Tatapan matanya bertemu dengan ibu BK. Ia menghela nafas panjang. "Begini, Pak. Semalam saya dengan Vio anak IPA 1 sedang melakukan kuis. Lalu saya memenangkan acara kuis itu. Anak IPA 1 tidak terima malah ingin membuat saya jatuh dengan menjulurkan kakinya."
"Saya tidak percaya! Murid XI IPA 1 itu dikenal sebagai murid yang sopan dan jenius. Kamu pasti hanya mengada-ada bukan!"
Alle mendengkus malas. "Saya sudah menjelaskan yang sebenarnya tapi ibu tidak percaya."
"Betul! Ibunya kepingin bagaimana? Sudah dijelaskan sama kak Alle juga," sahut Galen dengan berdecak.
Semua orang yang mendengar penuturan Galen seketika tertegun. Arel juga ikut berlari mencubit pipi lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.
"Wah, Galen sudah ketularan virus Alle," celetuk Dilan dengan menggelengkan kepalanya.
Plak
Sebuah spidol mengenai kaki hingga lelaki itu memekik tertahan. Teman-temannya yang melihat hanya meringis kecil melihat kelakuan lelaki itu.
"Diam! Marva coba kamu jelaskan."
Marva mendengkus malas. "Apa yang dibilang Alle memang kenyataan. Saat itu ada yang ingin membuat Alle jatuh dan murid itu berasal dari kelas IPA 1. Saya yang berada disana segera menolong Alle. Kejadian itu memang fakta tapi bukan berarti kami berbuat hal tidak-tidak seperti didalam foto."
"Kalian pasti mengada-mengada ibu tidak yakin dengan kalian."
"Saya sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tapi sepertinya ibu hanya memperhatikan murid genius," ucap Marva dengan muka datar.
Alle mengangguk pelan. "Jadi ibu maunya gimana? Ibu mau kita berdua nikah lalu ibu jadi tamu."
Semua orang yang berada disana seketika menatap Alle dengan tatapan tajam. Pita yang mendengar melotot tajam dengan menjewer kuping Alle.
"Aduh, Bun! Sakit ini!" seru Alle dengan memegang tangan sang bunda.
"Kamu ini bicara sembarangan! Mau Bunda potong uang saku kamu, hah?!" seru Pita dengan menatap tajam.
"Bercanda, Bun. Mau dipotong juga itu Alle tidak masalah," sahut Alle dengan cengengesan.
"Hmm, kalian disini mau reuni keluarga atau sidang masalah Alle juga Marva."
Pandangan mata keluarga Sinathrya berubah menjadi datar. Memang pada dasarnya keluarga terpandang memiliki keanggunan tersendiri.
"Kita sudah membahas bukan masalah ini. Apa foto ini memang kenyataan atau hanya diambil dari sudut tertentu?" tekan Ilman dengan muka datar.
"Seperti yang ..."
"Saya tidak bisa mempercayainya dengan foto saja. Ini sekolah paling bergengsi bukan apakah tidak mempunyai CCTV. Pihak sekolah hanya mengganggu urusan kerja saya," tekan Ilman dengan mengetuk-ngetuk jarinya.
"Saat itu pihak sekolah tidak menyalakan CCTV karena tidak ada urusan penting."
"Cih, percuma anak saya bersekolah disini kalau pihak sekolah nya hanya peduli dengan orang jenius. Apa kalian tidak sadar jika tanpa putri saya dan teman-teman putra saya sekolah anda akan tidak bersinar?" cibir Pita dengan muka julid.
"Maaf, Bu ..."
"Ibu, maaf menyela pembicaraan. Saya tahu sifat Alle bagaimana karena kami saudara kembar," sela Elang dengan tersenyum tipis.
"Kami bisa menjadi saksi karena saat itu kami juga berada di sana," sahut Galen dengan wajah tidak suka.
"Kalian itu keluarga pasti saja membela Alle. Ini harus dilaksanakan dengan bijak."
"Kalau begitu panggil ketua jurnalistik itu kesini atau saya seret," tekan Marva. Lelaki itu kali ini tidak main-main terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang tampak memerah.
Teman-teman Marva yang mendengar segera memegangi tubuh lelaki itu. Namun, berbeda dengan Alle ia seolah-olah mengeluarkan suara gelak tawanya hingga ujung dunia.
Pasalnya, kali ini Marva dipegang erat oleh teman-temannya. Elang memegangi tangan Marva seperti narapidana sedangkan Dilan memegang pundak lelaki itu.
"Kalau Ibu mau tahu gaya Ale-ale dulu memang centil sama ketua OSIS kita, tetapi selama ini tidak pernah melakukan hal senonoh," celetuk Arel dengan bersedekap dada.
Alle menggeram kesal. Ia mengelus-elus dadanya. "Haruskah gue berterima kasih kepada Lo atau gue tendang."
"Oh, jelas! Sebagai adik kelas yang baik dan imut ini adalah pembelaan!" seru Arel dengan tersenyum bangga.
"Maaf anda siapa?" ejek Alle dengan mengangkat alisnya.
"Jahat bener Lo Ale-ale!" gerutu Arel dengan muka masam.
"Imut apaan yang ada kayak setan!" timpal Dilan dengan memutar matanya.
Ditempat lain Ansel masih saja berada diluar ruangan BK. Tiba-tiba saja beranjak pergi meninggalkan kerumunan diiringi oleh Vio.
Berbeda didalam ruangan BK yang masih saja terjadi keributan. Alle dan Arel masih saja berdebat membuat ruangan sangat ricuh.
"Lo juga duluan bilang gue centil!" geram Alle dengan menarik rambut lelaki itu.
"Bangsat! Sakit!" teriak Arel dengan menepuk-nepuk tangan Alle.
"Ikam yang bangsat!" sembur Alle dengan semakin mencengkeram erat rambut lelaki itu.
Ceklek
Tiba-tiba saja ada seorang siswi masuk dengan raut wajah bingung sedangkan penghuni ruangan BK hanya diam. Siswi itu kembali menutup pintu ruangan BK.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" seru penghuni ruangan BK.
Siswi itu kembali masuk dengan raut wajah polosnya. Ia menggaruk tengkuknya dengan menatap para guru.
"Kamu kesini mau apa?"
"Hmm ... gini, Bu."
"Iya?"
"Gini, Bu ..."
"To the point!"
Murid itu tersentak ketika mendengar teriakan dari sang guru. Kemudian ia maju selangkah demi selangkah mendekati sang guru.
"Jadi gini, Bu. Saya murid kelas XI IPS 1 yang menjadi juri dalam kegiatan kuis Alle sama siswi kelas XI IPA 1. Siapa namanya yang unggulan IPA 1? Lanjut kali, ya. Saat pertandingan Alle memenangkannya dan murid IPA 1 tidak terima malah ingin membuat Alle jatuh. Marva yang melihat itu segera menolong kalau masalah foto sepertinya memang ada orang yang ingin menjebak mereka."
Alle juga Marva dan teman-temannya seketika mengangguk menyetujui perkataan gadis itu. Setelah mendengar perkataan itu para guru seketika terkejut dengan menatap murid kelas XI IPA 1 yang berada diluar.
"Baik, Fin sudah menjelaskan maka saya akan percaya karena dia siswi yang jujur diantara teman-temannya."
Alle yang mendengar itu sontak bertepuk tangan. Namun, berbeda dengan ketua jurnalistik berada diluar ruangan BK yang turut menonton seketika menjadi memucat.
"Berarti Alle juga yang lainnya silahkan pergi. Semua murid kelas XI IPA 1 segera masuk ruang BK terutama Vio juga ketua jurnalistik."
Alle berjalan keluar dari ruangan yang sumpek dan penuh para penjilat. Mereka sepertinya tidak sadar diri atau apa yang diberikan oleh keluarga Sinathrya dan Valentino.
"Makasih sudah mau bantu menjelaskan ke guru," ucap Alle dengan tersenyum tipis.
"Lo nggak perlu berterima kasih sama gue. Hal yang lebih penting semua ini karena Ansel. Dia yang mendatangi gue ke kelas dan minta gue jelasin semuanya ke guru."
Alle mengerutkan keningnya. Kemudian ia melihat kearah luar ruangan BK. Di sana ada Ansel dengan senyuman yang terpampang diwajahnya.
Tiba-tiba saja Marva merangkulnya lalu membawa pergi. Alle sempat memberontak, tetapi akhirnya hanya pasrah.
"Balik ke kelas," ajak Marva dengan muka datar.
∆∆∆
Jangan lupa vote dan komen 💖
Malu nggak ya tuh guru 🤔
Next!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Satu [END]
Teen FictionEleanor Devika Akalanka, seorang siswi biasa yang memiliki otak yang jenius. Elen dulunya juga menyukai pelajaran sejarah dan anti matematika walaupun begitu ia tetap mendapatkan nilai tinggi. Tiba-tiba saja Elen berpindah jiwa ke tubuh seseorang ya...