1 🍂

17.2K 1.6K 58
                                    

Seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah kebanggaan miliknya. Di lengan seragamnya terdapat banyak lambang dari ekstrakurikuler yang diikutinya.

Di atas kantong seragamnya tertulis nama Eleanor Devika Akalanka. Gadis yang dipanggil Elen itu terlihat antusias mengendarai sepedanya. Ia tidak seperti murid-murid lain yang suka mengendarai motor alasan utama adalah tidak ingin membebankan kedua orang tuanya walaupun keluarganya cukup kaya setidaknya kedua orang tuanya juga memiliki keperluan lain.

Hari ini adalah hari pertama ia memasuki sekolah menjadi kelas XI. Ia jadi tidak sabar melihat peserta didik baru dan tampil didepan aula mengajak adik kelasnya agar ikut ekstrakurikuler yang diikutinya.

Saat ingin menyeberang tiba-tiba saja ada seekor ular hitam lalu didepan jalan yang membuatnya terkejut. Ia yang melihat itu segera mengayuh sepedanya dengan kencang. Namun, ia tidak sadar jika dari kejauhan ada ambulan lewat.

Bruk!

Ia terlempar cukup jauh membuat kepalanya sangat sakit. Ia samar-samar mendengar teriakan histeris dari orang-orang. Namun, ia sangat kesal karena tidak ada yang membantunya. Ia terkejut melihat ular hitam itu mendekatinya dan berubah menjadi sosok manusia.

"Pejamkan matamu dan kehidupanmu akan berubah menjadi lebih baik."

Elen yang mendengar itu seketika menjadi mengantuk lalu memejamkan matanya dengan perlahan. Ia bersumpah ular hitam itu akan menyesal sudah membuatnya seperti ini.

∆∆∆

Di tempat yang lain wanita paruh baya memeluk erat tubuh putrinya yang sedikit pucat. Tiba-tiba saja sosok gadi itu terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya menyeimbangi cahaya matahari yang memasuki penglihatannya.

"Lepas."

Kedua orang tua itu seketika terkejut melihat sosok didepannya yang bangun tanpa rasa bersalah. Kemudian wanita paruh baya itu segera memanggil pihak rumah sakit dan datanglah beberapa dokter.

"Ada apa ini?! Apa kalian mau menipu keluarga saya?!"

"Maafkan kami, Pak. Tadi saya benar-benar tidak bisa merasakan detak jantung putri Bapak."

"Sudahlah, Mas. Hal yang lebih penting adalah anak kita selamat. Ini namanya mukjizat yang diberikan oleh Tuhan kepada putri kita."

Elen yang melihat pertengkaran itu hanya diam karena didepannya tidak ada sosok yang dikenalinya sama sekali. Ia mengedarkan pandangannya tapi tidak ada satupun keluarganya yang datang. Mereka tidak setega itu untuk tidak memeriksa keadaan putri sulungnya.

Ia tersenyum canggung saat wanita paruh baya itu menghampirinya. Ia tidak tahu harus berkata apa karena takut berkata hal yang tidak-tidak.

"Alle sayang, keadaan kamu gimana, Nak?"

Elen mengerutkan keningnya bertanya, "Kalian siapa?"

"Alle, apa kamu tidak ingat dengan Bundamu sendiri?"

Elen mengerutkan keningnya kemudian tertawa terbahak-bahak bahkan air matanya keluar karena terlalu lama tertawa. Semua orang yang melihatnya kemudian menatapnya dengan khawatir.

"Maaf, Tante. Mungkin Tante salah orang nama saya adalah Eleanor Devika Akalanka. Lalu siapa Alle? Juga Tante tidak perlu mengaku sebagai Bunda saya karena yang pasti Mama saya lebih tua daripada anda," ucap Elen dengan terkekeh kecil.

Semua orang lagi-lagi terkejut mendengar perkataannya membuatnya sedikit heran karena mereka tidak sebodoh itu bukan untuk mengenali putri sendiri. Tiba-tiba para dokter mulai datang bahkan membawa suntikan yang membuatnya sedikit khawatir.

"Dokter! Ini putri saya kenapa?!"

"Heh, Om jangan ngaku-ngaku sebagai Papa saya," sahut Elen dengan berdecak kesal karena sudah ia bilang kalau dirinya bukan putri mereka.

"Sepertinya putri Bapak memiliki gangguan jiwa dan harus segera dibawa ke rumah sakit jiwa."

Elen yang mendengar itu seketika melotot tajam. Pasalnya, ia masih normal lalu dokter itu bilang gangguan jiwa padahal mereka baru saja bertemu dalam hitungan menit.

