34. Percaya

158 77 84
                                    

HAPPY READING!❤

oOo

Waktu istirahat telah tiba. Beberapa murid berlalu-lalang melewati koridor lantai tiga. Kedua gadis sedang berdiri berhadapan di koridor tersebut. Melva menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menatap gadis di depannya sinis.

"Lo berharap apa dari gue? Apa lo pikir, gue mau minta maaf sama lo setelah kejadian kemarin?" tanya Melva.

Adela menghela napasnya sabar. "Terus, lo mau ngapain?"

"Adelaide Serafina Aditama. Gue pikir, hidup lo sempurna karena lo berasal dari keluarga yang kaya raya. Dan juga, lo punya pacar kayak Alvin yang nyaris sempurna. Tapi ternyata, hidup lo menyedihkan."

Adela hanya diam seraya menatap Melva tanpa ekspresi.

"Gadis yang malang. Alvin jadiin lo pacar cuma karena Azusa. Kalo waktu itu Azusa nggak donorin kornea matanya buat lo, mungkin lo sama sekali nggak punya kesempatan buat ketemu Alvin. Apalagi, jadi pacar Alvin. It's impossible," lanjut Melva.

"Gue pikir, lo yang lebih kasihan. Lo udah nyatain perasaan lo. Tapi, Alvin nolak lo. Dan, lo ngelakuin hal rendahan kayak kemarin cuma buat dapetin Alvin. Poor you, Melva Veronica," balas Adela.

Plak!

Melva menampar pipi Adela dengan cukup keras. Membuat Adela langsung memegangi pipi kirinya seraya menatap Melva terkejut.

"Enggak usah kasihan sama gue. Kasihan aja sama diri lo sendiri. Terima takdir dong, Adela. Karena takdirnya, kisah percintaan lo lebih menyedihkan daripada gue," ujar Melva, lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Adela.

Tetes demi tetes air mata mengalir membasahi kedua pipi Adela. Gadis itu menangis karena semua yang Melva ucapkan tadi adalah benar. Adela menatap seorang cowok yang berdiri tepat di depannya. Dia adalah Revan, mantan pacar Adela.

Tanpa berpikir lama, Adela langsung memeluknya dengan erat dan Revan segera membalas pelukannya. Revan mengusap-usap surai cokelat gelap Adela. Membiarkan gadis itu mengeluarkan segela emosinya di dalam pelukannya.

"Don't be cry, Dela," ucap Revan.

"Hiks! Melva benar, Van. Hiks! Gue lebih kasihan daripada dia," sahut Adela yang masih berada dalam pelukan Revan.

"Enggak, Dela. Yang Melva bilang tadi nggak benar. Dia cuma pengen manipulasi perasaan lo. Dan, lo nggak boleh terpengaruh sama ucapan dia."

Adela melepaskan pelukannya. Gadis itu berjalan mundur 2 langkah, lalu menatap Revan dengan tatapan sayunya. "Andai lo masih milik gue, Van."

Revan terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut gadis di depannya. "Del-"

"Andai waktu itu lo nggak bikin gue kecewa," lanjut Adela, memotong ucapan Revan. Air mata gadis itu masih mengalir di kedua pipinya.

"Kenapa lo ngomong gitu?"

Adela mengepalkan kedua tangannya erat. Berusaha untuk menahan emosi di dalam dirinya. Adela harus ingat jika Revan sudah menjadi milik orang lain. Dia tidak boleh egois dan harus bisa menahan perasaannya.

"Sorry, kata-kata gue tadi cuma refleks. Lupain aja," jawab Adela.

Revan hanya mengangguk pelan seraya masih memikirkan perkataan Adela. Sedangkan Adela melihat ke arah seorang cowok yang berdiri di belakang Revan. Dia adalah Elang. Cowok itu berjalan mendekati keduanya.

Elang menghapus air mata di kedua pipi Adela, lalu menarik senyumnya tipis. "Jangan nangis."

Adela tidak membalas ucapan Elang dan entah kenapa air matanya malah kembali menetes. Melihat itu, Elang segera memegang pergelangan tangan Adela dan menariknya pelan. Membuat gadis itu menatapnya bingung.

SHAMBLES (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang