36🍂

4K 402 5
                                    

Malam yang dingin sosok gadis tampak mengendarai motornya. Ia sendirian dengan menatap jalanan.

Saat mengendarai motornya tiba-tiba saja ada sosok lelaki yang menyeberang. Ia menggeram marah kepada penyeberang jalan yang rada aneh.

Namun, jika diperhatikan dengan seksama lelaki itu cukup familiar baginya. Ia memarkirkan motornya dipinggir jalan.

Saat ingin menuju lelaki itu ada sosok pengendara mobil yang melaju kencang. Ia segera berlari lalu menarik sosok lelaki itu dengan menatap tajam. Namun, lelaki itu malah menepis tangannya.

"Heh, Ansel! Lo itu udah ditolong malah nggak tau terima kasih!" sergah Alle dengan menatap sinis.

Ansel yang mendengar itu seketika menjadi terkejut tapi sebisa mungkin menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ia berdiri dengan memegang pembatas trotoar jalan ekspresi wajahnya yang kaku.

"Ngapain disini? Anak gadis nggak baik keluar malam," celetuk Ansel dengan menatap lurus.

Alle mendengkus malas. Tatapan matanya tertuju kepada luka yang berada di wajah lelaki itu. Dilihat dari warna sepertinya luka itu baru saja didapatkan.

"Seharusnya gue yang nanya sama Lo, kenapa Lo keluar dengan wajah penuh luka? Lo itu ketos tapi ngajarin hal yang nggak baik. Kalau gue mah karena diminta Bunda beli cemilan untuk tamunya besok," papar Alle dengan mengangkat bahunya.

Setelah mengatakan itu Alle beranjak pergi ke seberang dan memarkirkan motornya di samping lelaki itu. Ia membuka bagian lapak duduknya lalu terlihat beberapa obat luka didalamnya lalu menutup pelan.

"Mau ngapain?" tanya Ansel tatkala Alle yang menarik tangannya.

Alle tidak menjawab melainkan mendorong pelan tubuh lelaki itu hingga terduduk di lapak motornya. Ia segera mengobati luka lelaki itu dengan perlahan agar tidak menyakitinya.

"Lo kalau berantem jangan sampai adu bogem," tegur Alle dengan menatap mata sayu lelaki itu.

Kepala Ansel menundukkan. Air mata yang ditahannya selama ini sudah keluar. Semua emosi yang dirasakannya selama ini dikeluarkannya dengan tangisan.

Alle tertegun melihat suara tangisan lelaki itu. Ia tidak tahu harus berbuat seperti apa karena selama ini tidak pernah sama sekali untuk menghibur orang yang menangis.

"Ehm, keluarin aja semuanya agar perasaan Lo menjadi lega. Gue nggak tau masalah yang Lo alami tapi jangan menyerah dan buktikan kalau Lo itu kuat," ucap Alle dengan tersenyum tipis.

Ansel hanya diam lalu terkekeh geli. Ia mengangkat wajahnya dengan menatap wajah gadis itu. Senyuman itu membuat Alle merasa agak akrab dan terhenyak.

"Papa yang selama ini orang anggap sebagai pahlawan. Tapi apa jadinya jika orang itu yang melukai kita?" lirih Ansel dengan terkekeh geli.

Alle mengangkat alisnya. Kemudian tersadar akan arah pembicaraan mereka. Ia tersenyum tipis dengan menatap lelaki itu.

"Seorang ayah yang baik nggak akan melukai anaknya sendiri. Justru melindungi kita bagaimana pun keadaannya," sahut Alle dengan tersenyum tipis.

Ansel tersenyum tipis. Tatapan matanya beralih keatas menatap langit malam yang dihiasi oleh bintang.

"Papa selalu ingin gue untuk menjadi yang pertama. Papa nggak ingin gue kalah dengan yang lainnya dan mempermalukan dirinya," lirih Ansel dengan tersenyum sendu.

Ansel menatap wajah Alle dengan tersenyum. "Lo mau tahu luka ini didapat dari mana. Luka ini dari Papa gue lalu Lo tau alasannya. Itu karena gue nggak mengambil bagian olimpiade matematika dari Marva. Dia memukuli merasa gue nggak berguna karena nggak bisa mengambil bagian itu."

Alle tertegun pantas saja saat pengumuman jika Marva mengambil bagian olimpiade matematika wajah Ansel terlihat memucat. Ia tidak menyangka kehidupan lelaki itu akan sesulit ini.

"Bahkan Mama yang seharusnya melindungi anak. Dia nggak melakukan apapun bahkan untuk menegur suaminya. Dia akan membiarkan selama nggak mengganggu uang bulanannya," lirih Ansel dengan mengepalkan tangannya.

Alle yang mendengar itu seketika menjadi emosi. Ternyata ada orang tua yang tega menyiksa anaknya demi martabatnya sendiri bahkan hanya untuk secuil harta.

"Lo mau tau alasan gue selama ini bersikap kasar dengan Lo. Itu semua karena gue nggak mau Lo tersiksa karena dimanfaatin oleh keluarga gue. Mereka menjodohkan kita jadi tunangan hanya ingin menjadikan Lo sebagai batu loncatan mereka. Lo adalah sahabat terbaik yang gue miliki dan selamanya akan terus begitu," ungkap Ansel dengan tersenyum lebar.

"Gue harap Lo bisa bersabar karena gue tau Lo itu orang yang jenius. Semua kepintaran nggak bisa diukur dari akademik," ucap Alle dengan menepuk pundak lelaki itu.

Tiba-tiba saja lelaki itu memeluk tubuhnya. Ansel membuatnya terkejut dan kesal tapi kali ini membiarkannya karena lelaki itu sedang masa bersedih. Alle menepuk-nepuk punggung Ansel agar membuat lelaki itu menjadi tenang.

"Alle ..."

Keduanya melepaskan pelukan Alle dan Ansel terkejut melihat keberadaan sosok itu. Marva menatap mereka dengan tatapan tidak terbaca.  Tiba-tiba saja lelaki itu menancap gas dengan kecepatan tinggi meninggalkan keduanya.

"Arva! Dengerin aku dulu!" teriak Alle dengan mengacak rambutnya.

"Goblok! Kejar dulu baru bicara sama dia! Kalau teriak-teriak gini nggak bakalan mempan!" seru Ansel dengan berdecak kesal.

Alle tertegun kemudian menatap Ansel. Tapi tatapan lelaki itu tampak serius. "Lalu Lo gimana? Bagaimana bisa gue tinggalin Lo sendirian?"

"Anjir! Gue ini cowok jadi nggak bakalan kenapa-kenapa!" geram Ansel dengan muka masam.

"Cepat, woy! Itu pacar Lo cemburu besar! Nanti gue yang kena bogeman!" lanjut Ansel dengan mendorong tubuh gadis itu.

Alle menatap Ansel sekilas lalu naik motor dan menancap gas dengan kecepatan tinggi. Ansel yang melihat itu hanya mendengkus malas.

"Mereka pintar tapi sama-sama bodoh! Ini juga Alle suka banget jadi kang gantung, jika gue jadi Marva udah geplak tuh Alle," gerutu Ansel lalu melanjutkan acara sedihnya.

"Malam-malam aku sendiri!"

"Tanpa cintamu lagi! Ho-ow-oh-oh!"

"Hanya satu keyakinan ku!"

"Bintang 'kan bersinar!"

"Menerpa hidupku!"

"Bahagia 'kan datang, ho-oh!"

Ansel menyanyi cukup keras membuat pengguna jalan menatapnya aneh. Bahkan ada yang sampai menancap gas karena mengira bahwa lelaki itu orang gila.

"Kenapa semua orang tatap gue begitu? Bodoh amat lah, lanjut!" seru Ansel dengan tersenyum lebar

∆∆∆

Kini Alle menancap gas dengan kecepatan tinggi. Tujuan pertama yang ditujunya adalah markas geng Dark Knight.

Perjalanannya sedikit menegangkan karena banyak mendapatkan makian pengguna jalan lainnya. Ia menatap rumah yang penuh dengan anggota geng Marva.

Saat sampai ia segera memarkirkan kendaraannya didepan rumah. Ia masuk ke dalam markas itu dan beberapa orang menyapanya membuatnya sesekali juga menyahutinya.

"Permisi, apa Marva ada disini?" tanya Alle kepada sosok gadis dengan tersenyum tipis.

"Ah, Kak Marva hari ini nggak ada kesini. Memangnya ada apa Kak?"

"Itu ada keperluan yang mau diomongin. Kalau gitu gue pergi dulu makasih sebelumnya," sahut Alle dengan tersenyum tipis setelah itu meninggalkan markas Marva.

Alle menatap markas geng Dark Knight dengan menghela nafas panjang. Akhirnya memilih pulang kerumahnya tanpa membawa pesanan sang bunda.

∆∆∆

Jangan lupa vote dan komen 💖
Hayoloh, Alle itu Marva marah 🙂
Next!

Kita Satu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang