik ya? Jangan sampai buat cucu saya kaya gini lagi lain kali. Kamu yang lebih tua kan? Jadi kamu bertanggungjawab untuk menjaga yang paling muda. Saya harap kamu mengerti."

"Bener kata mereka Dika. Papa mau kamu bersikap dewasa dan jangan hanya mementingkan diri sendiri saja." Ucap sang ayah yang baru saja datang.

Mahardhika kembali terdiam, tidak tau juga mau menjawab apa.

"Sini, Papa mau ngomong." Ucap sang ayah lagi sambil menarik tangannya.

"Jelaskan!" Ayahnya berucap dengan tegas.

"Jelasin apa pa?"

"Semuanya. Kenapa Azka bisa sampe kaya gitu?"

"Ya Dika gak tau pa.."

"Dia kan baru di daerah rumah kita. Azka bilang dia mau cari makan sambil jalan-jalan. Apa susahnya coba kamu temenin."

"Gimana mau nemenin, dia gak bilang."

"Seharusnya kamu inisiatif aja. Itung-itung pendekatan. Kamu malah keluyuran gak jelas ninggalin Azka sendirian."

"Terus.. Dika yang salah?"

"Ya. Lain kali tolong terapkan tanggung jawab kamu. Papa sudah beri tau kan kalau Papa sama tante Wilma menitipkan Azka ke kamu? Itu artinya kamu punya tanggung jawab. Gara-gara kamu tanggapan keluarganya Wilma jadi sedikit jelek terhadap papa."

"Tujuan Papa nikah lagi tuh apa sih? Sampe segitunya ke Dika yang berstatus anak kandung jadi berasa anak pungut disini. Papa salahin Dika terus. Dika cape. Azka juga udah kelas tiga SMK. Udah gak layak di sebut anak-anak. Dia bukan anak bayi yang setiap kegiatannya harus selalu di pantau. Dika juga banyak tugas, baru sekali ini Dika maen keluar sama temen. Papa kenapa segitunya sama Dik--"

Hawa panas seketika menjalar di pipi kirinya saat tangan besar sang ayah menamparnya.

Terlihat jelas amarah yang sang ayah keluarkan, jujur Mahardhika takut.

"Papa ngelakuin ini itu buat kamu! Papa itu kasian liat kamu yang gak pernah dapet kasih sayang dari ibu kamu! Kamu harusnya sadar diri dan berterimakasih karena papa nemuin perempuan yang baik dan cocok untuk papa juga kamu."

"Buat Dika? Papa yakin?" Ucap Mahardhika sambil menatap ayahnya.

Sedangkan sang ayah terdiam, namun masih dengan emosi yang tak kunjung reda.

"Pa.. Kenapa papa berubah? Papa jadi kasar. Kalo boleh milih, Dika lebih baik Papa sama Mama kaya dulu aja. Tetep sama-sama walaupun kalian gak pernah akur, gak pernah pulang, itu lebih baik. Dika takut pa.. kalian malah pergi ninggalin Dika sendirian.." Mahardhika berucap dengan nada yang bergetar. Ya. Anak itu menangis.

Baru saja sang ayah akan berucap, Wilma datang dan menyuruh Bara untuk menghampirinya.

"Pulang Dika. Nanti kita bicarakan lagi." Ucap sang ayah kemudian.

Mahardhika berjalan sambil menunduk, masih mengelap tetes air matanya yang terus keluar meski tanpa suara.

Mahardhika benci ketika sepanjang jalan orang-orang memerhatikan dia. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang terlihat berantakan.

Ia berlari keluar rumah sakit sambil berusaha untuk mengabaikan orang di sekitar.

Ternyata hujan turun begitu saja dengan derasnya, Mahardhika tidak peduli. Ia tidak meneduh, toh kini ia sudah basah kuyup juga. Ia berlari tanpa arah tujuan.

Ia berkali-kali mengumpat kala kakinya mati rasa saking dinginnya, namun ia tetap berjalan walaupun tidak secepat tadi.

Ia mengusap matanya yang sudah perih, hujannya deras. Bukan main.

Ia tidak mau pulang ke rumah, Ia ingin kemana saja, asal jangan bertemu dulu dengan ayahnya.

Hari sudah mulai gelap, seluruh tubuhnya juga menggigil kedinginan dengan kulitnya yang kini berwarna putih pucat kebiruan.

Ia menjatuhkan tubuhnya sendiri di pinggir jalan, ia menarik napasnya yang terasa berat.

Dadanya kembang kempis terlihat sangat kewalahan. Rasanya sakit, sakit sekali.

Ia menekuk lututnya dan memeluk tubuhnya sendiri. Selalu saja seperti itu, ia paling tidak bisa terkena dingin terlalu lama.

Mau bagaimanapun ini ulahnya sendiri dengan mencari penyakit sendiri, ia menghirup udara dalam-dalam sambil sesekali menepuk dadanya yang terasa sesak.

"Dik! Denger gua gak?" Ucap seseorang terdengar berdengung di telinganya.

"Kenapa kaya gini?"

Ia tidak lagi fokus, sesak juga sakit di dadanya membuat Mahardhika sulit menjawab orang tersebut.

Ia juga merasakan seseorang itu menepuk pipinya, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku dan sulit bergerak. Juga napasnya yang semakin berat dan menyakitkan. Ia masih bisa merasakan seseorang itu mengangkat tubuhnya sebelum ia tidak lagi ingat apa-apa.

•••••

Adam memakaikan selimut ke tiga yang ada di rumahnya. Sesuai perintah sang ibu.

Setengah jam yang lalu Adam membawa Mahardhika yang terlihat begitu menyedihkan di pinggir jalan dengan keadaan basah kuyup.

Adam terkadang bertanya, mengapa semesta selalu punya cara untuk mempertemukan mereka ketika Mahardhika terluka tepatnya.

Namun Adam bersyukur, karena kebetulan itu. Ia bisa membantu anak  ini.

Tubuh anak itu dingin sekali, Adam tadinya berniat membawa anak itu menuju rumah sakit, namun entah panik atau apa ia malah membawa anak itu ke rumahnya. Sama seperti pertama kali bertemu.

"Dingin banget ya Dik? Ini selimut paling tebel yang ada di rumah. Gua pake satu aja udah gerah mampus. Lo pake tiga sekaligus? tapi kok gak ngaruh apa-apa?" Ucapnya sambil menggosok telapak tangan anak itu.




















•TO BE CONTINUED•

•••

A/N: Maapin kalo ada typo ya! Maap juga lama update nya wkwk

A/N: Maapin kalo ada typo ya! Maap juga lama update nya wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tadinya mau beli rokok, eh dikira anak smp. Terus dimarahin kasir alfa, yaudah gajadi. Beli permen aja."

Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang