•Lima Belas•

6.4K 527 23
                                    

Keduanya terdiam, duduk bersebrangan sambil sibuk memainkan ponselnya masing-masing ketika beberapa saat setelah orang tuanya pergi.

Mahardika melirik anak lelaki yang katanya setahun lebih muda darinya, anak itu terlihat angkuh dan menyebalkan di mata Mahardhika.

Sedetik kemudian ia mengalihkan pandangannya dan kembali fokus pada ponselnya yang menampilkan beberapa artikel untuk riset tugasnya.

Beda dengan Azka, anak itu tampaknya tidak peduli dengan sekitarnya dan lebih memilih mengabaikan segalanya. Alih-alih mendekatkan diri seperti kata calon ayahnya, ia hanya menatap tajam lelaki didepannya.

Ia berdiri dari tempatnya, "Gua cape, mau istirahat. Kamar gua dimana?" Ucapnya tanpa basa-basi.

Jujur Mahardhika terkejut saat tiba-tiba anak itu berbicara dengan nada yang tidak terduga.

Beda jauh sekali dengan yang dia tunjukkan saat tadi bersama ibunya.

Anak itu terlihat baik dengan senyumnya. Mahardhika kira tampangnya saja yang tidak enak di pandang, ternyata sifat aslinya juga tidak enak diterima.

"Bentar gua anterin." Ucapnya.

"Gak usah. Kasih tau aja dimana, gua bukan anak kecil yang kudu di tuntun kemana-mana."

Lagi. Mahardhika tidak habis pikir kalau anak itu akan berbicara seperti itu kepadanya. Padahal niat Mahardhika baik. Tapi sudahlah pikirnya. Ia mengangguk  dan memberi tahukan letak kamar yang akan ditinggali anak itu. Dan kemudian anak itu pergi begitu saja sambil menarik koper kecil miliknya.

Mahardhika mendengus sebal, apa-apaan ini?
Setidaknya tau malu sedikit lah. Dimana dia tinggal, kan kedua orang tua juga belum resmi menikah. Masa tingkahnya sudah seperti ini. Bagaimana nanti?

Mahardhika menerima panggilan masuk dari Tiara. Ah Ia lupa memberi kabar setelah pulang dari rumah sakit kemarin malam.

Biasanya Tiara akan menelpon jika chat darinya belum juga Mahardhika balas.

"Halo."

"Lo kemana aja sih? Dari kemaren loh gua chat. Gak lo bales-bales." Terdengar amarah yang menggebu-gebu dari nada bicara Tiara.

Mahardhika mengerti. Itu adalah bahasa perempuan ketika khawatir.

"Ada di rumah."

"Anjir? Atau jangan-jangan lo sakitnya parah ya sampe gak kuat bangun? Gua kesana ya?"

"Gak. Gak usah. Siapa yang sakit parah?"

"Lo."

"Enggak Tiara."

"Bohong kan lo?"

"Yaudah sini." Putus Mahardhika jengkel.

"Gua tuh khawatir sama lo. Sekarang gimana, udah baikan belom?" Suara Tiara memelan. Lebih tenang dari sebelumnya.

"Lumayan, tinggal pusing dikit."

Mahardhika tidak bohong perihal rasa pusingnya. Tapi setidaknya hari ini lebih baik dari kemarin yang membuat dirinya sampai merasa lemas dan juga pandangan berputar yang membuatnya sampai kehilangan pijakan.

Terdiam cukup lama.

Tiara kembali bicara.

"Dik."

"Ya?"

"Lo bosen ga kaya gini terus?"

"Menurut lo?" Mahardhika mengutuk perkataan spontan yang keluar dari mulutnya itu.

"Bosen sih. Gua posesif banget gak sih?"

Mahardhika terdiam.

"Dik, udahan yuk?"

••••

"Makan aja kali. Gak usah protes, masih mending gua Gofood-in."  Mahardhika geram karena Azka yang hanya menatap tajam dirinya.

Azka lagi-lagi mendorong makanan didepannya ke depan Mahardhika. "Gak mau gua bilang. Bisa pesen sendiri. Kenapa sih?"

"Azka. Gua yang harusnya nanya kenapa."

"Apa sih gak jelas, lo freak."

Mahardhika menarik nafasnya dalam-dalam.

"Terserah lo ya anjir. Ngelunjak lo sama yang lebih tua."

"Siapa suruh so so an peduli. Padahal gua gak minta."

Anjir?

Baru hari ketiga, Mahardhika rasa ia sudah ada tanda-tanda terkena penyakit darah tinggi.

Anak itu menyebalkan sekali, begitu pikir Mahardhika.

Mahardhika pergi keluar dan tidak memperdulikan anak itu. Ia anak menyegarkan pikirannya dengan berjalan-jalan. Kebetulan Adam dan Fachri menghubungi dirinya untuk pergi ke luar.

"Dik, lo gak ada kelas emang? Awas lo bolos." Ucap Dirga yang kini baru bertemu lagi dengan dirinya.

"Enggak, besok ada sih."

"Oke deh kalo gitu."

"Serius tapi, Dik. Pulangnya agak ntaran aja ya, maen dulu kita." Ucap Fachri dan diiyakan oleh Adam dan juga Dirga disana.

Benar. Mahardhika juga tidak ingin cepat pulang, malas bertemu anak tidak sopan itu.

"Mahardhika, kata Tiara lo putus. Bener?" Ujar Fachri yang membuat Adam langsung menengok.

"Serius?" Tanya Adam.

"Iya. Tiara yang putusin."

"Pantesan nangis-nangis tuh anak."

"Tiara?" Tanya Mahardhika kepada Fachri.

"Iya Dik, gua kira kenapa. Ternyata putus sama lo dasar."

Mahardhika mengalihkan perhatiannya pada ponselnya, disana sang ayah menelpon dirinya.

Ia pamit pergi sebentar untuk mengangkat panggilan dari sang ayah.

"Mahardhika kamu dimana?"

"Diluar Pa, kenapa?"

"Kamu ini benar-benar ya. Azka dimana?"

"Dirumah lah. Gak tau, Dika kan gak harus selalu nempel terus sama dia."

"Azka masuk rumah sakit Dika. Di keroyok orang. Kamu ini enggak becus jagain orang, padahal Papa dan tante Wilma udah percaya sama kamu."

"Hah?"

"Cepat susul ke rumah sakit. Papa usahakan pulang secepatnya."

"Apalagi sih ini?!" Ucapnya sambil menggaruk lengannya yang tidak gatal.

Kebiasaan dirinya disaat kesal. Ia kemudian pergi terburu-buru menuju rumah sakit untuk menyusul Azka disana.

"Dik mau kemana?"

"Pulang duluan, maaf.. lain kali gak akan kaya gini lagi!!" Teriaknya dari kejauhan sambil berusaha menghentikan taksi di jalanan.















•TO BE CONTINUED•

•••

A/n: Semua tokoh di dalam cerita ini fiksi ya guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/n: Semua tokoh di dalam cerita ini fiksi ya guys. Jangan sampai bawa ke rl. Sy takut cugg💃

Revisi lanjut lain hari ye, ngantuk battt ini gakuat woe




Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang