•Lima Puluh Satu•

3.9K 430 23
                                    

"Mas! Kamu kira saya bodoh apa? Mahardhika udah besar. Biarin dia tinggal sama aku!"

Bara tau embel-embel hak asuh hanyalah bualan semata karena tidak tau bagaimana caranya agar anaknya kembali kepadanya.

Namun Bara sudah terlanjur emosi. Ia harus mendapatkan Mahardhika kembali bagaimanapun caranya. Mahardhika harus kembali tinggal dengannya.

"Mahardhika anak saya satu-satunya Farra. Biarkan dia tinggal dengan saya. Karena sebentar lagi dia juga akan mewarisi dan meneruskan perusahan milik keluarga saya."

"Kamu, ibu yang tidak bertanggungjawab tidak berhak mengambil Mahardhika begitu saja."

Ucap Bara sambil menunjuk-nunjuk Fara karena emosi.

"Dika. Sekarang juga kita pergi dari sini." Bara menarik tangan Mahardhika. Namun kaki Mahardhika enggan beranjak dari sana.

"Dika. Kamu percaya mama kan? Ayo tinggal sama mama. Katanya kangen mama? Jadi ayo tinggal disini sama mama ya?"

"Farra!"

"Apa mas?! Kamu pergi saja. Urusi keluarga baru kamu. Begitupun aku. Soal Mahardhika, biarin dia tinggal sama aku."

"Gak bisa!"

Tamparan keras mendarat di pipi Bara, dan Farra lah pelakunya. Ia meluapkan kembali amarahnya kepada Bara yang sangat keras kepala.

"Kamu gak tau apa kalo kamu juga gak becus jagain Mahardhika?"

"Apa?"

"Kamu gak becus jagain Mahardhika!"

Tangan Bara melayang bersiap menampar Farra yang menaikkan nada bicaranya.

"Kurang ajar! Coba sekarang kamu tanya dia mau tinggal sama siapa?!"

"Dika! Kamu mending tinggal sama papa."

"Mama bakalan kasih apapun yang kamu mau kalo kamu tinggal sama mama Dika.."

"Mama kan?"

"Enggak. Ayo ikut papa."

"Cukup!!"

Mahardhika jatuh terduduk berteriak sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya.

"Kalian.. udah.." ucapnya dengan napas yang tersengal-sengal.

Tangannya beralih memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.

"Saya gak kenal sama kalian. Kalian ini sebenarnya siapa? Saya. Saya yang berhak menentukan apapun untuk diri saya sendiri.."

"Jadi tolong jangan ganggu saya apalagi sampai menyakiti Bunda Anggiana dan kakak saya Adam."

"Saya gak kenal kalian..kenapa kalian usik keluarga saya?"

Mahardhika mengusap hidungnya yang mengeluarkan banyak darah. Mungkin akibat kepalanya yang terasa sangat sakit.

Ia berhenti sejenak untuk sekedar menarik napasnya agar tidak semakin sesak.

"Saya cuma punya Bunda Anggiana dan juga kakak saya.. tolong biarkan saya pulang kepada Bunda. Saya mohon.."

Mahardhika memohon sambil mengusap air matanya ketakutan.

Farra dan juga Bara yang hendak menghampiri secara berbarengan sudah mendapat penolakan secara terang-terangan dari Mahardhika.

Dimana ia memundurkan badannya dan memberikan gestur untuk tidak membiarkan siapapun mendekat kepadanya.

"Jangan sentuh saya."

"Dika.. apa maksudnya gak tau papa? Ini papa. Kamu jangan bercanda!"

"Dika hidung kamu berdarah.. kamu tenang dulu ya? Ayo biar mama bantu masuk ke kamar."

Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang