44

1.7K 179 13
                                    

Keringat mulai membasahi dahinya, usaha yang ia lakukan dengan keras semoga saja membuahkan hasil. Perempuan ber-jas putih itu menatap layar monitor di samping brankar pasien, nafas yang berhembus keras darinya membuat suasana di ruangan itu semakin mencekam.

"Bagaimana sus," Suster yang bertugas memantau layar monitor segera mengutak atik agar pasienya selamat.

"Tidak ada perubahan dok," ucapnya.

Namun beberapa detik kemudian, tubuh sang pasien itu kembali mengejang "suster pasangkan alat bantu di dadanya, pasien mengalami kesulitan bernafas."

Satu suster lainnya pun bergegas mengambil alat-alat itu. Ia menempelkan pada dada Archen, cukup banyak alat yang menempel disana.

Suasana di luar ruangan pun sama paniknya. Sang ayah yang tidak tenang, ia memondar-mandir dengan rasa panik mendominasi.

"Archen kuat papah yakin," batinya seraya menatap pintu kaca itu. Ia menghampiri pintu tersebut, melihat kedalam ruangan sana yang sangat sunyi.

"Gue bahkan belum jadi kakak yang baik buat lo Chen," Varo menggenggam kedua tangannya kuat. Hatinya mencelos, untuk saat ini ia sangat menyesali perbuatanya kemarin. Kenapa dengan mudah Varo memukuli adiknya sendiri!

"Gue aneh ya Chen," batinya menatap kosong kedepan "dulu gue mati-matian buat lo celaka, tapi kenapa saat ini gue nggak mahu lo kenapa-napa." Cakap Gavin pelan dengan senyum getir

Bayu dkk juga merasakan hal yang sama, bagaimana pun Archen adalah sahabat yang paling unik. Ia menyembunyikan masalahnya sendiri, ia tertawa sampai tersenyum didepan mereka itu bukan karena dia bahagia.

Tapi karena Archen sedang menyembunyikan masalahnya. Apa mereka pantas disebut sebagai sahabat?

"Gue nggak akan godain dedek emes lagi Chen. Asal lo bisa sembuh," gumam Bayu. Mata pemuda itu bahkan sudah memerah menahan tangis.

Dilain sisi ada Devan, ia tegar, ia biasa saja dengan keadaan ini, ia bahkan terlihat lebih dominan seperti patung, tak bergerak sedikit pun. Tapi matanya juga sama seperti Bayu, khawatir akan keadaan orang di dalam sana.

"Lo kuat," ujarnya dalam hati.

Arkan, Gio, Leo, serta Adrian memandangi semua orang yang ada disana.

"Gue kagum ngeliat persahabatan mereka," bisik Arkan pada Leo yang memang berada di sampingnya.

Leo mengangguk setuju "iya gue juga." Matanya tertuju pada empat pemuda yang terduduk di bangku tunggu depan ruangan Archen "bahkan sampe malam gini mereka nggak ada niatan buat pulang atau sekedar ke kantin."

Memang Bayu dkk sedari datang tadi mereka tidak beranjak sedikit pun meninggalkan ruangan Archen.

Sandy pun tadi telah menawarkan mereka untuk pulang, karena melihat keadaan sudah mulai larut malam. Namun mereka menolak, menjawab dengan sopan.

"Kita sudah ijin sama orang tua kok om, jadi mereka nggak bakal khawatir," jawab mereka seperti itu.

Sandy pun pasrah, tapi ia juga senang melihat mereka ada di dekat anaknya. Mungkin dulu pada waktu dirinya serta keluarganya tidak memperdulikan Archen, merekalah yang menjadi motivasi untuk anaknya bertahan.

Satria baru tersadar "eh Nara sama Titania belom tahu keadaan Archen."

"Kabarin Nara aja. Tania lagi nggak di Jakarta," jawab Devan.

"Tapi dedek emes juga berhak tahu," tungkas Bayu tak terima. Bagaimana pun Titania itu pacarnya Archen, dia juga harus tahu keadaan pacarnya.

"Bener juga kata Devan Yu, mending jangan kabarin Tania dulu. Kalo kita kabarin dua-duanya, apa bisa menjamin mereka nggak berantem disini?" Sahut Arga.

Boys of Transmigation [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang