Sekarang adalah hari Sabtu, hari dimana Diandra harusnya bebas tugas. Hibernasi seharian lalu besok dia akan jalan-jalan. Atau melakukan eksperimen di dapurnya. Akan tetapi hari ini dia mendapat tugas lain. Bukan tugas sebagai sekretaris Gava melainkan kekasih.
Karena kejadian kemarin dimana dia menyiram kopi panas ke Gava, jadilah sekarang dia bertanggung jawab atas perbuatannya. Pagi-pagi dia sudah datang kesini, sebenarnya itu inisiatif sendiri. Membawakan sarapan yang sengaja dia masak lebih banyak.
Niatnya hanya itu, memberi sarapan dan mengecek keadaan Gava. Bukan malah berakhir mengurus pria yang mendadak seperti bayi. Lihat saja sekarang, bos yang memang tidak ada wibawanya sekarang malah terlihat seperti gelandangan.
Tanpa tahu malu, Gava mempertontonkan tubuhnya. Hanya memakai kolor saja dia menyambut Diandra bahkan hingga sekarang. Alasannya perutnya akan sakit jika bergesekan dengan kain.
"Pak, itu sampahnya kumpulin jadi satu dong!" serunya kesal. Bagaimana tidak? Gava memakan kuaci dengan menggigit kulitnya dan menyemburkan sembarangan. Membuat kulit-kulit itu berceceran di sofa dan lantai. Sedangkan matanya fokus menonton kartun peri terbang.
Apa ini gambaran masa depan jika menjadi istri Gava? Sepertinya keyakinannya untuk menolak Gava semakin benar.
"Tangan aku yang satu kan sakit, Di. Susah."
"Yang satu masih bisa dipake ya! Nggak usah alesan. Beresin dulu!"
Wajah Gava cemberut. Pria itu melengos tak mengindahkan kekesalan Diandra. Malah cengar-cengir tidak jelas saat melihat televisi yang menempel di dinding.
"Yaudah saya pulang. Bye!"
"Eh, Di! Jangan dong."
Mengabaikan itu, Diandra pergi menuju dapur untuk mengambil tas-nya yang ada di meja pantry. Telinganya menangkap suara grusak grusuk dari ruang TV. Entah apa yang dilakukan Gava sampai-sampai terdengar suara jatuh yang keras.
"Argh! DIANDRA TOLONGIN..."
Memejamkan mata sejenak, menarik nafas dalam, keluarkan perlahan. Sabar, sabar. Mencatolkan tali tas nya ke bahu, ia pergi ke tempat kejadian. Pemandangan disana membuatnya menggelengkan kepala.
Gava, pria dengan tubuh tidak kecil itu tengah duduk di lantai sembari mengusap-usap dahinya. Kuaci berserakan dimana-mana. Sebenarnya apa yang dilakukan Gava tadi? Koprol?
"Kamu ngapain si Gava, astaga..."
Layaknya anak kecil, Gava malah menyengir lebar. Detik berikutnya pria itu mencebikan bibir seraya menunjuk dahinya sendiri. "Sakit, Di. Kepentok meja."
"Bisa-bisanya nyungsep kayak gitu."
Tidak ada niatan untuk membantu Gava. Diandra lebih memilih mengumpulkan kuci yang berserakan. Abai akan suara-suara yang sengaja di keluarkan Gava untuk menarik simpatinya. Pria itu bisa berdiri sendiri, dia tahu itu.
"Padahal nanti ada yang bersih-bersih, Di. Nggak usah di beresin nggak pa-pa."
Gava sudah berpindah ke sofa lagi. Namun karena Diandra mengabaikan ucapannya, dia pun mengentikan tangan perempuan itu. Bibirnya mengulas senyum saat kepala Diandra terangkat, mempertemukan pandangan mereka.
"Jangan marah-marah, temenin aku aja duduk disini ya?"
Sebenarnya Diandra tidak ingin menurut. Tapi seolah disihir, dia malah ikut saja. Melepas kembali kuaci-kuaci di tangannya. Ikut duduk di sebelah kiri Gava.
"Kita santai-santai aja ya? Mumpung libur. Jangan capek-capek."
Sudut matanya melirik sinis. Yang membuat dirinya lelah kan orang ini. Jiwa kebersihannya meronta-ronta saat tiba di apartemen Gava yang berantakan. Padahal pria ini berkata ada yang bersih-bersih setiap dua hari sekali. Hanya dalam sehari dan tempat ini sudah berantakan kembali. Sungguh amazing bukan pria satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for Weird Boss
Romance[#6 Wiratama's] Diandra merasa beruntung bisa menjadi sekretaris seorang Reza Wiratama. Bukan karena bos-nya itu tampan, melainkan gaji yang sangat menunjang hidupnya. Lagipula sang bos sudah mempunyai istri, mana berani dia berpikir macam-macam. Ke...