20. Universitas Negeri Malang

196 45 7
                                    

Seharian ini Hadif memiliki mood yang buruk, kejadian semalam benar-benar berhasil mematahkan harapan dan semangatnya. Ditambah, pagi tadi ia di minta untuk datang ke kantor oleh Ibu Jua— wali kelasnya. Beliau bilang, dia ingin berbicara pada orang tua Hadif, dan meminta orang tua Hadif untuk datang menemuinya di ruang bimbingan konseling.

Bukannya ia tidak mau memenuhi permintaan ibu Jua, tapi setahu Hadif Ayahnya masih sibuk bepergian ke Salatiga guna mengurus pabrik cabang yang baru selesai dibangun. Ayahnya hanya akan pulang di hari Sabtu dan Minggu, lalu Senin pagi harus sudah standby di Salatiga lagi.

Tetapi ibu Jua tidak mau tahu, bagaimana pun caranya, orang tua Hadif harus datang menemuinya, karena ini sudah menjadi peraturan resmi dari sekolah.

"Lo udah bilang ke bokap lo belum?" tanya Jason ketika melihat wajah kusut Hadif.

"Ya belumlah, percuma juga ... nggak bakal bisa."

Jason membuang napasnya sebal, "coba dulu anjir, masa iya buat anak sendiri nggak bisa."

"Nggak bisa, Sen. Jatah cuti bokap gue tinggal empat hari dalam setahun ini, dan itu bakal dipake buat acara kelulusan gue sama Anya nanti. Kalo gue minta Ayah dateng ke sekolah sekarang, berarti nanti Ayah gue gak bakal dateng di acara kelulusan gue. Kalo kerjaan bokap gue masih di sekitaran sini si bisa aja dia dateng."

"Lo udah jelasin ke bu Jua?" tanya Jason lagi.

Hadif mengangguk, "udah, dia malah minta nyokap yang dateng. Anjing lah, Ibu Jua nggak ngerti posisi gue banget."

"Emang kata Ibu Jua, kalo orang tua lo nggak dateng, konsekuensinya apa?" tanya Jason yang sekarang mulai ikut merasakan kepusingan sahabatnya.

Hadif mengedikkan bahunya, "nggak tau, gue nggak nanya. Minta tolong mbak Ayu aja kali, ya?"

"Emang bisa? Setahu gue peraturannya harus orang tua, antara Ibu dan Ayah. Nggak boleh diwakilkan anggota keluarga lain; kecuali orangtua lo emang udah nggak ada."

"Ya terus gimana anjing?" tanya Hadif. "Biarin ajalah, Ayah gue beneran nggak bisa."

"Makanya, omongin dulu ke bokap lo. Urusan bisa apa nggak, yang penting bokap lo tau dulu. Kalo bokap lo tau kan dia bisa ngasih solusi," jelas Jason dengan harapan semoga anak itu mengerti.

"Solusi dari Ayah gue paling minta tolong ke nyokapnya Gatra."

"Yaudah, kan emang seharusnya begitu, Dif. Sebenernya udah jadi kewajiban dia buat ngurusin lo, walaupun lo nggak mau; tapi mau dikata apa? Dia udah jadi Ibu lo walaupun tiri."

Apa yang dikatakan Jason memang benar, tetapi rasanya sulit sekali jika harus melibatkan tante Hilda di sini. Hadif tidak pernah memperlakukan tante Hilda selayaknya seorang Ibu, Hadif hanya menganggap tante Hilda sebagai bundanya Gatra— hanya sebatas itu. Lalu apakah sudi wanita itu datang jauh-jauh ke sekolah hanya untuk anak yang tidak pernah menerima dan menganggapnya ada? Membayangkannya saja Hadif sudah malu sendiri.

*****

"Ayo, udah siap?" tanya Hadif pada Gemila ketika gadis itu baru saja menghampiri motornya yang beberapa menit lalu terparkir di halaman rumahnya.

Gemila mengangguk dengan senyumnya. "Udah." Lalu gadis itu naik ke motor, mengisi jok yang kosong dibelakang Hadif.

Tadi sekitar jam tujuh malam, Hadif mengirim pesan setelah Gemila membuat story yang berisi foto kue pancong lumer dengan caption, "kapan bisa mam pancong lumer lagi." dengan emoticon sedih.

Hadif dan SenayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang