FFWB || 06. Kiss

6.7K 578 20
                                    

❌ DILARANG MEMPLAGIAT CERITA INI! ❌
‼️ WAJIB MERAMAIKAN ‼️

Happy Reading!
.
.
.

"Jadi gini..."

Sepasang pantofel teronggok di lantai sedangkan kedua kaki itu naik keatas sofa. Duduk bersila menghadap samping dengan tangan memegang mangkuk berisi soto serta lontong tak lupa suwiran gorengan bakwan. Daripada di ibukota, dia merasa seperti ada di desanya dulu. Sedangkan di hadapannya sang bos malah terlihat... Putus asa? Makannya saja sampai tidak dilanjutkan.

"Gue tadi abis ketemu mantan," kepala mengangguk, sedikit pemahaman masuk kedalam kepalanya. Mungkin ini yang membuat bos-nya yang aneh semakin aneh. "Dia ngasih undangan pernikahan." lanjutan kalimat itu membuat dia menghentikan kunyahannya walau hanya sesaat.

"Jadi gue putus sama dia tuh baru dua bulan lalu, kampret banget kan dia udah mau merit aja. Sedangkan gue gebetan aja belum punya."

Jadi ini kenapa dia ngajak gue pacaran? Mana ngajaknya kayak anak SMA lagi.

"Bapak punya banyak kandidat untuk dijadikan pacar." ujarnya menanggapi. Secara tak langsung mengatakan, lo bisa pacaran sama siapa aja, kenapa harus gue?

"Lo nggak lihat gue sibuk banget sampai nggak ada waktu buat cari pacar?"

Tapi punya waktu buat main game. Okay, walau dia terlihat sedikit tidak sopan sekarang --dengan duduk seperti ini-- bukan berarti dia memiliki keberanian tinggi hingga melontarkan kalimat tadi. Dia masih sayang uang.

"Tapi itu bukan alasan buat Bapak nembak saya gitu."

"Emang... Lo nggak mau?"

"Ya enggak lah!" Ups! Sial dia keceplosan. Meringis pelan, ia mengamati wajah bos-nya. Takut-takut Gava tersinggung lalu secara tidak profesional memecatnya.

"Gue ganteng loh, Di. Duit gue banyak, lo mau borong satu mall juga gue jabanin. Yakin nggak mau, Di?"

Biasanya, ibu-ibu akan membangga-banggakan anaknya --seperti mengobral barang-- atau minimal ya teman lah. Bukan diri sendiri yang melakukan, memberitahukan kelebihan sendiri seperti tengah menawarkan barang.

Tersenyum kaku, dia menggeleng pelan.

"Kenapa sih? Lo juga lagi sendiri kan?"

Iya sih, dia jomblo. Sudah lama juga tidak menjalin hubungan. Tapi... Memiliki hubungan dengan atasan sendiri terasa aneh baginya. Terlebih dengan cara Gava membanggakan dirinya. Seolah dia adalah perempuan yang melihat pria dari tampang dan harta. Yah, sebagai manusia dia tidak akan menampik jika Gava memang sangat pantas untuk dijadikan pacar. Tapi dia juga sadar diri, dia ke kota besar ini untuk mencari uang bukan mengencani pria kaya untuk diperas uangnya.

"Apa... Saya keliatan perempuan kayak gitu Pak?" ia meletakkan mangkuk yang memang sudah kosong. Perutnya kenyang memakan satu mangkuk soto, dua lontong, dan satu gorengan. Pinggangnya terasa sesak karena lilitan sabuk di pinggangnya.

"Perempuan... Bukan, Di, bukan gitu." Gava cepat-cepat membantah setelah menyadari kemana arah pembicaraan mereka. Bukan maksudnya untuk menyinggung Diandra, sungguh. "Gue kan cuma lagi nunjukin keunggulan gue, bukan bermaksud gitu..."

Kepala Diandra mengangguk paham. Perempuan itu membenarkan duduknya. Kedua kakinya sudah kembali menyentuh lantai. "Maaf, Pak. Saya tahu maksud Bapak mengajak saya pacaran untuk apa. Bukankah akan memalukan jika Bapak mengenalkan saya --sebagai pacar Bapak pada mantan kekasih Bapak-- sedangkan saya hanya seorang sekretaris."

Falling for Weird BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang