FFWB || 29. Breakfast

1.7K 156 7
                                    

"Kamu harus tahu, Di. Aku sangat merindukanmu."

"Aku juga. Tapi rasa itu terlalu kecil dibanding rasa benciku."

Pria di seberangnya nampak memasang raut sedih. Sesaat kepalanya menunduk, menarik nafas dalam kemudian kembali memandang wajah Diandra.

"Aku tahu kesalahan ku terlalu besar. Tapi aku mohon Di, setidaknya beri aku kesempatan untuk menjadi temanmu."

Tidak, bagi Diandra tidak ada kata teman dengan mantan kekasih. Terlebih jika mereka putus karena perkara besar. Mau dibilang putus baik-baik pun, pasti melukai salah satu atau bahkan keduanya. Mengingat mereka dulunya kekasih, sangat dekat, lalu tiba-tiba status mereka berubah menjadi teman. Tidak, Diandra bukan orang yang menerima hal tersebut.

Itu pemikirannya, opininya, seharusnya dia punya pendirian bukan. Bukan malah memberikan kesempatan pada pria yang pernah menorehkan luka pada dirinya. Diandra tidak tahu, hatinya mendominasi isi kepalanya. Seolah ia tidak bisa berpikir rasional.

"Teman, dan kamu harus tahu batasanmu."

Ultimatum tersebut seharusnya Diandra berikan pada dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak perlu menanggapi segala bentuk perhatian dari Dimas. Pesan tak penting pria itu seharusnya tak ia tanggapi. Dia sudah memiliki kekasih. Walaupun ia belum bisa memastikan apa dia sudah benar-benar cinta dengan Gava, tapi tidak seharusnya ia bermain-main bukan?

Ketika melihat Dimas dan Gava bertemu, entah kenapa dia merasa resah. Ada rasa bersalah mencokol di hatinya.

"Sayang!"

Panggilan itu membuat kedua sudut bibirnya ia tarik paksa. Menampilkan senyum seolah tak ada apa-apa. Ketika Gava mengulurkan tangan saat dia sudah mendekat, dia pun menerimanya dengan senang hati. Berdiri disisi pria itu, sedangkan matanya sudah menyorot Dimas yang menatap mereka dengan sorot nanar. Kenapa pria itu tidak bisa bersikap biasa saja?

"Kenalin ini Adimas. Calon mitra kita, awal tahun depan kita bakal kerja sama, sama perusahaannya."

Tersenyum canggung, Diandra mengulurkan tangan kanannya. "Diandra, sekretaris Pak Gava, sekaligus kekasihnya."

Jabatan tangan itu terasa erat. Penegasan katanya barusan seolah menyenggol ego pria itu. Nyatanya tak hanya Dimas, dia pun harus menegaskan pada dirinya sendiri. Jika pria yang tengah berjabat tangan dengannya adalah mantan kekasih yang seharusnya sudah ia abaikan keberadaannya. Sedangkan pria yang merengkuh pinggangnya adalah kekasihnya, pria yang mewarnai hari-harinya beberapa bulan ini.

"Sorry, Dim. Kita duluan ya, mau quality time sama pacar."

"Okay, have fun, kalian!"

Sorot mata juga kalimat Dimas entah kenapa sedikit mengganggunya. Tidak seharusnya Diandra merasakan hal ini. Kenapa seolah dia tengah menjaga dua hati. Diandra tahu ini salah, namun ia juga masih bimbang akan bersikap seperti apa.

🍁🍁🍁

Pagi menyambut, sinar sang surya menerobos masuk melalui jendela besar, membuat insan yang masih bergelung nyaman dalam selimut merasa terganggu. Kelopak matanya mengerjap pelan, menyesali posisinya yang menghadap pada jendela, berbeda dengan sang pria yang tidak terganggu sama sekali karena membelakangi jendela.

Falling for Weird BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang