Sudah seminggu lebih Gemila tidak berangkat bersama Albi, laki-laki itu benar-benar serius dengan ucapannya. Gemila tidak masalah, tetapi kenapa rasanya jadi sepi?
Hari ini ia berangkat menggunakan ojek online, ketika turun dari motor Gemila langsung menatap gerbang sekolahnya dengan sendu. Entah kenapa rasanya jadi sangat malas untuk masuk ke dalam.
Lalu dengan langkah ragu, ia mulai menjauhi gerbang sekolahnya. Ia berjalan tanpa tahu mau ke mana, yang jelas ia tidak mau sekolah. Selama Albi memutuskan untuk dekat dengan seorang perempuan, Gemila jadi lebih sering sendiri di sekolah. Hal itulah yang membuat ia merasa malas berada di gedung itu sekarang.
Gemila berjalan dengan wajah yang ia tundukkan, ini kali pertama ia bolos sekolah sendiri di masa SMA, biasanya- meski tidak sering- ia selalu bolos berdua dengan Albi.
Ketika sedang melangkahkan kakinya di trotoar, telinganya mendengar suara klakson yang berisik. Gemila mendongakkan wajahnya, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Lalu matanya menemukan seorang pria yang menatapnya dari sebrang jalan.
Gemila memaku di tempatnya, bingung harus apa; karena sepertinya ia sedang tertangkap basah. Ia memperhatikan pria itu yang kini sudah melajukan motornya kembali, dan ketika berada diputaran jalan, pria itu berbelok dan menghampiri Gemila yang masih berdiri di tempatnya.
"Lo mau ke mana?" tanyanya.
Gemila tidak menjawab.
"Mau cabut lo ya?" tanyanya lagi.
"Tadinya gitu, tapi ketauan sama lo. Gak jadi, ini gue mau ke sekolah lagi," sahut Gemila yang kini sudah membalikkan badannya dan siap untuk kembali ke sekolah.
"Ayo sama gue," ajaknya sembari menunjuk jok belakang motor yang kosong dengan jempolnya.
Gemila tidak mengerti dengan ajakan Hadif barusan. Ini ngajak ke sekolah bareng, atau bolos bareng?
"Mau cabut, kan? Ayo, gue juga males," terang Hadif sembari menyipitkan matanya yang silau akibat pantulan sinar matahari.
Lalu tanpa ragu Gemila langsung mendekat dan mengisi jok yang masih kosong di motor milik Hadif.
Sejak mengetahui fakta kalau Haga dan Ibu pergi dari rumah peninggalan kakek, Hadif memang sudah kehilangan minatnya untuk sekolah di sana. Ia ingin pindah, tetapi Ayahnya tidak mengizinkan dengan alasan:
Dari awal Ayah udah minta kamu untuk mempertimbangkan pilihanmu, kamu kan sudah yakin, kenapa sekarang minta pindah? Nggak ya, Ayah nggak setuju. Kamu harus tanggung jawab sama apa yang udah kamu pilih, jadi selesaikan sekolahmu di sana. Tanggung, Nak ... beberapa bulan lagi selesai.
"Kita mau ke mana?" tanya Gemila ketika motor telah berjalan jauh meninggalkan area sekitaran sekolah.
"Gak tau, lo mau ke mana?" Hadif malah balik bertanya.
"Gue nggak ada ide," jawab Gemila, karena yang ada dipikirannya hanya menjauh dari sekolah ... ke mana tujuannya, dia pun tidak tahu.
"Ke Sukabumi mau?" tanya Hadif sembari menatap wajah Gemila dari spion.
Gemila membulatkan matanya. "Yang bener aja."
"Beneran, kalo nggak mau ya gapapa."
"Emang tau jalan?" tanya Gemila.
Hadif mengangguk yakin. "Tau, gue udah beberapa kali ke sana."
"Terus nanti baliknya jam berapa kalo ke Sukabumi? Kalo malem nggak deh ... takut."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hadif dan Senayan
Fiksi RemajaTentang Hadif, yang memilih sekolah di daerah Senayan- yang jaraknya jauh sekali dari rumah- hanya untuk bisa bertemu dengan Ibu dan kakaknya. Tentang Hadif, laki-laki tujuh belas tahun; yang dihancurkan rumahnya, dipatahkan hatinya juga dikhianati...