27🍂

5.4K 597 2
                                    

Alle mengerutkan alisnya. Pasalnya, mereka sama sekali tidak pernah memesan cake. Ia menatap wajah lelaki itu yang tampak tenang.

"Arva, apa semua ini pesanan Lo?" tanya Alle dengan mengangkat alisnya.

Marva tidak menjawab pertanyaannya. Lelaki itu tampak sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga tidak sadar kini tengah ditatap oleh Alle.

"Arva, apa Lo masih sadar?" tanya Alle dengan menjentikkan jarinya didepan wajah sang empu.

Lelaki itu tampak masih diam. Tiba-tiba saja mengeluarkan kalung dari balik sakunya. Alle cukup bingung melihat situasi yang seperti sekarang.

"Ah, jadi Lo mau nembak cewek. Jadi Lo jadiin gue sebagai kelinci percobaan," duga Alle dengan mengangguk.

Marva menggeleng. Ia menatap bola mata indah milik gadis itu. "Alle ... gue emang nggak romantis kayak cowok lain. Tapi sebisa mungkin gue akan membuat Lo bahagia dan nyaman saat bersama gue. Jadi apakah Lo mau menjadi pacar gue?"

Alle seketika terkejut dan menjadi bimbang. Ia menatap lelaki itu dengan tersenyum canggung. Ia tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini.

"Ehm, maaf Arva. Gue bukannya menolak pernyataan Lo. Tapi kita baru saja kenal beberapa minggu dan ini terlalu awal. Gue tau rasanya sakit hati, jadi gue akan beri satu kesempatan buat lo. Jadi jangan sia-siakan kesempatan yang gue beri," ucap Alle dengan tersenyum tipis.

Marva mengangguk pelan. Lelaki itu menerimanya dengan lapang dada. Tangannya kini melingkar dileher gadis itu. Lalu terpampang jelas sebuah kalung berliontin kupu-kupu dengan kristal merah muda melekat dibawahnya.

"Cantik," ucap Alle dengan memegang kalung itu.

"Kayak kamu," celetuk Marva dengan tersenyum tipis.

Alle tersedak air ludahnya sendiri. Apa mungkin ia salah dengan? Lelaki itu berbicara dengannya pakai aku-kamu.

"Itu ... kenapa pakai aku-kamu?" tanya Alle dengan tertawa canggung.

"Lagi pengen aja," jawab Marva dengan mengangkat bahunya.

Alle cukup tercengang dengan apa yang didengarnya. Dari nada suara lelaki itu tampak seperti seorang gadis.

"Lo udah kayak cewek aja, deh!" seru Alle dengan tertawa kecil.

"Kalau aku ngomong begini boleh bukan," pinta Marva dengan tersenyum tipis.

"Eh, berarti gue ... bukan aku juga harus ngomong begini. Aku ngerasa nggak sopan aja kalau sendirian pakai gue-lo," sahut Alle dengan menggaruk tengkuknya.

Marva tersenyum. Kemudian mengacak rambut gadis itu. "Senyaman kamu aja, ayo kita pulang."

∆∆∆

Alle menuruni tangga dengan pelan. Sebenarnya rumah keluarga Sinathrya ada lift. Tapi ia terlalu malas menggunakan alat itu ditambah rada buta teknologi yang ada di ibu kota.

Alle dikejutkan oleh kehadiran sosok yang tidak diduga-duga. Namun, ia segera merubah ekspresi wajahnya dengan baik. Ia menyapa keluarganya dengan senyuman.

"Arva kamu ngapain disini?" tanya Alle dengan mengangkat alisnya.

Elang dan Galen yang mendengar itu seketika tersedak berjamaah. Kemudian menatap kearah gadis itu dengan tatapan tidak percaya.

"Alle lo sekarang nggak sakit bukan?" tanya Elang dengan mengerutkan keningnya.

Galen berjalan menuju tempat gadis itu. Tangannya diletakkan di kening gadis itu. "Nggak panas."

Alle menepis tangan adiknya dengan menatap tajam. Lalu duduk disamping Marva dan mengambil roti yang telat diolesi cokelat.

"Kalau kalian mau tau tanya langsung ke ketua Lo pada," celetuk Alle dengan tersenyum tipis.

Kita Satu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang