Suara decitan motor terdengar, Hadif mengerem motornya secara mendadak. Untungnya jalanan tidak terlalu padat, sehingga pengendara di belakangnya memiliki ruang untuk ikut menarik remnya agar tidak terjadi kecelakaan.
Bukan tanpa alasan Hadif melakukan hal itu, laki-laki itu baru saja melihat seorang wanita yang beberapa tahun terakhir tidak pernah bisa ia temui, kini tengah terduduk di halte; sendirian.
Hadif langsung menepikan motornya di pinggir, persetan dengan umpatan para pengendara lain yang terkejut dengan aksi rem mendadaknya, ia benar-benar tidak mau kehilangan sosok wanita yang belasan tahun lalu melahirkan dirinya ke dunia.
Laki-laki itu berlari ke halte, ini adalah halte di mana tempat Hadif selalu menepikan motornya guna menenangkan hatinya. Di sana, di halte itu, wanita yang paling ia sayang tengah duduk, dengan derai air mata yang membasahi wajahnya.
"Ibu," panggil Hadif dengan suara yang bergetar. Wanita itu menoleh dan tangisannya semakin menjadi.
"Bu, kenapa?" tanya Hadif penuh dengan rasa khawatir.
Wanita yang disebut Ibu itu terus-terusan menangis, menatap Hadif dengan tatapan yang terlihat menyakitkan. "Bu, siapa yang nyakitin Ibu?"
Naya menggeleng, tetapi tangisannya tidak kunjung berhenti. Melihat Ibunya menangis, itu benar-benar membuat hatinya perih, anak itu ikut menangis. Berlutut di depan Ibunya, menundukkan wajahnya di atas pangkuan Sang Ibu.
"Ibu, maaf ... maafin aku ya, Bu? Maaf udah bikin Ibu kecewa, maaf udah nyakitin Ibu."
"Aku nggak ada maksud buat lebih pilih Ayah, aku beneran nggak tau kalo Ibu sama Ayah punya rencana buat pisah. Hari itu aku di rumah sakit, pulang-pulang Ibu sama Abang udah nggak ada di rumah, aku nggak mau tinggal sama Ayah, aku mau sama Ibu. Tolong maafin aku, Bu."
"Nggak, sayang ... kamu nggak salah. Maafin Ibu, ya? Maaf udah ninggalin adek."
Hadif mendongakkan wajahnya guna menatap Ibunya. "Ibuuuu, kangen .... kangen banget."
Naya mengelus rambut putranya dengan lembut, air matanya tidak pernah berhenti keluar. "Maaf ya, sayangnya Ibu, Ibu minta maaf."
"Aku mau tinggal sama Ibu, boleh ya, Bu?" pinta Hadif sebelum akhirnya kedua bola matanya terbuka, membuat laki-laki itu bingung dengan apa yang ia alami.
Hadif menatap ke sekitar, tidak ada jalan raya, tidak ada halte; ini adalah kamarnya. Tetapi mengapa rasanya begitu nyata? Bahkan pipinya masih basah oleh air mata.
Ini mimpi?
Laki-laki yang masih diselimuti kebingungan itu langsung mencari ponselnya, ini baru jam satu pagi.
"Anjing? Kenapa cuma mimpi," monolog Hadif dengan rasa tidak terima, ia sudah berharap bahwa yang barusan terjadi adalah kenyataan.
"Apa Ibu ada di Halte sekarang?" tanya Hadif pada dirinya sendiri.
Jemarinya langsung bergerak mencari kontak Albi, dan langsung melakukan panggilan telepon. Butuh empat kali panggilan sampai akhirnya mendapatkan respons.
"Bangsat, jam berapa ini?" umpatan itu langsung keluar ketika Albi menerima panggilannya.
"Gue mau minta tolong, Bi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadif dan Senayan
Teen FictionTentang Hadif, yang memilih sekolah di daerah Senayan- yang jaraknya jauh sekali dari rumah- hanya untuk bisa bertemu dengan Ibu dan kakaknya. Tentang Hadif, laki-laki tujuh belas tahun; yang dihancurkan rumahnya, dipatahkan hatinya juga dikhianati...