Alle menatap Ansel dengan sekilas lalu mengangguk pelan. Kemudian ia teringat akan hal sesuatu.
"Lo mau berterima kasih bukan," celetuk Alle dengan menyeringai.
Ansel mengangkat alisnya kemudian mengangguk dengan ragu-ragu. Ia agak curiga jika gadis itu akan melakukan hal aneh lagi.
"Gue hanya minta satu yaitu jangan hukum gue sama Marva dkk untuk kali ini. Sisanya terserah mau dikasih poin," harap Alle dengan tersenyum tipis.
"Ansel! Jangan mau!"
"Bener! Mereka itu salah masa nggak dihukum!"
"Enak banget mereka!"
Ansel manggut-manggut. "Okay, gue akan terima permintaan lo tapi terganggu para guru karena disini jabatan gue hanya ketos."
"Beri mereka poin saja karena sudah mencegah para murid tadi masuk sekolah kita."
"Tapi, Bu! Murid-murid tadi datang karena geng mereka, Bu!"
"Betul, Bu!"
Alle mendengkus malas. Ia berjalan menuju Elang lalu merangkul pundak lelaki itu. "Dasar nggak tahu terima kasih. Bang Elang menurut Lo jika mereka datang lagi apa perlu kita biarin aja?"
Elang menaikkan sebelah alisnya. Kemudian menyunggingkan senyumnya. "Tentu, raga ini akan selalu mengikuti perintah adik tersayang."
"Bang Gilang teh bisa so sweet juga," ledek Arel dengan tertawa terbahak-bahak.
"Nggak nyangka gue Gilang bisa kayak gitu biasanya juga netral dan tenang," sahut Dilan dengan menggelengkan kepalanya.
Marva hanya bisa menghela nafas melihat tingkah laku teman-temannya bahkan Elang dan Galen juga agak berubah. Akhirnya ia memilih berjalan menuju Alle dan Elang.
Saat di sana Marva melihat Alle yang berdiri disamping Elang dan Ansel. Ia segera mendorong tubuh Ansel hingga lelaki itu oleh dan terduduk dilantai.
Ansel melotot tajam. Ia mendengkus malas, lalu berdiri. "Lo itu ngapain bangsat?! Baru datang udah nyerempet orang!"
Alle yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka dua pria yang most wanted di SMA Cempaka akan bertengkar layaknya anak kecil.
"Alle besok pagi di rumah Lo kita belajar," celetuk Marva dengan muka datar.
Alle mengerutkan alisnya. "Mau ngapain? Lo nggak perlu repot-repot ajarin materi sekolah untuk gue."
Marva menggeleng. "Bukan itu, belajar kebumian."
Alle membulatkan matanya, lalu menyengir. "Hehe, sorry. Gue kira Lo mau ngajarin gue materi sekolah."
Ansel manggut-manggut. Kemudian merangkul pundak Alle lalu ditepis oleh sang empu. Ia yang melihat itu hanya menyengir kemudian menepuk-nepuk pundak Alle.
"Gue nggak suka disentuh cowok brengsek," cibir Alle dengan menatap sinis.
"Iya-iya mantan! Gue dulu hanya nggak suka sifat Lo yang bully orang, sahabat kecil Ansel!" cibir Ansel dengan menatap tajam.
Alle mengerjap bingung. "Maksud Lo apa? Sahabat?"
"Nanti Lo juga tahu sendiri," ucap Ansel dengan mengangkat bahunya.
Alle menatap sinis Ansel. Kemudian meninggalkan mereka dengan raut wajah bingung.
∆∆∆
Alle sudah berada didalam rumahnya dengan perasaan tidak senang. Ia rasanya sangat kesal rumahnya dijadikan sebagai penampung makhluk tidak berakhlak.
Awalnya rumahnya sangat bersih kini jadi berantakan bahkan cemilan jatah satu bulan pun sudah hampir habis. Mereka itu tampak tidak memiliki rasa malu dan asal ambil apapun. Inilah yang dinamakan rumah teman dianggap sebagai rumah sendiri.
"Ansel aku lapar," rengek Vio dengan memegang lengan Ansel.
Alle menggeram kesal. Lalu satu cewek yang tidak ada tahu malu rengek sana sini. Ia saja sebagai anak cewek satu-satunya di keluarga Sinathrya tidak manja seperti Vio walaupun dulu dia merupakan anak sulung cewek.
"Tunggu, ya. Ini rumah Alle gue nggak bisa berbuat seenaknya," ucap Ansel dengan membaca buku ilmu bumi.
Alle mengangkat alisnya ternyata lelaki itu masih memiliki rasa sopan santun. Ia duduk disamping Marva karena tidak ingin melihat kedua sejoli itu.
"Cih, ini kapan belajarnya? Pikirannya mau makan melulu. Katanya mau belajarnya besok kok malah sore ini," cibir Alle dengan mendengus kesal.
Marva hanya tersenyum tipis. Kemudian mengacak rambut Alle membuat gadis itu terkejut akan perbuatannya. Namun, secepat mungkin ia merubah ekspresi wajahnya.
"Cie, Lo suka ya sama gue," goda Alle dengan tertawa terbahak-bahak.
"Narsis," ucap Marva dengan muka datar.
"Oh, jelas! Kita sebagai manusia harus pede dan love yourself," ucap Alle dengan mengibaskan rambutnya hingga mengenai wajah Marva.
Marva hanya memegang pipinya yang terkenal kibasan rambut Alle. Gadis itu segera memegang wajah Marva dengan raut wajah khawatir.
"Aduh, maaf! Gue nggak sengaja beneran! Sini gue elus pipi Lo," sesal Alle dengan mengelus lembut pipi lelaki itu.
Marva tertegun diperlakukan secara spontan oleh gadis itu. Ia mengalihkan pandangannya dengan kuping dan wajah yang memerah.
"Loh, wajah Lo memerah! Apa perlu kita ke dokter?!" seru Alle dengan raut wajah khawatir.
Teman-teman Marva yang melihat itu seketika sangat terkejut. Marva yang dikenal sebagai lelaki bengis malah malu hanya karena elusan Alle. Namun, berbeda dengan Ansel yang berwajah masam.
"Lo itu kayaknya nggak mengerti masalah Marva," cibir Ansel dengan memutar matanya.
"Cie, cemburu ya Lo! Memang ya orang cantik itu banyak jadi bahan rebutan," seru Alle dengan tersenyum bangga.
"Anjir! Narsis banget! Kayaknya nggak peka sama sekitar!" timpal Arel dengan menatap sinis.
"Gue itu peka bangsat! Tuh, lihat! Vio kesal dan iri karena dicuekin lo pada!" seru Alle dengan menunjuk wajah Vio.
Vio yang ditunjuk seketika terkejut lalu tersenyum tipis. Alle yang melihat itu seketika menjadi muak didunia ini tidak ada orang yang benar-benar polos bahkan anak kecil sekarang pun lebih suka bicara bahasa kasar.
"Alle kok lo tiba-tiba bawa Vio," ucap Ansel dengan menghela nafas panjang.
"Katanya mau minta bukti kalau gue peka! Gimana, sih?!" geram Alle dengan menatap sinis.
Marva berdehem kecil. Kemudian memegang tangan Alle agar gadis itu tenang. "Duduk belajar dulu."
"Hmm," sahut Alle dengan muka datar.
Alhasil mereka belajar dengan tenang sesekali berbagai ilmu. Alle cukup gembira memiliki teman yang bisa diajak untuk ambisius bersama. Dulu saat mau ambisius dia hanya bisa sendirian.
Alle sesekali tertawa kecil melihat tingkah teman-teman saudaranya. Ia menatap wajah Marva yang terlihat sangat tenang dalam kondisi apapun. Lelaki itu memiliki mata yang indah dengan rambut gelap juga rahang yang tegas. Marva bisa dibilang lelaki yang diidamkan oleh para cewek-cewek.
"Udah selesai lihatin nya," celetuk Marva dengan menatap mata gadis itu.
Alle tertegun ternyata lelaki itu sudah mengetahui jika dirinya menatapnya cukup lama. Alle menyeringai kecil karena ia tidak ingin kalah dapat cowok lagipula tidak ada salahnya bukan bercanda dan punya teman cowok.
"Kenapa? Apa Lo baper gue tatap?" tanya Alle dengan mengangkat alisnya.
"Menurut Lo gimana?" tanya Marva dengan menyeringai.
"Ini ada apa?" tanya Dilan dengan raut wajah bingung.
"Diam!" seru Marva dan Alle berbarengan.
∆∆∆
Jangan lupa vote dan komen 💖
Aduh, beberapa semenjak Corona hari panas banget ya 🥵
Next!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Satu [END]
Teen FictionEleanor Devika Akalanka, seorang siswi biasa yang memiliki otak yang jenius. Elen dulunya juga menyukai pelajaran sejarah dan anti matematika walaupun begitu ia tetap mendapatkan nilai tinggi. Tiba-tiba saja Elen berpindah jiwa ke tubuh seseorang ya...