Sepertinya, kalau mau bahagia; kita memang harus membuang apa-apa yang sudah menyakiti kita. Sama halnya dengan Hadif, belakangan ini ia sudah pasrah. Semua sudah ia serahkan kepada Ibu nya, bahkan ia tidak pernah lagi mencari tempat tinggal Ibu dan Haga yang baru.
Hari ini, ia tidak lagi menaruh harap apa-apa pada Ibu dan kakaknya.
Laki-laki itu tidak mau memaksa lagi, ia tidak mau menjatuhkan harga dirinya untuk orang-orang yang tidak bisa menghargainya. Hadif sudah merasa cukup, usahanya sudah begitu keras tiga tahun terakhir; dari situ Hadif seperti tersadar, bahwa Ibu dan Haga memang tidak mau bertemu dengannya lagi.
Sepertinya Hadif harus mendengarkan apa kata Ayah, "Ayah udah kasih kamu waktu hampir tiga tahun, masih kurang juga? Butuh waktu berapa tahun lagi supaya kamu bisa nerima semuanya?" tanya Randi kala Hadif dan Anya kembali bertengkar.
Mungkin apa yang dibilang Ayah ada benarnya, bahwa ia harus menerima. Membenci tante Hilda dan Anya pun tidak membuat Ibu dan Haga menerima kehadirannya kembali, jadi untuk apa lagi Hadif menolak takdirnya?
Sudah cukup ia menabur rasa sabarnya, melalaikan luka di hatinya, juga merusak hidupnya sendiri. Ia juga ingin dimengerti, ingin lukanya yang sudah membusuk diobati.
Hadif ingin sembuh dari luka, ia juga ingin bahagia. Kalau ia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan itu dari Ibu, boleh kan, ia mencari bahagianya di tante Hilda?
"Ayah," panggil Hadif ketika panggilan telepon darinya diterima oleh Randi.
"Iya, Nak ... ada apa?" tanya Ayahnya, pria itu sudah tahu kalau anak laki-lakinya menelepon, pasti ada sesuatu.
Hadif menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya dengan perlahan. "Ayah lagi sibuk?"
"Enggak, kenapa? Butuh sesuatu?"
"Ayah, makasih udah kasih aku waktu selama tiga tahun ini, ya. Aku rasa sekarang waktunya udah cukup. Maaf kalo selama ini aku banyak nyusahin Ayah, sering bikin Ayah marah karena keegoisan aku. Maaf kalo selama ini aku nggak pernah nerima tante Hilda, nerima anak Ayah yang lain. Maaf kalo selama ini aku banyak nolaknya, banyak marahnya. Maafin Hadif, ya, Ayah."
"Hadif, kenapa? Abis mikir apa sampe minta maaf kayak gini? Gapapa kalo emang belum bisa nerima semuanya, Ayah nggak akan maksa, take your time."
"Kayak apa yang Ayah bilang; kalo sikap aku ke tante Hilda dan Anya selama ini tuh cuma bikin aku capek sendiri, itu bener, Yah. Aku capek. Kata Ayah, semua kemarahan dan penolakan aku nggak akan mengubah apa-apa, itu juga bener. Buktinya kemarahan aku nggak membawa Ibu ke aku, nggak menuntun Haga untuk nerima aku lagi, mereka malah semakin pergi menjauh."
"Aku udah nggak berani buat berharap sama Ibu lagi, aku takut kalo harapan itu bakal nyakitin aku lebih daripada yang aku mampu. Aku mau belajar menerima takdir aku, masih boleh nggak ... kalo aku dateng ke rumah Ayah, ketemu sama tante Hilda dan Anya. Masih diterima nggak ya, Yah?"
Tidak ada jawaban dari Randi, hanya terdengar suara tangisan yang kedengarannya seperti tengah ditahan.
"Ayah, aku mau mulai semuanya dari awal," ungkap Hadif dengan getar suara yang tidak mampu ia sembunyikan.
"Iya, Nak ... ayo kita mulai semuanya sama-sama, Bunda pasti seneng kalo tau kamu udah bisa nerima, kita bangun rumah kita sama-sama, oke
"Semoga ya, Yah."
"Malem ini Ayah pulang."
"Kok? Nggak usah buru-buru, Yah. Ikutin jadwal libur Ayah aja."
"Nggak, Ayah mau pulang malem ini. Ayah pengin kita cepet-cepet kumpul dalam satu ruangan yang sama, ini Ayah seneng banget loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadif dan Senayan
Teen FictionTentang Hadif, yang memilih sekolah di daerah Senayan- yang jaraknya jauh sekali dari rumah- hanya untuk bisa bertemu dengan Ibu dan kakaknya. Tentang Hadif, laki-laki tujuh belas tahun; yang dihancurkan rumahnya, dipatahkan hatinya juga dikhianati...