Marva datang dengan menjinjing plastik yang berisi makanan. Alle yang melihat kedatangan lelaki itu segera berdiri dan berlari. Rasanya seperti ketahuan pacar berselingkuh sama cowok lain.
Lelaki itu hanya menatap keduanya dengan tenang. Dimatanya tidak ada tersirat emosi melainkan rasa bersalah yang dipendamnya selama ini.
"Arva! Ini bukan seperti yang kamu kira," seru Alle dengan menggoyangkan lengan lelaki itu.
"Aduh, ini gimana? Kok gue kayak takut padahal nggak ngapa-ngapain," lanjut Alle dengan suara pelan tapi dapat didengar oleh lelaki itu.
Marva hanya menggelengkan kepalanya berbeda dengan Arkan yang menatapnya tajam. Marva tampak tidak keberatan dengan hal itu.
"Cih, ternyata Lo masih suka php anak orang!" geram Arkan dengan tertawa mengejek.
Marva menghela nafas. Berkali-kali dia mencoba menjelaskan tetapi lelaki itu seolah menutup mata dengan sebenarnya yang terjadi.
"Eh, tunggu! Lo bilang Arva itu kang php. Tapi kalau gue liatin enggak, deh. Malahan ... kayaknya gue yang kang php," ucap Alle dengan kata terakhir menggunakan suara pelan.
"Bagus! Hahaha, akhirnya tuh cowok tau bagaimana rasanya cinta bertepuk sebelah tangan!" seru Arkan dengan tertawa puas.
Alle mengerutkan alisnya. "Dih, rasanya kayak Lo yang sakit hati bukan orang lain."
"Coba tanya ke dia! Apa yang udah dia lakuin ke adek gue?!" sergah Arkan dengan menunjuk wajah Marva
Marva menghela nafas gusar. "Baiklah, aku akan ceritain semuanya. Terserah pendapat kamu tentang aku bagaimana. Ini semua berawal dari 3 tahun yang lalu."
∆∆∆
3 tahun yang lalu.
Semua berawal dari pertemuan Arkan dengan dirinya. Marva dulunya hanya junior dari ekskul basket sedangkan Arkan adalah senior mereka. Mereka akhirnya berteman dan sering bersenda gurau begitu juga dengan teman-temannya yang lain.
Suatu hari Marva tidak sengaja melihat orang kecelakaan dengan kepala bersimbah darah. Ia yang melihat itu segera menolong korban dan membawanya hingga ke rumah sakit.
Namun, tanpa diduga ternyata korban kecelakaan itu adalah adiknya Arkan. Semenjak kejadian itu mereka tambah dekat bahkan sesekali bermain bersama Claire. Ditambah ternyata Claire merupakan satu sekolah dengan mereka tapi hanya beda angkatan.
Marva dan Claire sangat dekat bahkan sering dibilang pasangan serasi. Awalnya Marva hanya membiarkannya saja mungkin orang-orang hanya salah paham.
Lalu suatu hari saat mereka selesai mengikuti ekstrakurikuler sekaligus pelepasan jabatan ketua basket kepada Marva. Tiba-tiba saja Claire memegang tangannya.
"Ehm, Kak Marva aku mau ngomongin sesuatu," ucap Claire dengan tersenyum canggung.
Marva mengangkat alisnya kemudian tersenyum tipis. "Ada apa, Re?"
Tiba-tiba saja Claire memeluk tubuhnya. Hal yang tidak diduga-duga itu membuat sangat terkejut. Ia segera melepaskan pelukan gadis itu dengan raut wajah khawatir.
"Lo lagi sakit, Re? Apa perlu ke rumah sakit?" cecar Marva dengan memegang pundak gadis itu.
Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan tersenyum manis. Marva yang melihat itu seketika menjadi bingung sendiri.
"Aku mau jujur sama kakak. Sebenarnya dari awal kita bertemu aku udah jatuh cinta sama kakak. Hmm, apa kakak mau jadi pacar aku?" ungkap Claire dengan tersenyum manis.
Marva tertegun mendengar pernyataan yang tidak diduga-duga olehnya. Ia melepaskan cengkeraman tangannya dipundak gadis itu.
"Sebelumnya maaf Claire gue nggak bisa terima Lo. Saat ini gue hanya menganggap Lo sebagai adik kecil gue dan lagipula kita terlalu muda untuk menjalin cinta. Lo itu cantik dan pintar mungkin banyak yang suka pastinya lebih baik dari gue," tolak Marva dengan tersenyum tipis.
Senyuman manis dari Claire berubah menjadi senyuman sendu. Matanya tampak berkaca-kaca tapi hanya bisa menerima kenyataan ini.
Teman-temannya yang melihat ini menatap Marva dengan tatapan tidak percaya. Mereka kira selama ini Marva juga jatuh cinta kepada adik Arkan, tetapi nyatanya tidak.
"Kalau begitu apa kita masih bisa menjadi adik-kakak?" tanya Claire dengan tersenyum tipis.
"Tentu, gue akan selalu menganggap Lo sebagai adik berharga yang selama ini gue miliki," sahut Marva dengan tersenyum tipis.
Claire mengangguk pelan. Kemudian menyeret kakinya keluar dari gerbang. Air matanya mengalir tanpa diketahui siapapun. Ia hanya tidak ingin orang-orang menganggapnya lemah.
Saat ingin menyeberang ke cafe depan tiba-tiba dihantam sesuatu benda keras hingga terlempar cukup jauh. Air mata kesedihan berganti menjadi tertawa miris dengan nasibnya. Untuk kedua kalinya mereka dipertemukan dengan nasib yang buruk.
"Claire! Nggak adik gue!" teriak Arkan berlari kencang dengan air mata mengalir deras. Arkan kini meletakkan kepala adiknya dipangkuannya.
"Abang ... jangan nangis ..." Itu adalah ucapan terakhir sebelum mata Claire tertutup sepenuhnya. Arkan meraung keras dengan memeluk tubuh adiknya.
Dari belakang juga ada Marva dan teman-temannya berlari menyusul Arkan. Air mata Marva kini turun ia tidak menyangka kenapa nasib ini terus berputar kembali. Rasa sakit kehilangan terus kembali kepadanya.
"Marva! Lo kenapa?!" seru Dilan yang melihat lelaki itu hampir tumbang dengan wajah memucat.
"Claire ... nggak mungkin ninggalin seperti bonyok gue bukan," lirih Marva dengan tertawa miris.
Dilan yang melihat itu menjambak rambutnya. Ia membuka ponselnya tapi nyatanya hanya ada layar hitam.
"Telepon ambulan bangsat!" teriak Dilan dengan muka memerah menatap orang-orang yang mengerumuni mereka.
Setelah kejadian itu Arkan selalu menyalahkan kematian adiknya disebabkan oleh Marva. Lalu beberapa kali Marva mencoba menjelaskan, tetapi lelaki itu seolah menutup matanya. Sejak saat itu juga Arkan selalu mencari masalah dengan Marva dan teman-temannya.
∆∆∆
Alle yang mendengarkan itu seketika menjadi bingung sendiri. Pasalnya, Marva itu tidak salah sedangkan Arkan pasti masih tidak terima kenyataan tentang adiknya.
Arkan hanya diam dengan mengepalkan tangannya. Emosi dan ingatan kejadian itu terus saja terngiang-ngiang di kepalanya seperti kaset yang rusak.
Marva yang melihat itu hanya bisa pasrah jika Arkan akan menyerangnya lagi. Tapi nyatanya Arkan hanya diam saja dengan tertawa kecil. Hal itu membuat mereka berdua bingung dibuat lelaki itu.
Arkan berdiri dengan raut wajah tidak terbaca. Ia tersenyum tipis dengan menatap Marva membuat lelaki itu terkejut lagi dan lagi.
"Gue nggak marah tapi hanya kesal juga kecewa, setiap melihat wajah Lo mengingatkan gue akan kejadian itu. Kejadian itu selalu menghantui gue dan membuat emosi gue melonjak naik. Gue nggak pernah membenci Lo," ungkap Arkan dengan terkekeh kecil.
"Jadi ..."
"Jangan motong pembicaraan gue! Marva Lo itu udah gue anggap seperti adik gue jadi sampai kapanpun akan menjadi adik tersayang," ungkap Arkan dengan tersenyum tipis.
Alle yang melihat itu seketika juga ikut bahagia. Kedua lelaki itu berpelukan ala pria.
"Jaga dia jangan sampai mengecewakan gue lagi," bisik Arkan dengan tersenyum tipis.
"Pasti, Kak," sahut Marva dengan suara pelan.
Keduanya menghentikan kegiatan kangennya. Kini Arkan kembali menatap tajam kearah Alle membuat gadis itu terkejut.
"Lalu Lo jangan cuman bisa jadi kang gantung! Kalau suka bilang lalu kalau nggak jangan php!" sergah Arkan dengan menunjuk wajah Alle. Hal itu membuat Alle menjadi agak kesal sedangkan Marva tertawa kecil.
"Iya-iya! Ini lagi coba buka hati," sahut Alle dengan mendengus.
"Cie, yang udah baikan!" ejek Alle dengan tertawa kecil.
Arkan menggelengkan kepalanya. "Udahlah gue mau balik dulu, kalian lanjut aja acara kencannya."
"Bye-bye, Arca kancah!" seru Alle yang disambut jari tengah oleh Arkan. Setelah itu mereka balik lagi ke cafe.
∆∆∆
Jangan lupa vote dan komen 💖
Rahasia pertengkaran mereka ternyata itu 🤔
Next!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Satu [END]
Teen FictionEleanor Devika Akalanka, seorang siswi biasa yang memiliki otak yang jenius. Elen dulunya juga menyukai pelajaran sejarah dan anti matematika walaupun begitu ia tetap mendapatkan nilai tinggi. Tiba-tiba saja Elen berpindah jiwa ke tubuh seseorang ya...