"Heh, berhenti!"

"Gue nggak gila, woy!"

"Bangsat! Aku kada gila, woy!" (Bangsat! Gue nggak gila, woy!)

Namun, mereka tidak mengindahkan perkataannya bahkan mulai mengikat tangannya. Saat diperjalanan ia sedikit pusing tiba-tiba keluar cairan muntah dari mulutnya hingga mengenai seorang perawat yang memegangnya.

"Shit! Cepat, woy! Dia muntah di baju gue!"

"Mampus! Sudah dibilangin kalau gue ini normal jika tidak ingin terkena muntahan maka lepasin gue," tekan Elen dengan menatap tajam.

Elen berdecak kesal saat orang-orang itu terlihat bersungguh-sungguh ingin membawanya ke rumah sakit jiwa. Saat sampai ia segera diseret bahkan luka dikakinya pun tidak dipedulikan oleh mereka.

"Kaki gue sakit, woy! Lepas atau gue laporin ke bonyok!" seru Elen dengan muka dingin. Ia tersenyum puas melihat orang-orang itu berhenti menyeret tubuhnya.

Saat sampai dikamar ia segera dilempar ke dalam kamar berwarna putih. Ia meringis kecil saat lukanya kembali terbuka.

"Sialan! Tuh, orang siapa, sih?!" umpat Elen dengan berdecak kesal.

∆∆∆

Empat hari telah berlalu ia tersenyum puas akhirnya dia bisa keluar dari penjara penuh obat. Ia sedikit kesal saat memikirkan kehidupannya saat berada dirumah sakit jiwa. Ia tidak diperbolehkan untuk meminjam ponsel bahkan cermin pun juga tidak boleh. Ia merasa dirinya seperti narapidana yang baru saja bebas dari hukumannya.

"Tante sekarang saya bisa pergi bukan," celetuk Elen dengan tersenyum tipis.

"Kamu pergi kemana, sayang. Kami ini adalah keluarga kamu dan tempat kamu berpulang."

Elen mendengus kesal ternyata mereka masih saja ingin menahannya. Alhasil ia hanya diam tapi jika mereka lengah baru dirinya kabur.

Saat diperjalanan ia hanya berpura-pura tidur karena tidak tahu harus berkata apa. Setelah menempuh perjalanan akhirnya mobil ini berhenti.

Ia membuka matanya dengan terkejut karena dihadapannya sekarang bukan lagi rumah melainkan seperti istana. Ia membayangkan jika rumah itu dijual mungkin bisa membeli beberapa hektar tanah di desanya.

Disepanjang jalan menuju dalam rumah ia hanya tercengung. Rumah mereka penuh dengan perabotan mahal. Ia hanya berdecak kagum inikah yang dilakukan oleh orang kaya.

"Maaf sebelumnya nama Om sama Tante siapa, ya?" tanya Elen dengan mengangkat alisnya.

"Ah, iya. Bunda lupa ternyata kamu amnesia. Dokter itu sangat tidak bisa dipercaya. Nama Bunda Agung Puspita Sinathrya sedangan Ayah kamu Abraham Ilman Sinathrya," ucap bunda Pita dengan tersenyum tipis.

"Kamu juga punya dua saudara. Ada Gilang Emery Sinathrya yang merupakan kakak kembar kamu. Lalu ada Galen Hendery Sinathrya yang merupakan adik angkat kamu," jelas Ilman dengan muka datar.

"Oke, kalau gitu saya mau pergi ke kamar," pamit Elen dengan muka datar.

"Emili tolong antar putri saya ke kamarnya," perintah Pita dengan menatap kepergian putrinya.

Elen mendapatkan kamarnya untuk sekarang dengan bantuan asisten rumah tangga keluarga ini. Namun, ada sesuatu yang membuatnya seperti ditarik. Ia menatap sebuah cermin lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Bangsat! Tubuh gue kenapa bisa begini?!" seru Elen dengan mengucek matanya.

Elen kemudian berlari menuju jendela yang dapat lihat dari kejauhan terpampang tugu Monas. Ia mengucek matanya kembali tapi tetap saja pemandangannya tidak berubah. Dimana tugu dodol kebanggaan daerahnya lalu sejak kapan ada perumahan elite mewah di daerahnya.

"Ini daerah mana?! Jakarta?! Kota Kandangan kesayangan gue dimana, woy! Gue orang Banjar asli kenapa bisa nyungsep kesini!" pekik Elen dengan melotot tajam.

***

Jangan lupa vote dan komen 💖
Ini cerita baru aku tentang transmigrasi, ya!

Kita Satu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang