29. Pulang ke rumah

224 32 2
                                    

Setelah mengetahui fakta yang mengejutkan tentang Ibu dari Haga dan Hadif, Gatra tidak pernah berhenti berpikir; bagaimana caranya memberi tahu Hadif tanpa harus menyakiti perasaannya. Tapi, sejauh manapun Gatra memikirkan caranya; fakta ini akan tetap menyakiti perasaan Hadif lebih daripada apapun.

Terlebih, kematian Ibunya sudah hampir tiga tahun berlalu. Hadif yang selama ini selalu berusaha dan berharap bisa bertemu dengan Ibunya, tentu akan berat untuk menerima semuanya.

Di sisi lain, Gatra juga harus memikirkan Haga. Sulit bagi Gatra untuk mengabaikan Haga ketika ia melihat ada luka-luka yang sengaja dibuat di kedua lengannya.

"Lo tinggal di sini?" tanya Gatra ketika Haga menghentikan motornya di depan sebuah rumah, yang memiliki satu palang di halaman rumahnya; bertuliskan Khusus Indekos Putra.

Haga mengangguk dan mempersilakan Gatra untuk masuk. "Iya, biar deket sama kampus."

"Langsung ke kamar gue aja ya," ajak Haga, sedangkan Gatra hanya menurut.

Gatra mengamati tiap sudut yang ada di kamar ini, semua tertata rapi, di sudut paling pojok dekat pintu yang mengarah ke balkon terdapat botol minuman beralkohol yang sudah kosong, mungkin sekitar lima belas botol dari berbagai macam merk.

Gatra terkekeh, ia langsung teringat dengan Hadif. "Nggak lo, nggak Hadif, sama aja ya."

"Kenapa?" tanya Haga bingung, sebab ia sudah tidak tahu seperti apa Hadif yang sekarang.

"Suka nyimpen botol minuman di kamar," jawab Gatra sembari tersenyum.

Dan dibalik senyumnya, ada rasa bersalah yang besar di hati Gatra. Kalau bukan karena adik dan Bundanya, mereka berdua tidak akan pernah melewati hari-hari yang buruk seperti sekarang.

Haga menghempaskan dirinya ke atas kasur, menatap langit-langit kamarnya. Sedangkan Gatra memperhatikan tiap detail yang ada di tubuh Haga. "Ga, gue boleh nanya? Tapi mungkin agak sensitif."

"Nanya apa?" jawabnya dengan dahi berkerut.

"Hubungan lo sama Ayah, gimana?" tanya Gatra yang langsung mendapat tatapan dari Haga.

"Baik, kita sering ketemu."

"Boleh nanya lagi?" Gatra bertanya dengan takut.

Haga terkekeh sembari melihat wajah Gatra yang terlihat kaku. "Lo kalo mau nanya, langsung ke pertanyaannya aja. Lo boleh nanya apapun."

"Kalo sering ketemu, kenapa Ayah nggak pernah cerita soal lo sama Ibu ke Hadif? Padahal dari dulu, Hadif selalu pengin tau tentang lo sama Ibu. Apa karena lo larang Ayah buat cerita apapun ke Hadif?"

Sebuah gelengan terlihat dari kepala Haga, "Lebih tepatnya, Ayah yang nggak mau Hadif tau soal Ibu dan gue."

"Ayah nggak mau Hadif tau kalo Ibu udah meninggal," sambung Haga. "Makanya Ayah juga ngelarang gue buat cerita ke Hadif, nggak ada yang tau soal kematian Ibu gue selain Ayah, gue, dan pihak rumah sakit."

Mendengar penjelasan dari Haga, membuat Gatra tidak habis pikir dengan Ayah tirinya. "Kenapa Hadif nggak boleh tau? Tujuannya apa?"

"Biar Hadif nggak ngerasain kehilangan, kayak apa yang gue rasain pada masa itu."

"Tapi tetap aja Hadif ngerasa kehilangan."

"Kenapa lo nggak pernah ceritain soal ini sama gue si, Ga? Paling nggak, kalo lo ngasih tau gue dari dulu ... kita bisa cari caranya bareng-bareng."

Hadif dan SenayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang