Setelah hampir tiga tahun, akhirnya Hadif sampai pada tahap cukup. Ia sudah cukup dewasa untuk menangisi perpisahan kedua orangtuanya yang sudah berlalu, ia sudah cukup menghukum dirinya atas kehancuran yang terjadi dihidupnya. Dia juga sudah cukup membenci orang-orang yang terlibat dalam rusak yang terjadi di keluarganya.
Hadif sudah berusaha memperbaiki yang rusak, meski ia tahu tidak akan pernah utuh kembali, setidaknya mereka bertiga masih bisa menyatu. Tetapi nyatanya, Ibu dan Haga tidak mau memperbaiki apa-apa, mereka membiarkan yang rusak; rusak begitu saja. Mereka memilih untuk mencari kehidupan yang baru tanpa mengikutsertakan dirinya.
Lalu untuk apa lagi Hadif memohon? Jika maunya seperti ini, Hadif akan turuti kemauannya. Ia tidak akan mencari Haga ataupun Ibu. Ia akan membuat hidup yang baru, tidak akan kurang ataupun lebih indah dari milik mereka; semoga sama indahnya.
Laki-laki itu tidak pernah menyesal dengan semua tindakan yang ia ambil untuk menyatu dengan Ibu dan Haga, justru ia akan menyesal jika tidak melakukan tindakan-tindakan itu.
Dari semua tindakan dan resiko yang ia ambil, Hadif berhasil menemukan jawabannya. Bahwa mereka memang tidak menginginkan dirinya lagi, ini terdengar menyakitkan tapi cukup membantu untuk keputusan yang akan ia ambil kedepannya.
Maka dari itu, Hadif memutuskan untuk meminta maaf pada Ayahnya. Karena seburuk-buruknya Ayah, laki-laki itu tidak pernah pergi meninggalkannya. Ia juga mulai menerima tante Hilda— yang sekarang sudah ia panggil dengan sebutan Bunda. :D
Gatra dan Anya juga sudah menjadi Abang dan Adik untuknya, Hadif akan memulai kembali hidupnya dengan mereka.
"Hadif," panggil seseorang, sebelumnya ia hanya ingin mematikan lampu teras. Tetapi pintu rumahnya sudah terbuka, lalu setelah dicek keluar, ia menemukan Hadif yang tengah merokok di kursi kayu. "Kamu ngerokok di jam sepagi ini?"
Hadif menoleh dan mendapati Hilda yang menatapnya seperti sedang khawatir, "udah kebiasaan, Bun."
"Belum lama ini Bunda abis ngomelin Ayah kamu loh, soalnya sama kayak kamu gini nih, melek mata yang dipegang rokok. Masa sekarang Bunda ngomelin kamu juga? Kita baru baikan, masa Bunda udah ngomelin kamu."
Mendengar itu senyum di bibirnya terbit, entah kenapa Hadif merasa hangat dengan perkataan Hilda. Detik itu juga ia langsung mematikan rokoknya, "udah selesai kok. Aku mau berangkat sekolah."
"Emang udah sarapan? Bunda belum masak lho, baru bangun soalnya."
"Belum, aku sarapan di sekolah aja."
Hilda menggeleng, lalu menarik lengan Hadif. "Bunda siapin roti, ya? Hari ini sarapan roti dulu, oke?"
"Gak usah, Bun. Gapapa, udah biasa gitu kok kalo mbak Ayu nggak ada."
"Sekarangkan ada Bunda, sarapan di rumah aja ya. Masa kamu pergi nggak sarapan, peran Bunda di sini apa dong kalo kamu makan diluar?"
Pada akhirnya Hadif menurut, tidak mau membuat wanita itu sedih dengan penolakannya. "Iya, aku sarapan di rumah."
******
"Hadif beneran mau pergi ke Malang?" tanya Haga pada seseorang yang saat ini tengah duduk di hadapannya.
Orang itu mengangguk. "Iya, adikmu sendiri yang minta."
"Kenapa nggak dilarang? Mau lepas tanggungjawab sebagai orangtua?" tanya Haga lagi.
Pria yang sedang mengobrol dengan Haga mengusap wajahnya frustasi. "Aga, kenapa kamu mikir jauh ke sana. Ayah sama sekali nggak punya pikiran buat melepas tanggung jawab Ayah sebagai orangtua ke kalian berdua. Selagi itu untuk pendidikan, kenapa nggak? Adikmu mau minta kuliah diluar negeri pun akan Ayah izinkan, yang penting satu; tanggung jawab sama apa yang sudah dipilih."
"Sama kayak waktu dia mau sekolah SMA, dia minta sekolah yang deket sama rumah kakek. Ayah turuti kok permintaannya, cuma kalo suatu saat dia capek, males, atau apapun, Ayah nggak mau ngurusin. Soalnya itu pilihan yang dia pilih sejak awal," jelas Randi, ia menyetujui bukan karena ingin lepas tanggungjawab, ia hanya ingin menjadi orangtua yang bisa menerima apa pun pilihan anaknya; intinya ia menghargai tiap keputusan yang diambil, tentunya selagi itu baik dan tidak mengarah pada keburukan.
"Ayah izinin bukan berarti Ayah lepas tanggungjawab, itu karena Ayah percaya sama anak-anak Ayah. Kayak kamu gini lah, apa sekarang Ayah lepas tanggungjawab sama kamu? Kan enggak."
"Aga nggak setuju kalo dia kuliah ke Malang."
"Ya bujuk aja sama kamu, kalo Ayah yang bilang nggak bakal nurut."
"Ayah kan tau Aga gak bisa lakuin itu, jujur Aga capek hidup kayak gini. Aga udah ikutin kemauan Ayah selama ini, tapi kayak gak bakal ada ujungnya."
Randi mengusap wajahnya dengan frustasi, "tunggu sampe Ayah siap."
"Ya tapi kapan, Yah? Mau sekarang atau nanti, hasilnya bakal selalu sama."
"Hadif udah mulai nerima Bunda Hilda," terang Randi yang langsung membuat Haga terdiam begitu saja. "Dia udah mulai nerima semua yang ada."
Mendengar itu Haga terkekeh, "terus gimana Haga sama Ibu?"
"Ga, tolong ngerti posisi Hadif."
Haga berdecak kesal mendengar Ayahnya yang meminta Haga untuk mengerti. "Ini kenapa apa-apa selalu Hadif? Kenapa nggak ada yang mau nyoba buat ngerti posisi Aga? Emang menurut Ayah ini mudah buat Aga?"
"Ngulur waktu nggak bikin rasa sakit ilang, Yah. Yang ada cuma bikin rasa sakit itu makin besar."
Haga berdiri dari duduknya. "Kalo Aga masih diminta buat ngerti, itu namanya Ayah nggak ngehargain Aga sama Ibu."
"Tunggu sampe semuanya dirasa siap, Ga. Jangan gegabah, harus ada timingnya. Sekarang kan Ayah lagi tugas ke Salatiga, tunggu dulu sampe kerjaan Ayah di sana kelar. Kita nggak tau Hadif akan merespons semuanya kayak gimana, tapi yang jelas Ayah harus pastiin kalo Ayah punya banyak waktu di samping dia."
"Harus nunggu berapa bulan lagi, Yah? Keburu dia pergi ke Malang. Nanti kalo dia udah di Malang, bakal lebih susah lagi buat dia."
Randi menghela napasnya, apa yang dikatakan oleh Haga ada benarnya. "Kalo gitu biarin aja Hadif nggak tau apa-apa."
"Brengsek," marah Haga sembari menggebrak mejanya dengan keras, "lo anggap gue apa sih?"
"Ini susah buat Ayah."
"Dikira gampang buat gue? Kenapa si, Ayah cuma mikirin perasaan Ayah sama Hadif. Kenapa nggak pernah mikirin perasaan Aga selama ini?"
Haga berdiri dari kursinya, menatap Ayahnya dengan tatapan marah. "Mulai sekarang jangan pernah cari Aga lagi, jangan pernah dateng ke Ibu lagi. Jangan anggap Aga anak Ayah lagi, semua udah aku putusin di sini."
Melihat Haga yang ingin pergi, Randi ikut berdiri dari kursinya. "Oke, maafin omongan Ayah yang tadi. Tolong kasih Ayah waktu satu kali lagi, sebelum Hadif ke Malang Ayah akan pastikan dia udah tau."
Tidak ada respons dari Haga, laki-laki itu langsung pergi meninggalkan Randi seorang diri. Dia tidak mau mendengar apapun yang dikatakan oleh Randi, Haga akan berjalan sesuai dengan kemauan dan batas sabarnya sendiri.
*****
ada apa ya berdua-dua, serius amat ngobrolnya
jangan lupaaa vote dan komennya ya temen-temen. pengin deh update setiap hari TAPI ga bisaaaa soalnya ga punya stok buat chapter selanjutnya 😞☹️
💚🧑🎤💚🧑🎤💚🧑🎤💚🧑🎤💚

KAMU SEDANG MEMBACA
Hadif dan Senayan
Teen FictionTentang Hadif, yang memilih sekolah di daerah Senayan- yang jaraknya jauh sekali dari rumah- hanya untuk bisa bertemu dengan Ibu dan kakaknya. Tentang Hadif, laki-laki tujuh belas tahun; yang dihancurkan rumahnya, dipatahkan hatinya juga dikhianati...