🍓
🍓
🍓SELAMAT MEMBACA TEMAN-TEMAN 🥰
🍓
🍓
🍓Hubungan aku dan Mannaf berjalan hampir satu tahun semakin banyak juga teman-teman yang memberi komentar positif, juga memberikan komentar negatif. Jika di ibaratkan dengan sebuah pohon, semakin tinggi pohon maka semakin besar juga angin yang mengoyahkannya. Begitu juga dengan Mannaf, semakin dia dikenal banyak orang, semakin prestasinya menjulang tinggi, maka ada saja orang-orang yang berusaha untuk menjatuhkannya.
Beberapa waktu lalu, aku mendengar pembicaraan orang yang ingin menjatuhkan popularitas Mannaf, yang paling menyedihkan, mereka membawa nama-ku, meskipun aku tidak mendengarnya secara langsung, juga tidak tahu terlalu banyak prihal yang mereka katakan, karena aku hanya mengetahuinya dari salah satu sahabatku (Cell) dia berbicara langsung kepadaku, dengan perkataan yang membuatku tercenung.
"Nay," ucapnya.
"Apa?," jawabku.
"Ada yang perluh aku bicarakan sama kamu," ucapnya dengan nada sangat pelan.
"Ya udah bicara saja, biasanya juga langsung bicara," jawabku dengan heran.
"Iya, tapi ini soal kamu dan Mannaf," ucapnya.
"Kenapa? Ya udah bicara saja," jawabku.
"Kemarin ada temanku yang mengenal Mannaf dan mengenal kamu juga," ucapnya.
"Terus?," Tanyaku sembari melihat ke arahnya.
"Tapi, kamu jangan marah," ucapnya
"Iya, cepetan cerita sama aku," jawabku dengan penasaran
"Bukan maksud ikut campur sama urusan kalian berdua tapi Mannaf itu seseorang yang memiliki pengetahuan tentang agama, masa kalian deket banget sampai buat tugas pun bareng, terlebih lagi kalian sering banget bertemu di perpustakaan, tidak hanya itu kalian juga sering banget bertemu diluar kampus, kan?," ucapnya.
"Memangnya ada yang berkata seperti itu?," tanyaku.
"Iya Nay, aku bertemu dengan teman satu kelas Mannaf, lalu dia berkata seperti itu kepadaku," jawabnya.
"Terima kasih, karena kamu sudah menegurku," ucapku sembari manatap mata Cell dengan begitu lekat.Dari pembicaraan Cell yang sekilas, aku mulai sering termenung, aku menyembunyikannya masalah ini dari Mannaf, kalau aku bercerita, aku takut menambah beban pikiran Mannaf. Akhir-akhir ini aku sering berpikir, sekarang Mannaf sudah tidak asing lagi di kampus, dia sudah menjadi mahasiswa kebanggaan kampus. Apakah dia masih ingin bersamaku? Apakah dia masih mengingat komitmen kami? Apakah, apakah, dan apakah. Inilah, pertanyaan yang bermunculan di otakku.
Kalian tahu pertanyaan apa yang terakhir melintas dipikiranku? Hmm. Bagaimana jika dia memilih melepaskan aku dikemudian hari?. Ini lah pertanyaan baru yang muncul di kepalaku.
**********
Drt.. Drt.. Drt....
"Nay," tiba-tiba Mannaf mengirim pesan padaku
"Iya, ada apa?," tanyaku
"Aku mau bicara sama kamu, masalah yang sangat serius," ucap Mannaf.
"Ada apa?," tanyaku dengan penasaran.
Kalau Mannaf sudah berbicara seperti ini bertanda ada hal serius yang ingin dia sampaikan. Entalah, apa yang akan terjadi.
"Kita sama-sama serius menjalin komitmen ini, aku sangat malu dengan pandangan orang-orang karena mereka sudah lama tahu kalau aku dan kamu terjalin dalam sebuah ikatan, sebaik-baik komitmen adalah dengan menikah," jawab Mannaf dengan tegas dan serius.
"Iya, aku serius dengan hubungan ini lalu apa yang ingin kamu bicarakan padaku," jawabku diiringi dengan hati yang bertanya-tanya, ada apa dengan Mannaf, mengapa tiba-tiba dia berkata seperti ini, bukankah beberapa kemarin baik-baik saja, bahkan aku dan dia sempat tertawa-tertawa.
"Jika kamu memang serius sama aku, ayook kita menikah karena aku ingin menjaga kamu melalui pernikahan," jawab Mannaf
Aku tahu kalau niat Mannaf ingin serius, namun di satu sisi aku tidak mungkin mengecewakan kedua orang tuaku, satu-satunya harapan yang dimiliki oleh kedua orang tuaku hanyalah aku. Harapan orangtuaku sangat besar kepadaku, mereka menginginkan agar aku menyelesaikan kuliah terlebih dahulu.
"Kalau kamu ingin menikah, seluruh biaya kuliah kamu harus ditanggung oleh suami kamu, karena kami tidak mau membiayai kuliah kamu lagi" ucap ibuku yang masih terngiang-ngiang di telingaku sejak beberapa tahun lalu.
"Aku memang serius sama kamu tapi aku belum bisa jika harus menikah saat ini juga," jawabku.
"Kenapa? Kamu takut menikah di usia muda? Kamu tenang saja, banyak guru-guru kita yang menikah di usia muda, sekarang mereka bisa meraih kesuksesan, semua itu terjadi karena mereka mendahulukan ridho Allah bukan mendahulukan nafsu," Ucap Mannaf.
"Bukan begitu, aku takut mengecewakan kedua orang tuaku, karena harapan mereka hanyalah aku," jawabku.
"Kamu mau bertahan dengan hubungan seperti ini, hubungan tanpa kejelasan!," jawab Mannaf.
"Tentunya aku tidak mau, kalau begitu kita tidak perluh bertemu, tidak perluh saling memberi kabar lagi," ucapku.
Aku berkata seperti ini, karena aku menginginkan biarkan dimata orang lain hubungan kami sudah tidak ada lagi.
"Aku tidak bisa tanpa kamu, aku tidak bisa kehilangan kamu, kalau kamu siap ayook menikah," jawab Mannaf.
"Aku tidak bisa Mannaf, bukankah janji kamu dahulu kita akan membicarakan hali ini setelah kita menyelesaikan kuliah," jawabku masih sama dan tetap sama.
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu, dimana-mana wanita yang meminta untuk dinikahi tapi sekarang seolah-olah aku yang mengemis untuk mengajak kamu menikah," jawab Mannaf.
"Yaudah kalau kamu mau nikah, silahkan kamu cari wania lain, selain aku," Jawabku.
"Jangan kaget kalau nanti kamu mendapatkan undangan dari aku, dan aku menikah dengan wanita lain," jawab Mannaf.
"Terserah kamu," jawabku.
Aku tidak pernah mendengar ucapan Mannaf yang sangat menyakitkan seperti ini, Mannaf yang aku kenal sangat pengertian, namun kini dia berubah menjadi Mannaf yang hanya mementingkan keinginannya. Selama satu semester, perdebatan aku dan Mannaf hanya seputar tentang pernikahan, nilaiku juga menurun karena pikiranku terganggu dengan pertanyaan Mannaf perihal pernikahan.
Aku tidak pernah membayangkan jika harus kehilangan Mannaf namun di satu sisi aku belum siap jika harus menikah, karena masih banyak yang perluh aku pertimbangkan terutama tentang kedua orang tuaku. Ibu dan ayahku meginginkan agar aku menyelesaikan pendidikan terlebih dulu. Tidak mungkin, aku memilih nenikah sedangkan aku mengecewakan kedua oragtuaku, inilah alasannya, kenapa aku belum siap untuk menikah. Padahal, menikah muda merupakan salah satu impianku. Aku meminta pedapat pada teman-temanku, sebagian dari mereka menyuruku untuk menikah dengan Mannaf, sebagian darinya menyuruku untuk menyelesaikan kuliah terlebih dahulu.Jika kalian berada diposisiku, apa yang akan kalian lakukan? Pilihan mana yang akan kalian pilih. Menikah atau kuliah?. Kalau ditanya, mau menikah atau tidak? Tentu saja aku pasti mau. Tapi, permasalahannya, saat ini, aku dan Mannaf masih sama-sama kuliah, orangtua juga belum memberi SIM (surat izin menikah).
Untuk kalian yang sedang kuliah dan ingin berbarengan dengan menikah, ngga apa-apa, asalkan sudah mendapatkan ridho dari kedua orangtua. Jika kedua orangtua belum mengizinkan, cobalah untuk memberikan penjelasan dengan baik perihal keinginan kalian memutuskan untuk menikah. Tapi, jika lampu hijau masih belum di dapatkan alias mereka masih belum mengizinkan, cobalah untuk ikhlas, ikuti saja apa yang dikatakan oleh orangtua, jalani saja dengan ikhlas. Insyaallah di depan nanti akan ada seseorang yang lebih baik untuk menjadi pendamping hidupmu. Karena, orangtua pasti mengharapkan kebahagiaan untuk anaknya.
Satu semester berdebat perihal pernikan bukanlah hal yang biasa, tapi kalau dia berharap agar aku luluh dengan ucapannya, dia salah banget, karena aku lebih memilih kedua orangtuaku dibandingkan dengan keputusannya. Aku juga masih ingin menikmati masa-masa menjadi mahasiswi dengan sebaik mungkin.
*******
"Nay," Ucap Mannaf.
Lagi, lagi dan lagi dia mengirim pesan padaku.
"Kenapa?," Jawabku.
"Nay, sebaiknya untuk kedepan kita tidak perluh bertemu, tidak perluh chattingan, kecuali jika ada kepentingan, intinya kita harus saling percaya satu sama lain, Nay," Ucap Mannaf.
Setelah melewati perdebatan yang cukup lama, akhirnya Mannaf mengambil keputusan yang sama seperti keinginanku kemarin.
"Baiklah, mungkin dengan cara seperti ini, nama baik kamu akan kembali bersih," Jawabku.
"Kamu jaga hatinya untukku dan aku akan menjaga hatiku untukmu," Ucap Mannaf
"Aku akan menjaga hatiku untukmu," Jawabku.
"Baiklah, Nay," Jawab Mannaf.
Dari sinilah, perjanjian kami untuk saling menjaga terucap, aku berjanji untuk menunggu Mannaf. Begitupun sebaliknya.Beberapa bulan telah berlalu, aku dan Mannaf tidak pernah chatting apalagi berbicara via telpon, kami juga tidak pernah bertemu di perpustakaan lagi.
Pada awalnya sangat sedih, rasanya benar-benar sepi dan kehilangan, tapi setelah dilewati dengan ikhlas rasanya biasa-biasa saja sehinga mulai terbiasa.
Ketika aku merasa jenuh ataupun kesepian, aku mencari kesibukan yang membuatku tidak bosan, berjalan dengan teman-teman, misalnya.
Selain itu, ada kalimat yang bisa membuat hatiku sedikit tenang, yaitu: "saat ini kami sedang saling menjaga, nanti, Mannaf akan kembali padaku ketika waktunya telah tiba".~
"Menghadapi Dua Pikiran Yang Bertentangan, Bagaikan Berhadapan Dengan Dua Jalan Yang Berbeda"
~🍓
🍓
🍓TERIMA KASIH TEMAN-TEMAN 😁
🍓
🍓
🍓
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Blue Campus (TAMAT)
RomanceCanda, tawa, tangis, dan luka semuanya berawal dari kisah persahabatan, percintaan, dan perjuangan. namun apa jadinya ketika cinta yang sudah terjalin cukup lama berakhir dengan tetesan air mata karena penghianatan.