FFWB || 10. Salah Topik

4.3K 467 13
                                    

"Minggu depan kita ke Singapura. Kamu punya paspor bukan?"

Perkataan Elena tadi masih membekas di kepalanya. Jika saja posisinya bukan kacung disini, pasti dia akan memilih pergi begitu saja tanpa berpamitan. Sayang seribu sayang, dia masih cinta pada uang. Bisa dibilang harga dirinya dibanting demi uang. Yah, setidaknya dia tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan bukan? Sampai ia memiliki banyak tabungan, dia pasti akan keluar dari dinasti Wiratama ini.

"Diandra?"

Kira-kira apa yang harus ia lakukan jika berhenti bekerja nanti? Membuka usaha? Mungkin memiliki sebuah toko terdengar tidak buruk, tinggal dia bisa mengurusnya atau tidak. Atau dia membangun kos-kosan saja?

"Di?"

Tapi sebelum itu semua, dia harus mengumpulkan banyak uang. Gaji terbanyak selama ia bekerja terdapat di perusahaan yang sekarang. Hah! Apa itu berarti ia tidak bisa cepat-cepat keluar dari sini?

"Pak, apa kalau nikah bisa menjamin kebahagiaan?"

Pertanyaan tiba-tiba itu jelas membuat Gava terkejut. Ada apa dengan perempuan ini? Padahal sejak tadi dia memanggil namanya namun tidak menjawab. Mengajak bicara pun tidak ditanggapi. Kenapa malah tiba-tiba bertanya seperti ini?

"Kamu mau nikah?"

"Saya pengin..." wajah Diandra nampak putus asa. "Bukankah setelah menikah istri adalah tanggung jawab suami? Berarti setelah menikah saya tidak perlu bekerja bukan? Duduk manis dirumah dan uang terus mengalir." ada binar di kedua bola hitam itu saat berucap. Seolah tengah membayangkan kehidupan nyaman setelah menikah.

Cetak!

"Awh!" perempuan berstatus sekretaris itu mengusap dahinya. Sentilan tadi seperti meninggalkan jejak.

"Dapat pemikiran dari mana kamu?" Gava bertanya gemas. "Lagian, cita-cita kamu bisa terwujud kalau suami kamu itu kaya raya dan royal. Baru kamu bisa jadi Nyonya rumah. Bukan malah menjadi pembantu berkedok ibu rumah tangga."

"Wah, Bapak... Ucapan Bapak barusan itu bisa melukai para ibu-ibu rumah tanggal diluar sana kalau mendengar. Lagian, itu bukan pembantu, tapi emang kewajiban perempuan tuh, gitu!"

Kedua orang itu kini sama-sama duduk miring. Masing-masing disisi kanan kiri namun dengan lutut bersentuhan. Saling bertatapan, siap untuk mengeluarkan argumen masing-masing. Sedangkan sopir di depan hanya bisa melirik lewat kaca spion saja.

"Iya itu kewajiban. Tapi kalau suami kasih bantuan berupa 'pembantu' untuk meringankan beban istri, tidak salah bukan? Lagipula, aku yakin banyak perempuan diluar sana dengan senang hati diperlukan seperti ratu oleh suaminya."

"Diperlakukan bak ratu bukan hanya dengan uang."

"Tapi semua orang menyukai uang." Tukas Gava cepat. "Toh, tadi keiginanmu adakah menikah dengan pria kaya dan duduk manis dirumah saja bukan?"

"Saya tidak mengatakan hal itu!"

"Oh benarkah?" Nada suara Gava terdengar mendramatisir. "Tapi aku memiliki rekomendasi posisi yang cocok dengan impianmu."

"Posisi? Maksud bapak, saya dipecat?"

Oh tidak. Tidak, tidak, tidak. Harusnya dia tidak mengangkat topik ini jika berujung pemecatan. Meskipun bekerja penuh tekanan disini, tapi dia belum ingin keluar sekarang. Uangnya belum banyak, dia juga belum siap kembali pusing saat melamar pekerjaan kesana kemari. Kenapa juga ujungnya bisa seperti ini? Padahal kan tadi mereka membicarakan tentang pernikahan.

"Iya."

Jawaban dari Gava berhasil membuat wajahnya pias. Demi Bu Elena yang terus memusuhinya, dia belum siap menjadi pengangguran. Terlebih ia yakin jika setelah ini dia tidak akan dilempar ke perusahaan Wiratama lainnya.

Falling for Weird BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang