"Kamu gak berantem sama anak ini kan Dam?" Tanya sang ibu yang mulai mengintimidasi Adam.
"Bunda pikir Adam mau gitu berantem sama anak SMA? Kalaupun iya, mana mau Adam bawa ke rumah." jawabnya.
"Iya juga, Bunda rasa ini bekas tamparan. Ini memarnya juga mengikuti bentuk telapak tangan."
"Dam?"
"Hm?"
"Bawa ke kamar kamu aja ya? Kasian kalo disini. Dingin, dianya juga demam. Ini keringetnya sampe banyak banget.. kamu, pinjemin baju kamu juga ya?"
"Kok dikamar Adam?"
"Biar ada yang pantau, gak mungkin kan kalo di kamar Bunda? Lagian kalo dikamar tamu juga ribet harus di beresin dulu."
"Hmm."
"Adam udah makan?"
"Udah Bunda, tadi."
"Kapan?"
"Siang."
"Adam.. Adam.. dasar, kamu pindahin dulu dia terus nanti ke sini lagi. Makan, biar Bunda siapin."
Adam hanya menurut, jujur saja ia selalu merasa canggung bila berbicara bersama sang ibu.
Sampai sedang makan pun ia tidak sedikitpun menoleh kepada sang ibu yang tengah memerhatikan dirinya.
"Adam?" Ucap sang ibu yang membuat Adam sedikit terkejut. Saking hening dan canggung nya, ucapan dari sang ibu berhasil membuatnya hampir tersedak nasi goreng yang tengah ia makan.
"Iya Bun?" Jawabnya.
"Kamu tadi abis dari mana?"
"Main."
"Terus kenapa bisa ketemu sama anak itu?"
"Adam ketemu dia di pinggir jalan, gak sengaja hampir kena tabrak gara-gara nyebrang sembarangan. Tau-tau nya dia ternyata mau muntah di pinggir jalan." penjelasan Adam membuatnya mengangguk mengerti.
"Tadi bunda udah kasih suntikan obat penurun demam. Kalo ada apa-apa kasih tau Bunda aja. Kamu juga malem ini tidur sama dia gak apa-apa kan?"
Bagaimana lagi, sekeras apapun ia mencoba untuk menolak, nyatanya ia tidak pernah bisa menolak apapun perintah dari ibundanya.
Adam mengangguk, "Kalo gitu, Adam ke kamar dulu Bunda.. Selamat malam."
"Ya, selamat malam Adam.."
•••••••••
Setelah selesai membersihkan diri, Adam hampir saja lupa untuk mengganti pakaian anak tak dikenal itu.
"Mahardika Adia..tama.."gumamnya saat melihat name tag di baju anak tersebut.
"Baru kali ini gua bolehin orang lain tidur di kasur gua. Kalo bukan karena Bunda, gua gak mau nampung lo."
Adam mengganti baju anak itu dengan menggunakan kaos panjang warna putih miliknya.
"Gak makan berapa bulan, ini baju paling kecil padahal. Kok gede banget di dia? Badannya tulang doang gini."
Sejujurnya Adam bukan tipe orang yang pemarah, tapi karena situasi yang tidak tepat seperti ini tentu membuat mood nya jadi jelek seketika.
"Bodo ah!" Ia berjalan menuju meja belajarnya, kemudian duduk disana, dan beberapa saat kemudian ia meletakkan kepalanya untuk bersandar di atas meja dan kemudian terlelap disana.
Mau bagaimanapun, anak itu tetap orang asing.
Jangankan orang asing seperti dia, teman-temannya yang paling dekat sekalipun tak pernah bisa tidur dengannya.Alasannya hanya satu, Adam itu terbiasa sendiri sedari dulu. Jadi ia tidak pernah membiasakan diri untuk terlalu dekat dengan siapa saja.
Adam hanya perlu waktu.
Pukul setengah tiga dini hari Mahardhika bangun sambil berkali-kali mengucek matanya karena penglihatannya yang buram. Juga berkali-kali menelan ludahnya kasar karena tenggorokannya yang terasa sakit.
Menyadari ini bukan tempat yang dikenalinya, ia tiba-tiba jadi takut. Kemudian ia memegang kepalanya yang masih terasa sakit. Melihat selimut yang ada ia pakai, melihat sekitar.
Sungguh, ia tidak ingat apa-apa setelah ia menyaksikan sang ayah menampar ibunya malam itu. Ia sudah tidak ingat apa yang ia lakukan setelahnya.
Netranya menangkap seseorang yang tengah damai terlelap di meja belajarnya.
Ia mengernyit bingung. Kemudian ia turun dari kasur.
Baru saja menapakkan kakinya di atas lantai, seseorang yang tadi tengah tertidur itu membuka matanya.
"Lo kapan bangun?" Tanya Adam.
Kemudian ia meregangkan tubuhnya karena pegal akibat tidur dengan posisi duduk seperti itu.
"Lo.. siapa?"
"Ditanya malah nanya balik. Gak sopan." Adam berucap pelan.
"Barusan.."
"Lo semalem pingsan di pinggir jalan. Gak usah mikir yang aneh-aneh."
Mahardhika menunduk, ia selalu tidak tahu harus mengucapkan apa. Karena sedari awal ia tidak pernah di ajarkan cara berinteraksi dengan baik dengan siapa-siapa.
"Mm.."
"Tidur aja lagi deh lo! Nanti agak siangan gua anterin lo. Tanggung juga bangunin Bunda jam segini."
"Gak usah, gua pulang sekarang aja. Mm.. nanti bajunya gua balikin."
"Terserah sih, tapi jangan salahin gua kalo lo pingsan lagi nanti."
"Iya.."
Niat Adam berkata seperti itu sebenarnya adalah sebagai bentuk upaya dia supaya anak itu tetap berada disini sampai setidaknya pukul tujuh pagi.
Pasalnya jika pergi sekarang, Adam tidak yakin dan Adam juga malas memperdulikannya.
"Ini, jalan keluarnya ke sebelah mana?"
Adam membulatkan matanya terkejut, serius?
Anak itu ingin pergi pagi-pagi buta begini?Adam tidak habis pikir dengan jalan pikiran anak itu.
Terlalu lama Adam berpikir, anak itu malah pergi begitu saja. Karena anak itu menganggap tidak ada balasan apa-apa darinya.
"Heh! Tunggu bentar jir." Adam sedikit berteriak saat anak itu mulai melangkahkan kakinya keluar kamar.
"Weh, Mahardhika?" ucapnya yang langsung membuat Mahardhika berhenti.
"Ya?"
"Ck, tungguin gua! Gua pake jaket dulu ini."
Pada akhirnya Adam kembali lagi pada sifat tidak tegaan miliknya. Sifat yang menurutnya begitu merugikan dirinya sendiri.
Karena ia tidak pernah bisa menolak untuk membantu seseorang. Sekalipun orang itu tidak pernah meminta bantuan darinya.
Menyebalkan.
•TO BE CONTINUED•
•••
A/n: Typo dan segala ketidakjelasan akan diperbaiki diam-diam 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Fiksi Remaja"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...