Riyuna naik ke atas motor sport milik Ardo, gadis itu sedari tadi terus menghela nafas dan melafalkan doa dalam hatinya agar ia sampai rumah dengan selamat dan tidak encok.
"Pegangan aja kalau takut." Ujar Ardo dan diangguki Riyuna, perlahan tangan gadis itu bergerak menuju pinggang Ardo dan meremas kuat jaket pria itu.
"Udah?"
Riyuna hanya mengangguk membuat Ardo mengernyitkan dahinya, ia tak kunjung mendnegar suara Riyuna membuat pria itu tak kunjung melajukan motornya.
"Udah?"
Riyuna tersentak, "iya udah." Jawabnya kikuk. Suara pria itu yang naik satu oktaf membuat Riyuna sedikit kaget.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Ardo menghentikan motornya di pinggir jalan. Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Ia berdecak saat mendapat nomor yang tak di kenal menghubunginya.
"Halo?" Ucap Ardo dengan nada malas.
"Hah?"
"Ck, baik." Ardo mematikan sambungan telepon slalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.
"Sorry kita ke rumah sakit dulu bentar."
Setibanya di rumah sakit, Ardo dan Riyuna langsung berjalan menuju meja resepsionis.
"Kamar 305." Ujar suster itu lalu diangguki Ardo. Pria itu langsung menarik lengan Riyuna menuju ruangan yang dimaksud oleh suster tadi.
Gerakan tiba-tiba dari Ardo membuat Riyuna sempat terkejut, apalagi pria itu tampak menarik tangannya. Entah kenapa jantung Riyuna malah berpacu dengan cepat.
"Sorry." Sadar akan tindakannya, Ardo langsung melepas tangan Riyuna saat mereka memasuki lift. Ardo sedikit salah tingkah karena sadar akan tindakannya yang murni karena tidak sadar.
"Iya, gak papa." Balas Riyuna lu menundukkan kepalanya lalu menatap ujung sepatunya.
Ardo membuka sebuah ruangan dengan nomor 305, objek pertama yang ditangkap oleh mata pria itu adalah seorang pria yang terbaring di brankar rumah sakit.
"Ardo..." Kata itu keluar dari mulut pria itu dengan senyuman tipis di bibirnya.
"Kenapa bisa?" Tanya Ardo sepertinya tak mau berbasa-basi.
"Papa tadi pingsan di ka–"
"Papa terlalu sibuk bekerja sampai lupa sama kesehatan sendiri, ga heran sih kenapa papa bisa sampai lupa sama anak sendiri." Ucapan itu membuat pria itu terdiam.
"Maaf..." Ujar Tomy dengan suara serak. Pria itu berkaca-kaca saat menatap Ardo yang berubah dingin padanya. Padahal ia adalah alasan utama dari berubahnya Ardo semenjak kejadian beberapa tahun silam. Seandainya ia tidak egois dan mementingkan diri sendiri yang saat itu benar-benar terpuruk dan selalu ingin sendiri dengan menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja dan bekerja, sampai ia lupa kalau masih ada putra-putranya yang membutuhkan sosoknya di hidup mereka.
Seharusnya ia tidak hanya mentingkan egonya sendiri, seharusnya ia tahu jika bukan hanya dia yang terpuruk dan merasa kehilangan. Tapi kedua putranya juga, seharusnya Tomy menguatkan kedua putranya dan menyemangati keduanya. Seandainya dulu ia tidak mengurung diri dan berdiam diri di ruang kerjanya, pasti Ardo tidak sedingin itu padanya, dan putra sulungnya pasti akan memilih kuliah di negri ini.
Ardo menghela nafasnya, ia sebenarnya tidak benci pada papanya, hanya saja ia kecewa pada papanya yang membiarkan Ardo dan abangnya menghadapi kesedihan itu tanpa ada niat memberi dukungan dan semangat pada mereka.
Tomy menatap putranya yang hanya menghela nafas lalu memalingkan wajahnya ke arah pintu, Tomy tersenyum getir lalu menatap gadis yang berdiri tepat di sebelah putranya namun agak mundur dari Ardo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grateful To Remember You
FanfictionIni kisah Riyuna, gadis yang terbilang biasa saja dalam segala hal namun tidak dengan ketulusannya. Perjalanan hidupnya yang awalnya biasa saja, yang terbilang datar, yang penuh dengan ketenangan harus berubah saat dia tanpa sengaja menyaksikan seca...