Alle memegang erat pundak Marva hingga mereka telah sampai disekolahan. Saat sampai di sekolah ia segera melepaskan helm dan meletakkan di kaca spion dengan tenang.
Saat di koridor sekolah murid-murid mulai menatap dirinya. Ia tidak memperdulikan tapi kata-kata mereka membuatnya cukup kesal.
"Coba lihat tuh penyihir balik lagi."
"Bener gayanya udah kayak dulu lagi."
"Pantas aja Ansel nggak mau sama dia. Toh, gayanya aja udah kayak jalang karena ganti-ganti cowok melulu!"
"Cih, gue kasian sama orang tuanya yang punya anak kayak dia."
Alle yang mendengar itu berhenti dari langkahnya dengan mencengkeram erat tangan Marva. Kemudian berjalan menuju kerumunan tukang gosip itu.
"Gue nggak suka kalian membawa orang tua ke urusan ini," tekan Alle dengan muka dingin.
Alle sadar jika pemilik tubuh ini dulu sangat dibenci oleh murid-murid lain. Namun, bukan berarti mereka bisa menghina juga membawa orang tua kedalam urusan gosip mereka.
Alle juga tidak salah dalam berpakaian. Ia hanya memakai seragam tidak dikancing hanya menyisakan kaos. Lalu menggunakan celana hitam panjang untuk rok nanti dia akan memakai di toilet.
Saat ingin bicara lebih banyak Marva membekap mulut Alle menggunakan tangannya membuat gadis itu kesal. Kemudian lelaki itu merangkul tubuh Alle dengan tersenyum tipis. Hal itu membuat murid-murid yang berada disana terkejut karena selama ini Marva selalu memberikan tatapan beringas miliknya.
Marva mengelus lembut rambut Alle. Kemudian membawa Alle berjalan membuat gadis itu menggeram kesal dengan menatap kearah belakang. Lelaki itu lagi-lagi mencengkeram dagunya hingga hanya menatap ke depan.
"Cih, Lo kenapa bawa gue pergi?! Padahal gue mau jewer satu-satu tuh tukang gosip," geram Alle dengan menatap tajam.
"Nggak ada gunanya marahin mereka. Hal yang pasti mereka hanya takut sekali habis itu ngulang lagi. Biasa orang iri," ucap Marva dengan mengangkat bahunya.
Alle yang mendengar itu seketika tertegun. Ia menundukkan kepalanya karena yang dibilang lelaki itu ada benarnya. Namun, entah mengapa dia sangat tidak menyukai seseorang yang menghina tanpa mengetahui fakta apapun.
Alle mengangkat alisnya. Kemudian menatap kearah Marva dengan menyeringai kecil. Kemudian mencolek pipi Marva membuat lelaki itu terkejut dibuatnya.
"Wah, Lo beberapa hari ini sudah ngomong banyak sama gue," ucap Alle dengan terkekeh kecil.
"Memangnya kalau dulu gimana?" tanya Marva dengan tersenyum tipis.
"Kek triplek yang selalu datar," jawab Alle dengan mengangkat bahunya.
"Eh, walaupun gue juga gitu, sih." Alle menggaruk tengkuknya sembari cengengesan. Kemudian masuk kedalam toilet dengan tenang.
Marva mendengkus malas. Kemudian menunggu gadis itu didepan toilet sembari memainkan ponselnya. Ia terlihat menikmati waktunya menunggu Alle.
"Arva, kenapa masih disini?" tanya Alle dengan mengerutkan alisnya.
"Nunggu lo," jawab Marva dengan menatap ponselnya. Kemudian meletakkan ponselnya di kantung sakunya.
Saat diperjalanan menuju kelas. Tiba-tiba saja namanya dipanggil oleh sang guru. Mereka menghentikan langkah kakinya dengan menatap sang guru.
"Ada apa, Bu?" tanya Alle dengan tersenyum tipis.
"Kamu Allegra Brigitta Sinathrya bukan?"
"Iya, Bu. Saya Alle," jawab Alle dengan raut wajah bingung.
"Ibu minta tolong untuk mengajar di kelas XI IPA dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia."
Alle mengerutkan alisnya. "Tapi bagaimana dengan pembelajaran saya, Bu? Saya tidak mungkin meninggalkan kelas begitu saja."
"Ibu sudah minta izin sama guru pengajar kamu. Mata pelajaran pertama kamu Sejarah Indonesia Ibu Desy bukan?"
"Benar, Bu. Lalu apa yang harus saya lakukan selama disana?" tanya Alle dengan tersenyum tipis.
"Kamu hanya perlu menjelaskan Dampak kolonialisme dan imperialisme selama pembelajaran. Kemudian akan ada kuis dadakan nanti soal sama jawabannya akan saya share ke kamu. Lalu yang lebih penting kamu akan ibu beri bonus."
Alle mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk pelan. Alhasil setelah sang guru pergi mereka kembali berjalan menuju kelas masing-masing.
"Alle, apa lo yakin mau ngajar kelas Vio?" tanya Marva dengan muka datar.
"Cih, kembali lagi muka triplek. Tenang aja gue nggak akan biarin mereka seenaknya," sahut Alle dengan menepuk pundak Marva.
"Apa perlu gue temenin Lo saat di kelas mereka?" tanya Marva dengan mengangkat alisnya sembari menatap wajah Alle.
"Nggak perlu gue bisa sendiri," tolak Alle dengan tersenyum tipis.
Setelah sampai dimuka kelas Alle mereka segera berpisah. Alle menatap kepergian lelaki itu dengan tenang.
Saat didalam kelas yang ia lihat hanya kehebohan teman sekelasnya. Alle hanya bisa menggelengkan kepalanya lalu meletakkan tasnya di kursinya.
"Woy! Lo pada izinin gue, ya! Tadi gue disuruh Bu Cipta ngajar kelas IPA 1," seru Alle dengan membenarkan seragamnya.
"Wah, yang bener! Hati-hati sama kelas IPA 1."
"Betul! Mereka itu memang pintar tapi pada licik dan menjijikkan!"
"Mereka itu suka banget caper sama guru! Tapi sekali sama murid lain jangan harap!"
"Betul! Padahal kelas kita sama XI IPA 1E biasa aja, tuh!
"Vio juga menjijikkan! Tunangan orang diembat!"
Alle hanya terkekeh geli. Dulu saja saat sang pemilik masih berwajah dingin mereka tidak mau mendekatinya. Dulu juga bilang jika yang dilakukan Alle salah tapi nyatanya mereka tidak memahami bagaimana perasaan gadis itu. Sekarang mereka tampak seperti penjilat ulung.
Setelah itu dia pergi meninggalkan kelasnya sembari membawa buku paket. Ia menjadi tidak sabar dengan kejadian yang terjadi selanjutnya.
∆∆∆
Saat berada di koridor jurusan IPA semua murid dan guru pengajar juga menatapnya heran. Ia tidak memperdulikannya yang lebih penting dirinya juga sudah diberi izin oleh kedua guru.
Saat didepan kelas ia menyeringai kecil mendengar pembicaraan murid-murid kelas XI IPA 1. Ia mendengarkan terlebih dulu sebelum masuk.
"Katanya Bu Cipta nggak ngajak."
"Bener! Konon katanya anak Buncit lagi sakit."
"Yes! Bahagia banget gue! Kesel gue masa IPA ada pelajaran sejarah."
"Tapi kasihan juga anak Bu Cipta."
"Cih, nggak perlu dikasihani Vio yang lebih penting jamkos."
Alle mengerutkan keningnya karena samar-samar ia mendengar suara Vio. Namun, tidak lama lagi terjadi kehebohan didalam kelas.
"Woy! Katanya Ratu penyihir mau ngajar kelas kita!"
"Sial! Apa dia nggak belajar?!"
"Katanya tuh jalang disuruh si Buncit!"
"Kita harus hati-hati pasti tuh centil akan bully Vio lagi!"
"Cih, dia nggak akan bisa bully Vio karena ini merupakan sarang kita!"
Alle menahan tawanya saat murid-murid heboh bahkan ada yang menyuruh untuk menyiram lantai agar dirinya terjatuh. Namun, ada juga seseorang yang menyuruh meletakkan air bekas pel di pintu.
Disaat-saat mereka asyik mempersiapkan jebakan. Ia segera mendobrak pintu kelas mereka dengan kekuatan penuh hingga hal yang mengejutkan terjadi.
Bruk!
∆∆∆
Jangan lupa vote dan komen 💖
Wah, bunyi apaan tuh?
Next!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Satu [END]
Teen FictionEleanor Devika Akalanka, seorang siswi biasa yang memiliki otak yang jenius. Elen dulunya juga menyukai pelajaran sejarah dan anti matematika walaupun begitu ia tetap mendapatkan nilai tinggi. Tiba-tiba saja Elen berpindah jiwa ke tubuh seseorang ya...