Semenjak memaafkan semua yang sudah terjadi di hidupnya, Hadif merasa ada beberapa perubahan dari dirinya. Ia sudah hampir tidak pernah meminum apapun yang berbau alkohol, laki-laki itu juga sudah mengurangi rokoknya. Terlepas dari itu semua, yang paling penting adalah; Hadif merasa jauh lebih bahagia. Dan itu cukup untuk menjadi alasan bahwa ia harus meninggalkan hal buruk dihidupnya, lalu melanjutkan hidupnya dengan hal-hal yang baik.
Selama satu minggu ini, Hadif selalu pulang ke rumah Ayah dan Bunda. Ia sudah diminta untuk menetap di rumah itu, tetapi Hadif menolak. Alasannya karena ribet, sebab jika sudah lulus SMA, Hadif akan pergi ke Malang. Kalau barang-barangnya dipindahkan ke rumah Ayah dan Bunda, itu artinya ia akan kerja dua kali; karena suatu saat barang itu akan ia pindahkan lagi ke Malang.
"Gatra sama Anya belum pada bangun, ya?" tanya Hadif ketika menyadari bahwa selama seminggu ini mereka hanya berdua saja di meja makan.
Hilda membuang napasnya dengan kasar, "bangun sih udah, tapi biasanya pada tidur lagi kalo udah selesai solat Subuh."
"Kamu jangan ikutin mereka, ya!" pinta Hilda sungguh-sungguh. "Nggak baik soalnya."
Mendengar itu Hadif terkekeh, "kalo sekolah aku deket, aku juga mau kayak mereka."
Hilda menggeleng-gelengkan kepalanya, ternyata sama saja.
"Yaudah, Hadif berangkat dulu ya, Bunda." setelah selesai dengan sarapannya, Hadif berpamitan untuk pergi sekolah.
"Nanti langsung pulang, ya ... Bunda mau kasih tau kamu sesuatu."
"Kasih tau sekarang aja, Bun. Apa?" tanya Hadif, jujur ia penasaran.
Hilda tersenyum jahil, "nanti ya, sayang. Sekalian anterin Bunda, oke?"
"Nanti kalo aku nggak fokus bawa motor gara-gara penasaran sama omongan Bunda, gimana?" tanya Hadif sedikit mengancam, agar Hilda mau memberitahunya sekarang.
Hilda mengelus perutnya, lalu tersenyum kearah Hadif. "Sebenarnya Bunda sama Ayah mau ngasih tau ini dari lama, inget nggak waktu Ayah minta kamu buat dateng ke rumah? Tapi kamu gak bisa dateng gara-gara kamu abis jatoh?"
Hadif mengangguk.
"Itu Ayah sama Bunda mau ngasih tau, kalo Bunda lagi hamil. Karena kamu nggak bisa dateng, jadi yang dikasih tau cuma Gatra sama Anya."
Mendengar itu Hadif tersenyum lebar. "Bunda hamil?"
Hilda mengangguk senang. "Iya, sayang. Mau liat Adik nggak? Kalo mau nanti pulang cepet ya, temenin Bunda periksa bulanan."
"Mau, oke ... nanti aku pulang cepet. Selamat ya, Bunda ... kalo tau Bunda lagi hamil, aku nggak mau dimasakin pagi-pagi kayak gini, takut Bunda capek."
"Astaga kamu ini perhatian juga ya ternyata?" tanya Hilda dengan gemas. "Tapi Bunda gapapa kok, udah biasa ... kalo diem aja malah keram perutnya."
"Kira-kira kapan adik aku lahir?"
"Normalnya lima bulan lagi," sahut Hilda.
Hadif menekuk kakinya, mengelus perut bundanya, lalu menciumnya sebentar. Setelah itu ia kembali berdiri, "yaudah ... aku pamit ya, Bun? Jangan capek-capek di rumah, kalo ada apa-apa kabarin Hadif, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadif dan Senayan
Teen FictionTentang Hadif, yang memilih sekolah di daerah Senayan- yang jaraknya jauh sekali dari rumah- hanya untuk bisa bertemu dengan Ibu dan kakaknya. Tentang Hadif, laki-laki tujuh belas tahun; yang dihancurkan rumahnya, dipatahkan hatinya juga dikhianati...