1. Bsd ke Senayan

1.2K 131 88
                                    

Memilih sekolah yang jaraknya jauh dari rumah, membuat laki-laki yang memiliki gaya rambut curtain itu harus berangkat jauh lebih pagi dari pada teman-temannya yang lain.

Dia adalah Hadif Pranadipta, anak BSD yang sekolah di Senayan. Ia membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam agar bisa sampai ke sekolahnya— tergantung kondisi di jalan seperti apa.

Tetapi Hadif tidak pernah merasa lelah dengan jarak yang harus ia tempuh, meski kadang ia harus kepanasan atau kehujanan, laki-laki itu tetap merasa oke dengan pilihan yang telah ia pilih.

Kalau saja boleh, Hadif ingin tinggal di Jakarta. Ikut bersama ibu dan kakak. Tapi ibu pernah bilang, "jangan pernah tinggalin Ayah kamu sendirian, ya?" Jadi Hadif tetap berada di rumah, atas dasar perintah Ibu.

"Nanti makanannya mbak Go-send ya, mas Hadif." Itu adalah suara Mba Ayu, orang yang bekerja di rumah Hadif. Tugasnya hanya membersihkan rumah dan memasak.

Tidak lama setelah berpisah dengan sang istri, Ayah Hadif menetapkan satu asisten rumah tangga untuk tinggal di rumahnya guna mengurus semua yang ada di sana, termasuk kebutuhan anaknya; seperti makan.

Hadif itu anaknya agak picky kalau soal makan, dia alergi makanan laut, tidak suka ayam dan telurnya, juga tidak bisa memakan mie instan. Selain itu, Hadif juga tidak suka rasa kecap dan makanan-makanan yang memiliki rasa pedas. Sadar jika memiliki anak yang pemilih soal makanan, sejak dulu ibu Hadif rutin membuatkan bekal untuk Hadif bawa ke sekolah.

Karena beberapa tahun terakhir tidak ada Ibu; kini bekalnya disiapkan oleh mbak Ayu.

Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya ketika mendengar suara mbak Ayu. "Ngirimnya pas istirahat kedua aja ya, Mbak. Ngomong-ngomong sarung tangan saya pada ke mana ya, Mbak? Di kamar ada sih, tapi cuma sebelah-sebelah doang."

"Nggak ada yang utuh sama sekali, Mas?" tanyanya.

"Nggak, Mbak. Nanti tolong dicari ya, saya pake yang bekas kemarin dulu."

Mbak Ayu mengangguk. "Iya, maaf ya, Mas."

"Eh gapapa, Mbak. Saya nanya doang kok. Yaudah saya pergi ya, kayaknya bakal pulang agak sore."

"Iya, hati-hati, ya. Jangan lupa kabarin Ayahnya, ya?"

Hadif hanya merespons dengan senyuman, lalu melangkahkan kakinya menuju garasi. Motornya sudah ia panaskan sejak tadi, jadi sudah bisa langsung pergi ke sekolah.

Masker, jaket, sarung tangan, sepatu, serta helm sudah terpasang di tubuhnya. Hadif benar-benar menutup rapat seluruh bagian tubuhnya, tidak mau debu jalanan menempel dan mengotori tubuhnya.

*****

"Semenjak sekelas sama Hadif, lo jadi pengin berangkat pagi terus ya gue liat-liat." Mendengar sahabatnya menyebut nama Hadif di area publik membuat Gemila bergerak cepat untuk menutup rapat mulut laki-laki itu.

"Jangan ngaco kalo ngomong," sambar Gemila sembari membejek mulut Albi sebelum akhirnya ia lepaskan kembali.

Albi mengusap lembut bekas bekapan Gemila. "Yang bener aja lo pagi-pagi mulut gue dibejek."

"Ya lo jangan sembarangan makanya, kalo orang lain denger gimana."

"Lagian kenapa si lo nggak suka gue aja?" tanya Albi heran, "Demen banget nyukain hal-hal yang susah dimiliki."

Gemila mencubit lengan Albi pelan, membuat siempunya tangan mengaduh kesakitan. "Kalo gue nggak sayang banget banget banget sama lo, gue udah jadiin lo pacar dari dulu tau gak!"

"Yaudah ayo pacaran kalo sayang banget banget banget mah."

"Lo tuh nggak mikir buat kedepannya, ya?" tanya Gemila dengan raut wajah yang sedikit berubah.

Hadif dan SenayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang