•Tiga Puluh Enam•

5K 653 49
                                    

"Bun suara Dika kedengeran kaya orang sakit gak?" Tanya Mahardhika dibalik telepon.

Dirinya tengah duduk di belakang rumah, duduk di atas ayunan yang ada di pohon sambil mengayunkan kedua kakinya.

"Enggak kok, emang kedengeran agak serak cuma gak apa-apa.. banyak-banyak minum ya?"

"Iya bunda.."

"Udah makan?"

"Baru sekali, Dika nunggu orang-orang rumah dulu, nanti Dika makannya terakhir. Kalo mereka udah beres."

"Kok gitu? Papa kamu gak mau makan sama kamu?"

Anggiana tanpa sadar telah menaikkan nada bicaranya.

"Hngg? Enggak kok, Dika cuma gak enak aja ganggu waktu kumpul keluarganya papa.."

Hening dibalik telepon.

"Bunda?"

"Kamu mau makan apa? Bunda kirim ya? Atau mau bunda suruh Adam jemput kamu ke sini?"

"Enggak usah bunda.. nanti juga makan kok."

"Gak. Jangan ditunda-tunda makan nya. Kamu punya maag kronis, kamu juga harus minum obat. Gak boleh nolak pokoknya, bunda kirim sekarang.. tunggu ya?"

"Iya bunda.. makasih banyak.."

•••

Setiap hari akan ada seseorang yang mengantarkan makanan untuk Mahardhika. Itu Anggiana yang tiap hari memberikan makanan untuk dimakan Mahardhika.

Anggiana mengirim setiap hari selama tiga kali sesuai jadwal makan sampai-sampai sekarang Mahardhika jarang memakan makanan rumahnya.

Mahardhika tentu menerimanya dengan senang hati dan akan selalu memakannya sampai habis walaupun ada beberapa yang tidak mampu Mahardhika habiskan karena tiba-tiba tidak nafsu.

Mahardhika turun dengan cepat saat akan mengambil makanannya siang ini.

Saat hendak masuk kedalam kamarnya ia melihat sang ayah yang tengah menatapnya dalam-dalam.

Sepanjang ia pulang, jujur Mahardhika belum berbicara dengan siapapun di rumah ini kecuali Azka.

Mahardhika kemudian melangkah cepat untuk masuk.

"Saking gak mau makan makanan rumah, tiap hari delivery makanan."

Langkah Mahardhika terhenti.

"Lain kali hargai Wilma Mahardhika, bagaimanapun dia sekarang ibu kamu. Jangan sembarang makan makanan dari luar, sedangkan yang ada di rumah gak pernah kamu makan."

Mahardhika memegang erat sebuah kantong yang didalamnya terdapat makanan pemberian Anggiana disana.

"Dika gak beli makanan dari luar. Tapi dikasih bunda Anggiana."

Kemudian Mahardhika menutup pintu kamarnya.

Sedangkan Bara kembali terdiam, ia tidak tau bagaimana lagi mencoba mengajak berbicara dengan Mahardhika.

Karena pada akhirnya Mahardhika selalu cepat menyelesaikan pembicaraan mereka tanpa bisa Bara cegah.

Bara sedikit miris melihat tubuh anak semata wayangnya terlihat kurus sekali sampai kaos yang dipakainya terlihat kebesaran di tubuh Mahardhika.

Belum lagi Bara baru menyadari suara anak itu yang terdengar serak dan berat.

Mahardhika selalu terlihat pucat tiap Bara lihat.

Sebenarnya apa yang terjadi pada anaknya itu?

Bara jadi berpikir. Mengingat perkataan Adam beberapa hari yang lalu tentang Mahardhika yang sampai saat ini belum bisa Bara pastikan.

Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang