Tanpa terasa, langit yang semula berwarna jingga, kini sudah berubah menjadi gelap. Sudah empat jam Hadif menunggu Haga pulang, tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang.
Laki-laki itu mengambil bungkus rokok yang tergeletak di atas meja, rokoknya yang tadi terisi penuh kini hanya tersisa tiga batang.
Hadif menyelipkan rokoknya diantara bibir, lalu membakarnya dengan pemantik api. Kalau sampai rokok yang tengah ia hisap itu habis, tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang. Sepertinya Hadif harus memutuskan untuk pulang, sebab hari sudah semakin gelap.
Hadif tengah merasakan manisnya tembakau di setiap hisapannya, juga memperhatikan bagaimana asap itu melebur di udara. Lalu telinganya mendengar suara mobil yang mendekat dan masuk ke pekarangan rumah.
Awalnya Hadif pikir itu Haga, tetapi ketika pintu mobil itu terbuka dan menampakkan seorang bapak-bapak, kedua alisnya saling bertautan.
Ditambah seorang wanita ikut keluar dari dalam mobil, bersama dengan anak perempuan yang berusia sekitar tujuh tahun. "Bagus ya, mas, rumahnya."
Hadif semakin bingung, ia mematikan rokoknya dan bergegas menghampiri mereka. "Maaf, kalian ... siapa dan ada perlu apa, ya?"
"Oh kenalin, saya Faisal dan ini istri saya, Aini. Kamu sendiri siapa, ya?" tanya Faisal yang tadi disebut sebagai bapak-bapak.
"Ada perlu apa? Mau ketemu Ibu?" tanya Hadif.
Pasangan suami istri itu saling menoleh satu sama lain.
"Oh nggak, waktu itu saya nyari rumah yang mau dikontrakkan, nah kebetulan dapet rumah ini. Hari ini kita baru sempet pindah, baru dapet izin cuti soalnya. Kalo kamu ini siapa, ya?"
Mendengar penjelasan bapak Faisal membuat kepala Hadif menjadi pening secara tiba-tiba, "bentar ... rumah ini dikontrakkan?"
Faisal mengangguk yakin, "iya, saya sudah bayar kontraknya selama lima bulan. Ada apa, ya?"
"Bapak nggak salah?" tanya Hadif sebab ia tidak yakin.
"Nggak kok, saya bayar langsung ke rekening atas nama Ibu Sanaya Rahayu, anak pemilik rumah ini. Rumah ini kebetulan udah nggak diisi lagi katanya, jadi daripada kosong dan nggak terawat, rumah ini diputuskan untuk dikontrakkan."
"Kok bisa kenal sama Ibu Sanaya?"
"Anaknya beliau itu temenan sama adik ipar saya di kampus, rumah ini juga ditawarkan langsung sama Haga."
"Terus Haga sama Ibu ... pindah ke mana?"
"Waduh, kalo itu sih saya kurang tau, ya. Nggak kepikiran buat nanya juga. Kamu sendiri siapa, ya?
Hadif menggeleng sembari tersenyum getir. "Ah oke ... maaf ganggu waktunya ya, pak Faisal. Saya permisi dulu."
Laki-laki itu langsung menghampiri motornya yang berada di sebelah mobil bapak Faisal, berjalan dengan langkah yang sedikit terhuyung. Kepala yang tiba-tiba terasa pening itu ia pukul beberapa kali guna mengusir rasa sakitnya, meski ternyata tidak memiliki pengaruh apa-apa.
Hadif mengendarai motornya dengan kecepatan yang tinggi, pikirannya selalu berteriak; meminta Hadif untuk menabrakkan motornya ke mobil yang akan melintas, tetapi hatinya menolak permintaan itu.
Di perempatan, Hadif dipaksa berhenti oleh tiang lampu lalu lintas yang tiba-tiba berubah menjadi warna merah. Suara gesekan antara ban motor dan aspal terdengar ketika Hadif menarik remnya kuat-kuat, laki-laki itu berhenti tepat di belakang zebra cross.
Hadif menarik napasnya dalam-dalam, lalu ia keluarkan dengan pelan dan teratur, diikuti dengan air mata yang ikut keluar membasahi wajahnya. Hatinya benar-benar sakit ketika mengetahui Haga dan Ibu pergi meninggalkan rumah peninggalan kakek nenek, tanpa memberitahu dirinya ke mana mereka akan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadif dan Senayan
Dla nastolatkówTentang Hadif, yang memilih sekolah di daerah Senayan- yang jaraknya jauh sekali dari rumah- hanya untuk bisa bertemu dengan Ibu dan kakaknya. Tentang Hadif, laki-laki tujuh belas tahun; yang dihancurkan rumahnya, dipatahkan hatinya juga dikhianati...