19. Cerai

494 52 47
                                    

READERS POV

Aku sendirian, dimensi hampa ini membuat ku takut untuk tetap berada disini. Gempa... Benar-benar meninggalkan diriku...

"TUHAN, KENAPA INI TERJADI SAMA AKU? KEHILANGAN GEMPA, DAN KEHILANGAN CALON BUAH HATIKU!! BAHKAN AKU MENCINTAI ORANG YANG SELALU MENYAKITI KU!!" teriak ku berharap ada jawaban. Tak lama aku menangis, air mata terus mengalir sambil aku tersedu-sedu.

Miris, sungguh sangat miris. Ingin mengakhiri hidup tapi mengingat bahwa aku memang sudah berada diambang kematian.

--

HALILINTAR POV

Solar masuk ke ruangan ku tanpa mengetuk pintu, dia meletakkan beberapa dokumen kantor yang penting untuk ditanda tangani oleh diriku.

"Kak, tanda tangani yang ini. Dan yg terakhir yang ini sebagai surat cerai mu dengan (name)"

Jujur saja aku terkejut, tapi aku dengan cepat merubah ekspresi ku. Apa-apaan Solar ini? Bercerai?

"Apa maksudmu?" tanyaku menuntut jawaban dengan memandang sangat menusuk pada netra abunya.

"Kau tidak pernah mencintai (name). Kau selalu menyakitinya, aku sudah bicarakan ini dengan semua keluarga. Tinggal kau yang menanda tangani ini" jelas Solar. Ia terlihat lelah harus selalu terlibat dalam urusan rumah tangga ku.

Apa jangan-jangan... Ini yang ia maksudkan sebulan?

"Aku tidak akan melepaskan istri ku" jawabku datar dan dingin

"Istri? Hahahaha! Mana ada suami yang menyakiti istri nya setiap hari. Sampai istrinya masuk rumah sakit berkali-kali, bahkan sekarang istrinya sedang koma." sinisnya. Aku kesal namun tetap berusaha menahan amarah ku yang sudah memuncak dan akan meledak.

"Jika aku menceraikan dirinya, maka ia bukan bagian dari kita lagi bukan?" ujar Hali

"Siapa bilang? Karena aku akan menikahinya." sinis nya untuk kedua kali.

"APA-APAAN KAU INI HAH!!?"

SOLAR POV

Dia bersiap melayangkan tinju padaku. Aku tidak menahan ataupun menghindar. Dan tinju itu mengenai wajahku, menyebabkan memar.

Setetes darah mengalir dari hidung dan ujung bibir ku, sakit? Tidak. Jika kalian berada diposisiku, kalian pasti akan tau bahwa lebih sakit jika melihat orang yang kalian cintai disakiti.

"KAU!! KAU SUDAH BERANI PADAKU?" bentaknya sambil menarik kerah kemeja ku. Hali saat ini lebih mirip seorang bajingan. Tidak hanya saat ini, tapi setiap hari.

"Untuk apa aku takut padamu?" aku menantang dirinya karena aku sungguh kecewa, dimana Hali yang dulu?

"Kenapa kau melakukan hal ini?" dia melepaskan diriku dengan dorongan kecil.

"Karena aku mencintai (name)."

Wajahnya terlihat sangat shock. Aku jadi kasihan padanya. Tapi aku lebih kasihan mengingat keadaan (name) yang sangat miris dirumah sakit.

"Jalang itu menggoda dirimu?"

Oh tidak, aku tidak bisa menahan ini. Aku memukul dan terus memukul dirinya. Sampai pertarungan ini sangat sengit dan berada diluar ruangan Hali.

Semua karyawan dan staff  hanya menonton karena tidak ada yang berani mendekat. Saat berada dibalkon, rasa emosi ini semakin memuncak.

Aku digoda oleh iblis untuk menjatuhkan kakak ku sendiri dari lantai 3. Hali kewalahan, dia hanya bisa pasrah. Namun emosi ku tetap memuncak.

"AAAGHHHH!!"

"PAK HALI!!"

Jadi aku memutuskan untuk mendorong Hali.

--

AUTHOR POV

"Solar!!" Amato berteriak dari ujung pintu kantor polisi. Ia dan keluarganya  dipanggil karena mendapat laporan dari pegawai kantor dan pihak kepolisian.

"Apa benar kau mendorong Hali dari lantai 3?" tanya Amato emosi. Mara tidak ikut, hanya menunggu kabar dari rumah sakit sekalian menjaga Hali. Ia tidak mau menimbulkan masalah.

"Maaf, ayah" cicit Solar menunduk menyesal, ia juga tidak sadar akan perbuatannya.

"Kau!! Bisa-bisanya!? Kau mau membunuh kakakmu sendiri hah?" Amato bertanya tidak dengan membentak atau emosi. Membuat Solar semakin takut.

"Tapi.. Dia yang memulainya, dia mengatai (name) adalah seorang jalang. Dan ia tidak mau menanda tangani surat cerai itu!" jelas Solar, ia berharap ayahnya akan mengerti.

"Dari sekian banyaknya wanita didunia, kau melakukan hal sekejam ini demi seorang wanita yang merupakan istri orang? Kemana akal sehat mu?"

Oke, sekarang Solar sangat terpojok. Dia tidak bisa membela diri lagi.

"Pak polisi, aku akan membayar jaminan untuk anak ini. Tolong lepaskan dia" pinta Amato pada pihak kepolisian.

Hati Solar sedikit menghangat mendengarnya, ia pikir Amato sudah memaafkan dirinya. Setelah Amato keluar, ia pun mengikutinya.

"Ayah" panggil Solar dengan tersenyum tipis pada Amato.

"Aku tidak memiliki anak sekejam dirimu, Solar." hati Solar berdenyut sakit. Ia berpikir harusnya ia lebih pandai dalam mengontrol emosi.

--

"Hali... Ha... Lii" nafas (name) memburu. Sampai-sampai ia harus dibantu dengan masker oksigen untuk bernafas.

Dokter dan suster sedang memeriksa apa yang terjadi dengan (name). Karena ia tak berhenti menyebutkan nama 'Hali'.

"Suster, kabari keluarganya" titah dokter dengan tegas dan diangguki oleh seorang suster.

Saat suster itu keluar dengan terburu-buru dari ruangan (name), Ice dan Vina langsung bertanya apa yang terjadi.

"Kalian keluarganya?"

"Iya! Aku kakaknya!" jawab Ice. Ia terpaksa berbohong agar dapat memastikan keadaan (name) saat ini.

"Pasien atas nama (full name) dari tadi menyebutkan nama seseorang. Mungkin ada hubungan batin dan ia sedang khawatir. Namun ini dapat bermasalah dengan kesehatan secara mental dan fisik nya yang lemah"

"Siapa namanya!?" tanya Ice cepat.

"Hali" jawab suster itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Ice dan Vina duduk dan menunggu dikursi yang disediakan dikoridor.

"Aku harus tanya pada Solar!" Ice mulai mengeluarkan ponsel dan mencari kontak Solar.

Saat ditemukan, ia langsung saja menelepon Solar

"Halo" sahut Ice, ia tidak suka bertele-tele.

"Apa?" terdengar ketus tapi lebih terkesan nada penyesalan dan lesu.

"Hali kenapa?"

"Aku mendorongnya dari lantai 3"

Mata Ice membulat. Ia tidak percaya Solar akan bertingkah serendah ini. Tiba-tiba ia berdiri secara reflek, Vina ikut berdiri karena ia penasaran.

"Kau bodoh?" tanya Ice kesal, ia tidak percaya. Sebenci apapun pada Hali, ia bahkan tidak memiliki niat membunuh Hali.

"Memang" jawaban itu, terdengar sangat santai.

Orang asing mendekat ke arah Vina dan Ice, namun Ice masih fokus menelepon.

"Ice!! Awas!!"

--

Author's note :

Cie yg keasikan baca sampe gamau vote hehe. Btw senin author PAS, jdi hiat dlu ya. Enjoy^o^, jgn lupa vote and komen readers!

Maybe We Can Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang