2. Sesak

570 95 25
                                        

Hadif menghentikan motornya ditepi jalan raya, tepat di depan halte yang atapnya sudah memiliki banyak lubang, juga berkarat. Ia membuka helmnya dan langsung melangkahkan kakinya ke halte, ia duduk bersandar di sana.

Ini sudah hampir Isya, dan Hadif masih berada di daerah Senayan, laki-laki itu tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan ketika perasaannya sedang kacau seperti sekarang.

Tadi, selesai ia ngumpul bersama dengan teman-temannya, Hadif pergi mendatangi rumah kakek-nenek yang kini ditempati oleh Ibu dan kakaknya.

Sudah hampir tiga tahun ia dan ibunya berpisah, sudah berkali-kali ia mendatangi rumah itu guna bertemu dengan Ibunya, tapi hanya satu kali Hadif bertemu dengan ibu; dulu, itupun hanya sebentar, tidak lebih dari dua puluh menit.

Setelahnya, ketika Hadif kembali mendatangi rumah itu, yang ia terima hanya sebuah penolakan dari Haga— kakak Hadif. Meski begitu, Hadif tidak pernah menyerah, ia tetap datang untuk menemui Ibu.

"Aga! Buka," teriak Hadif ketika Haga ingin menutup pintu rumahnya ketika mengetahui yang datang adalah adiknya, Hadif.

Hadif mendorong pintu itu kuat-kuat, tidak akan ia biarkan pintu itu tertutup kembali. "Buka, Ga. Tolong!"

Lalu setelahnya pintu terbuka, Haga mendorong Hadif sampai laki-laki itu mundur beberapa langkah. "Pergi, gak usah ke sini lagi."

"Kenapa? Gue adek lo, Aga. Kenapa lo ngelarang gue ke sini?" tanya Hadif ketika lagi-lagi Haga meminta Hadif untuk pergi.

"Pergi, jangan bikin gue makin benci sama lo."

"Lucu lo, seharusnya gue yang benci sama lo. Karena Ibu lebih milih lo daripada gue," ungkapnya dengan perasaan marah dan bingung. "Gue nggak bakal rebut ibu dari lo, Ga. Tapi tolong, izinin gue ketemu sama ibu." Tak jarang Hadif dibuat heran dengan kebencian Haga kepadanya.

"Harus berapa kali gue bilang kalo Ibu nggak mau ketemu sama lo, anjing!" tegas Haga pada akhirnya.

"Ibu yang nggak mau ketemu gue, atau lo yang nggak ngizinin ibu buat ketemu gue, Ga?"

"Tiga tahun, Ga. Hampir tiga tahun lo ngabisin waktu lo berdua sama ibu. Susah banget ya buat lo ngasih gue waktu satu hari aja buat ketemu sama ibu?"

"Lagian ngapain si lo nyari ibu? Mau ngapain kalo lo ketemu ibu? Jelas-jelas ibu nggak ngajak lo pergi. Sadar gak kenapa ibu ninggalin lo? Karena ibu benci sama lo, lo itu jahat sama ibu. Makanya ibu ninggalin lo sama ayah, soalnya lo berdua sama-sama jahat, sama-sama brengsek."

Kelopak matanya terkulai begitu mendengar kalimat yang dilontarkan oleh kakaknya, entah kenapa rasanya menyakitkan sekali jika benar ibu benci dengannya.

"Lo bohong."

"Terserah lo mau percaya atau enggak."

"Gue mau denger langsung dari mulut ibu kalo emang ibu benci sama gue," tegas Hadif. "BUUU ... IBUUUU!" teriak Hadif dari depan pintu, berharap ibunya keluar dan mengatakan yang sebenarnya.

"Ibuu, ini Hadif ... tolong keluar, bu. Ibuuuuu," teriak Hadif lagi. Tetapi Haga malah mendorong tubuhnya dan melayangkan satu pukulan di pipi kanan Hadif, laki-laki itu terhuyung lalu terjatuh sebab tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya ketika kakinya menyentuh beberapa anak tangga.

"Pergi sebelum gue tendang muka lo," titah Haga dengan suara yang lantang. Dan Hadif pun pergi membawa rasa sakit dihatinya.

Mengingat percakapannya dengan Haga beberapa puluh menit yang lalu membuat dadanya terasa begitu sesak. Kini Hadif tengah mempertanyakan dirinya, kejahatan apa yang ia lakukan kepada ibu sampai-sampai ibu tidak mau bertemu dengan dirinya lagi? Tetapi Hadif tidak menemukan jawabannya.

Hadif dan SenayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang