Tak lama setelah makan malam selesai, Gava berpamitan pada keluarganya. Seolah paham ketidaknyamanan Diandra disini, pria itu memberikan berbagai alasan agar bisa membawa pergi Diandra sekarang juga. Merayu ibunya yang masih ingin bersama Diandra. Tidak masalah baginya jika keluarganya ingin mengenal Diandra lebih jauh. Namun kenyamanan Diandra tak bisa ia abaikan begitu saja.
"Kamu mau jalan-jalan dulu?"
Fokus Diandra pada jalanan pecah. Kepalanya bergerak, sedikit menoleh pada Gava yang tengah menyetir. "Nggak perlu, aku pengen tidur."
"Tidur ya..." Gava bergumam pelan namun masih tertangkap oleh telinga Diandra. "Besok libur, temani aku ke suatu tempat ya?"
Diandra ingin menolak, namun kepalanya berkhianat. Tanpa sadar dia mengangguk, menyetujui ajakan Gava. Moodnya kurang bagus, pulang ke kost pun hanya membuat dia over thinking sepanjang malam.
Perjalanan malam itu diisi dengan musik yang mengalun pelan. Beberapa kali Gava mencoba mengajaknya berbicara namun keengganan dia dalam menanggapi membuat pria itu menyerah. Biarlah Gava tahu kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Kalau pria itu memang peduli, seharusnya Gava tak lagi membawanya ke keluarga pria itu.
Mata yang senantiasa memandangi jalanan perlahan mulai terasa memberat. Tak tahu kapan tepatnya, dia terlelap begitu saja membiarkan Gava mengemudi sendirian.
"Di..."
Samar ia mendengar seseorang memanggilnya. Belaian lembut di pipi kanannya terasa nyaman. Membuat matanya enggan untuk terbuka. Akan tetapi rasa kaku di lehernya cukup mengusik hingga dia bangun di panggilan kedua.
"Kita udah sampai."
Diandra merasa linglung mendengar penuturan Gava. Sampai dimana? Netranya memandang sekitar. Sejauh mata memandang dia mendapati mobil disisi kanan kiri mobil Gava. Lalu di depannya ada pohon sedangkan jauh kedepan dia tidak tahu ada apa karena gelap.
"Ada rekomendasi penginapan baru, aku penasaran waktu liat ini di Instagram." Gava menjelaskan seraya mematikan AC dilanjut dengan lampu mobil. Sentuhan terakhir adalah mesin mobil yang mati. "Ayo. Kita bisa beli piyama di dalam."
Meski masih terheran-heran, Diandra keluar seraya membawa tasnya. Setelah menutup pintu, dia mengambil ponsel kemudian membuka kamera. Melihat kondisi wajahnya setelah tertidur tadi.
Bodohnya dia, bagaimana dia bisa terlelap begitu saja tadi. Apa mulutnya terbuka saat tertidur? Tidak ada liur yang keluar dari mulutnya kan?
"Mungkin ini kedengaran bualan aja, tapi aku jujur. Kamu makin cantik dengan wajah bangun tidur."
Gerakan tangannya yang tengah mendekatkan ponsel ke wajah pun terhenti. Tak ada langkah suara yang di dengarnya, sejak kapan Gava berdiri di situ?
Berdeham pelan, ia cepat-cepat menyimpan ponselnya. Berharap dengan tak ada cahaya dari ponsel-nya maka Gava tak dapat melihat wajah meronanya.
Mau bagaimana pun dia tetaplah perempuan yang lemah akan pujian. Terlebih dia bisa menilai suara Gava yang terdengar sungguh-sungguh.
"Kenapa kita kesini, Gava?"
"Menginap." Gava meraih tangan kanannya.
Seperti ucapan Gava di mobil tadi, mereka bisa membeli piyama disini. Ada satu ruangan yang bisa disebut toko baju. Hanya saja isinya baju tidur dari berbagai macam usia. Bahkan lengkap ada dalaman pria dan wanita disini. Sangat membantu untuk orang-orang yang mampir dadakan seperti mereka ini.
Ke resepsionis, Gava langsung mendapat kunci. Hal itu yang membuat dia mengerutkan dahinya. Penginapan satu lantai ini terlihat luas dan nyaman. Terasa hangat dan sangat tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for Weird Boss
Romance[#6 Wiratama's] Diandra merasa beruntung bisa menjadi sekretaris seorang Reza Wiratama. Bukan karena bos-nya itu tampan, melainkan gaji yang sangat menunjang hidupnya. Lagipula sang bos sudah mempunyai istri, mana berani dia berpikir macam-macam. Ke...