21. Cerita

240 114 129
                                    

HAPPY READING!❤

oOo

Bel istirahat telah berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Zetta dan teman-temannya sudah duduk di meja kantin dengan makanan serta minuman yang tersaji di depan mereka.

Zetta menepuk jidatnya ketika menyadari dirinya belum memesan minuman. Gadis itu hendak berdiri dari duduknya, namun terhenti ketika seseorang meletakkan segelas iced matcha green tea di hadapannya.

"Buat gue?" tanya Zetta.

Elang mengangguk pelan. Ya, orang yang membelikan Zetta minuman favoritnya adalah Elang.

Zetta tersenyum manis. "Makasih, Elang."

Elang kembali mengangguk. Lalu melangkahkan kakinya keluar dari kantin, menuju lapangan utama sekolahnya untuk melihat para junior-nya yang sedang melakukan latihan futsal.

"Anjir! Elang mau nikung lo, Vin?" tanya Ryan ketika melihat sikap Elang yang begitu perhatian terhadap Zetta.

"Gila! Berani banget tuh anak," timpal Fendy yang duduk di sebelah Alvin.

Revan tersenyum miring. "Dia peduli sama Zetta. Enggak kayak cowok yang sekarang menyandang gelar sebagai pacarnya."

Semua geng ZAVEROV yang berada di meja tengah kantin terdiam. Mereka tahu, jika Revan sedang membangunkan singa yang sedang tidur. Oleh karena itu, mereka memilih diam dan memakan makanan mereka.

Alvin memperhatikan Zetta dari meja tengah kantin. Tak lama kemudian, cowok itu berdiri dari duduknya dan berjalan keluar dari kantin mengabaikan pertanyaan teman-temannya yang bertanya ke mana dia akan pergi.

"Lah, Alvin mana? Ini strawberry smoothie-nya gimana?" tanya Vano kepada teman-temannya. Cowok itu membawa 2 cup minuman berwarna oranye dan pink. Salah satunya adalah strawberry smoothie pesanan Alvin.

"Barusan keluar, nggak tau ke mana," jawab Dion.

Vano meletakkan 2 cup minuman di tangannya di atas meja. "Gue mau cari Alvin. Kalo kalian mau, minum aja nggak papa."

Vano melangkahkan kakinya keluar dari kantin untuk mencari Alvin. Meninggalkan teman-temannya yang kini sedang memperebutkan minuman berwarna oranye dan pink tersebut.

***

Alvin melangkahkan kakinya memasuki Ruang Ganti siswa yang kebetulan sedang tidak ada orang. Cowok itu duduk di salah satu tempat duduk yang berada di ruangan tersebut, lalu meremas kasar rambutnya.

Rasanya, Alvin seperti melakukan dosa besar dan dia tidak pantas untuk menampakkan dirinya di depan Zetta. Apalagi, mendapatkan maaf dari gadis yang sekarang menyandang gelar sebagai pacarnya.

Seseorang membuka knop pintu Ruang Ganti. Dan orang itu adalah Vano. Kini, cowok itu sudah duduk di sebelah Alvin.

"Lo ngapain di sini, Vin?" tanya Vano.

Alvin tidak menjawab. Setetes air mata mengalir membasahi pipinya. Cowok itu tidak peduli jika Vano menganggapnya cengeng karena menangis di hadapannya. Toh, Alvin juga manusia yang bisa menangis karena lelah menghadapi kenyataan.

Vano memegang bahu Alvin. Dia sama sekali tidak terkejut karena Alvin menangis. Vano dan Alvin dulu pernah satu TK dan SD. Namun, berpisah ketika SMP dan kini dipertemukan lagi di SMA. Vano tahu, Alvin tidak sekuat yang orang-orang lihat. Alvin hanya berpura-pura kuat di depan semua orang.

"Gue kira kita sahabat," Vano melirik Alvin. "Lo nggak mau berbagi cerita ke sahabat lo ini?"

Alvin menoleh ke arah Vano. "Lo pengen tau?"

Vano mengangguk cepat.

"Lo bisa bantu gue keluar dari masalah ini?"

"Ceritain dulu semuanya sama gue. Abis itu, gue bantu lo buat cari jalan keluarnya."

Alvin mulai menceritakan semua yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Alvin sudah mengenal Vano lama. Oleh karena itu, dia mau berbagi masalah ini dengan Vano.

Vano terdiam setelah mendengar semua yang diceritakan Alvin. Cowok itu menatap kosong ke depan. Dia benar-benar tidak percaya jika masalah Alvin akan serumit ini.

"Apa? Gila," Vano kembali menatap Alvin. "Ini seriusan?"

Alvin menganggukkan kepalanya.

"Nggak heran sih, kalo lo sampe nangis," lanjut Vano. Dia bingung, bagaimana cara menyelesaikan masalah Alvin?

Alvin menatap langit-langit Ruang Ganti agar air matanya berhenti keluar. Tapi, itu sama sekali tidak berhasil. Air mata cowok itu terus-terusan keluar dengan sendirinya. Sakit rasanya, jika kejujurannya akan menyakiti perasaan orang yang dicintainya.

Alvin menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Salah nggak sih, kalo cewek yang gue suka itu Zetta?"

Vano terdiam beberapa saat. Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu membuka suara. "Enggak salah."

Alvin memegangi kepalanya. Dia pusing karena memikirkan masalah ini sejak kemarin. Sejak saat Zetta menanyakan tentang Azusa, Alvin selalu memikirkan hal itu setiap saat.

"Kalo lo beneran suka sama Zetta atau malah udah sampe ke tahap cinta. Lo nggak boleh nyembunyiin masalah sebesar ini dari Zetta. Kalian harus saling terbuka satu sama lain, Vin. "

Alvin hanya diam.

"Zetta sama sekali nggak tau soal ini?" tanya Vano seraya memandang ke depan.

"Enggak," balas Alvin pelan.

"Gue rasa, lo harus bicarain hal ini berdua sama Zetta."

Alvin menggeleng pelan. "Enggak. Biarin dia tau dari orang lain."

Vano mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Alvin. "Lo gila? Zetta bakal lebih sakit hati kalo dia tau ini dari orang lain. Harus lo sendiri yang bilang ke dia, Vin."

Alvin terkekeh pelan. "Jangan konyol, Van. Itu sama aja kayak pemburu yang terjebak oleh perangkap yang dia buat sendiri."

"Bukan lo yang bikin perangkap ini. Tapi, perangkap ini udah ada dengan sendirinya. Dan Melva adalah orang yang dorong lo buat masuk ke perangkap."

Alvin mengerutkan keningnya. Dia masih bingung dengan perumpamaan yang diucapkan Vano.

"Gue rasa, lo udah masuk ke perangkap. Jadi, lo harus ngasih tau di mana letak perangkap itu ke Zetta. Dengan begitu, Zetta bakal bantu lo buat keluar dari perangkap yang bikin lo nggak bisa ke mana-mana ini," lanjut Vano.

Alvin memandang lurus ke depan. Cowok itu masih mencerna ucapan Vano.

"Lo nggak salah karena jatuh cinta sama Zetta. Lo juga nggak mungkin putusin dia. Lo cuma perlu ngomongin tentang ini ke Zetta. Dengan begitu, semua masalah ini selesai."

"Lo bener, Van," ujar Alvin. Setelah mencerna semua ucapan Vano. Ternyata, yang sahabatnya katakan ini ada benarnya juga.

"Gue tau, Zetta bakal marah atau mungkin benci lo. Tapi seenggaknya, lo udah berkata jujur ke dia, Vin. Dia harus tau hal ini dari mulut lo, bukan dari mulut orang lain."

Alvin menimang-nimang ucapan Vano. Setelah 2 menit berpikir, cowok itu berkata, "Oke. Gue bakal bilang jujur ke Zetta. Tapi, secara perlahan."

Vano mengangguk seraya tersenyum. "Ini baru anaknya Om Arion."

"Ngapain bawa-bawa bokap gue?!" ketus Alvin.

Vano terkekeh, lalu ingin mengelap air mata di pipi Alvin. Namun, Alvin segera menepis tangan Vano.

"Minggir! Gue straight!" Alvin melangkahkan kakinya keluar meninggalkan Vano yang masih duduk seraya bersandar.

Vano tertawa, lalu berdiri dari duduknya. "Sialan! Gue juga straight, Monyet!"

Vano ikut melangkahkan kakinya keluar dari Ruang Ganti yang kini mulai didatangi oleh kelas 12 IPA 3 yang akan melaksanakan olahraga.

-TBC-

JANGAN LUPA TEKAN BINTANGNYA YA!

THANKS FOR READING!❤

Follow instagram @cyanaphiaa

SHAMBLES (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang