"Masih belom bisa di hubungin juga keluarga nya?" Anggiana tampak memijit pelipisnya pelan.
Ia sudah menyuruh pihak rumah sakit untuk menghubungi pihak keluarga tentang keadaan Mahardhika. Namun sayangnya tak ada yang menerima panggilan tersebut. Entah sibuk atau apa.
"Belom bun, panggilannya di tolak mulu. Dikirim pesan juga gak dibuka." Ujar Adam sambil mengecek ponselnya.
"Yaudah nanti aja coba lagi ya?" Ucap Anggiana sambil berjalan bersama Adam menuju ruangan Mahardhika.
•••
"Dika?" Panggil Anggiana ketika tidak menemukan Mahardhika disana.
"Dam cek kamar mandi coba, kok ini infusnya lepas ini. Darahnya juga kemana mana."
"Gak ada Bunda. Kayanya belom jauh, ini darahnya belom kering banget." Ujar Adam setelah menyentuh tetes darah yang tercecer di lantai dan seprai.
Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Mahardhika yang sayangnya tidak mendapatkan jawaban disana.
Adam berlari menuju keluar mencoba mencari Mahardhika. Barangkali masih ada disana.
Ia menarik napasnya dalam-dalam sambil memegang lututnya yang terasa pegal setelah berlari mencari keberadaan Mahardhika.
"Halo bunda, Adam mau cek ke rumahnya aja. Kayanya dia pulang deh." Ucap Adam melalui telepon dan langsung di iyakan oleh Anggiana.
Sementara di rumah, kini Mahardhika telah sampai menuju rumahnya dengan susah payah.
Ia terpaksa pulang langsung dari rumah sakit setelah beberapa saat lalu sang ayah yang menghubungi dirinya untuk segera pulang.
Dari nada bicara sang ayah, tampak ada sesuatu yang membuat dirinya marah. Mahardhika dengan kepanikan miliknya tentu membuat dirinya nekat pulang dalam keadaan demam yang belum sembuh total.
Bahkan entah berapa kali ia terjatuh akibat kehilangan keseimbangan karena tidak ada tenaga.
Ia mengusap punggung lengannya yang terdapat darah yang mulai mengering disana saat akan memasuki rumah.
••••
"Duduk disitu Mahardhika." Ucap sang ayah tanpa menatap dirinya.
Lantas Mahardhika mengikuti perintah seperti yang ayahnya katakan. Ia tidak berani menatap sang ayah karena rasanya tiba-tiba sang ayah begitu menakutkan.
"Kemana aja?" Tanya Bara to the point.
"Dik--"
"Habis main sama temen kamu?"
Mahardhika menggigit bibir bawahnya gugup, ia tidak tau bagaimana mau menjawab namun refleks saja ia mengangguk.
"Ah!" Teriaknya saat sebungkus rokok beserta koreknya dilempar ke wajahnya.
"Papa mau liat kamu ngerokok. Ayo ngerokok depan papa sekarang." Ucapnya dengan penuh penekanan.
"Pa--"
"Apa? dari dulu masih merokok sampai sekarang Mahardhika?"
"Pa aku bisa jelasin.." lirih Mahardhika.
"Sering bolos kuliah juga?"
Mahardhika terdiam.
"Wahh, kamu mau jadi apa sih sebenernya? Kamu udah papa biayain sekolah mahal-mahal malah kaya gini? ngerokok, keluyuran gak jelas, terus apa ini? berantem? sok jago? main sama siapa sampe kamu segini buruknya. Papa kecewa." Ujar Bara sambil menunjuk memar di bawah mata Mahardhika.
"Pa Dika gak berantem." Ucapnya mengeluarkan pembelaan, karena nyatanya ia tidak berkelahi dengan siapa-siapa. Ia rasa memar ini muncul karena ia terjatuh menabrak lemari di rumah sakit.
"Papa gak peduli. Ngebangkang aja terus. Ngerokok aja sampe kamu puas, ngerokok sampe kamu mati pun papa gak peduli. Cape ngasih tau anak yang gak nurut sama orang tua!" Ujarnya kemudian beranjak pergi dari hadapan Mahardhika.
"Pa.."
Mahardhika bangun dan mengikuti Bara di belakang.
"Papa.. maafin Dika.. Papa!"
"Oh iya, soal kuliah. Daripada buang uang gak jelas mending kamu berhenti aja."
Mahardhika terdiam mematung, kemudian mengangguk kecil. "Jadi.. selama ini emang bener ya?"
Bara menghentikan langkahnya.
"Selama ini alesan papa sama mama jarang pulang itu buat cari uang buat Dika? Terus papa sama mama cerai juga gara-gara Dika kan?" Ucapnya dengan nada yang bergetar.
"Ok Fine kalo emang iya. Maaf ya pa udah buang-buang uang yang papa hasilin buat Dika. Maaf belom bisa jadi anak yang nurut yang baik seperti kata papa. Emang sedari awal kayanya Dika deh yang salah disini. Dika yang jadi alesan bagi kehancuran kalian, iya kan? Makanya mama pergi jauh biar gak terbebani sama Dika."
Bara berbalik menatap anak semata wayangnya.
"Terus sekarang.. papa juga mau ninggalin Dika sendirian?" Tangisnya pecah saat itu juga, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas dinginnya lantai.
Entah apa yang Bara pikiran, namun yang selanjutnya adalah dimana Bara melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Mahardhika yang menangis disana.
Mahardhika menutup wajahnya dengan kedua tangan miliknya.
"Papa, kalo emang gak mau ngurus Dika kenapa dulu Dika di tolong. Harusnya hari itu Dika udah gak ada. Jadi seenggaknya Dika gak jadi beban buat papa sama mama.." Lirihnya dengan suara yang serak.
Ia menekan perut kanannya dengan keras saat dirasa sakit disana.
Ia juga berkali-kali mengatur napasnya agar lebih rileks. Namun ia rasa tidak ada yang berpengaruh, sakitnya malah semakin terasa.
Bahkan kini ia tengah menekan lebih dalam saking sakitnya.
Mahardhika berusaha bangkit dan berjalan menuju kamarnya dengan posisi tangan yang menumpu di dinding sebagai pegangan.
Langkah demi langkah terasa begitu sulit dan menyakitkan. Wajahnya sudah pucat pasi dengan menahan sakit dengan berjalan sampai menuju kamarnya.
Namun karena ia sudah tidak memiliki tenaga lagi, juga rasa sakit yang tidak tertahankan Mahardhika menjatuhkan dirinya di depan pintu kamarnya sendiri dan tergeletak di sana.
Ia mengusap air matanya dengan kedua tangan yang bergetar.
Kemudian ia tertawa kecil. "Mati ya pa?"
•TO BE CONTINUED•
•••
A/n: Seperti biasa, typo dan ke tidak jelasan mohon di maafkan sekian terima Jimin🙏☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Dla nastolatków"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...