FFWB || 12. Kesempatan

4.4K 451 21
                                    

Kembali ke Indonesia adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu. Pekerjaan yang seharusnya ia nikmati karena berada di negara orang, malah menjadi pekerjaan yang ingin cepat-cepat ia selesaikan. Boro-boro menikmati keindahan negara Singa ini, kewarasannya tetap terjaga saja dia sudah bersyukur.

Kedua pegawai Gava yang bernama Danis juga Luna, nyatanya terus saja menggodanya. Kedua orang itu memang menyenangkan untuk diajak mengobrol. Dia pun bersyukur rekan kerjanya baik. Tapi kelakuan mereka yang terus menggodanya jelas membuat ia kesal. Terlebih Gava yang semakin menjadi karena godaan dua orang itu.

Contohnya, saat mereka tengah makan malam setelah meninjau proyek --yang sebenarnya milik Regan namun diwakilkan oleh Gava terlebih dahulu-- Danis kembali berulah.

"Gav, gue lihat tadi ada orang foto prewed dirumah sakit deket tempat kita. Pakai kostum putih-putih ala kesehatan gitu. Tapi lucu, gue jadi bayangin kalian foto prewed ala bos sama sekretaris."

Diandra yang duduk di sebelah Gava --tentu karena paksaan dua orang laknat itu-- langsung mengangkat wajahnya. Tidak lagi fokus memandang irisan daging di piringnya. Matanya menyipit menatap Danis sengit.

"Emangnya Danis ngomongin lo, Di? Kok mukanya nggak selow gitu sih?"

Celetukan dari Luna berhasil membuatnya malu. Perempuan yang lebih tua darinya dan sudah memiliki satu orang anak perempuan, memang sangat jago untuk membuat lawannya malu. Padahal dia tahu jika yang dimaksud Danis adalah Gava dan dirinya. Tapi jika dia mengatakan hal tersebut, pasti dua orang itu akan menertawakan dirinya.

"Padahal kan bisa aja Gava nikahnya sama cewek lain nanti."

"Enggak, gue sama Diandra kok." Sanggahan dari Gava jelas membuat Danis dan Luna heboh. Tanpa tahu malu kedua orang itu berseru senang. Sedangkan Diandra yang menyadari banyak orang menatap mereka hanya bisa menutupi sisi wajahnya dengan telapak tangan. Kenapa ia harus bersama orang-orang seperti ini?

Dari bandara menuju tempat tinggalnya, Diandra lagi-lagi harus berakhir di mobil Gava. Seperti biasa Gava menggunakan jasa supir, pria ini memang jarang mau menyetir sendiri. Terlebih setelah perjalanan jauh seperti ini.

"Macet banget, Di. Aku juga laper, mampir ke resto ya?"

Tubuhnya sudah sangat merindukan kasur. Dia ingin cepat-cepat sampai lalu menggunakan waktu istirahatnya dengan baik. Tapi jalanan siang ini memang padat, perutnya pun sudah minta diisi. Oleh karena itu dia hanya mengangguk saja.

"Kalau ada restoran, mampir aja ya Pak. Yang deket-deket aja,"

Sayangnya meski begitu, mereka memerlukan hampir dua puluh menit untuk berhenti di sebuah restauran. Jam makan siang membuat jalanan padat seperti sekarang. Karena mereka tiba di restauran mendekati pukul satu, tempat ini sudah ditinggalkan oleh beberapa pengunjung. Menandakan jika waktu makan siang akan segera berakhir.

"Bapak juga ikut makan, ayo."

Sang supir menggeleng pelan. "Waktu nunggu Den Gava, saya sambil makan tadi. Dibawain sama istri, hehe."

"Enak banget yang punya istri." gumam Gava setengah mencibir.  "Kalau gitu kami masuk dulu ya, kalau ngantuk bisa tidur aja."

"Siap, Den!"

Melihat Diandra yang nampak tidak semangat saat melangkah, Gava pun menyamakan langkah mereka. Tanpa kata, ia merangkul bahu perempuan yang berstatus ganda itu. Sekretaris juga kekasih.

"Semangat dong, Di. Padahal tadi di pesawat kamu tidur terus loh."

Diandra yang aslinya memang sedang terlalu malas untuk melakukan apapun, hanya diam saja. Membiarkan kakinya mengikuti kemana Gava membawanya. Bisa dibilang saat di Singapura ia memforsir tenaganya. Masuk ke kamar pukul delapan tapi begadang sampai tengah malam untuk menyelesaikan laporan. Terkadang bisa lebih. Lalu bangun pagi, segera bersiap untuk sarapan bersama bosnya. Setelah itu mereka berpergian kesana kemari hingga matahari terbenam. Itulah aktivitasnya selama tiga hari disana. Pantas kan jika tubuhnya terasa lemas sekarang?

Sedangkan Danis dan Luna, dua pegawai Gava itu masih stay di Singapura untuk menyelesaikan beberapa urusan. Berhubung malam nanti Gava ada pertemuan penting, makanya mereka berdua kembali sekarang. Dan tentu saja dia akan ikut rapat nanti malam. Makanya dia ingin cepat-cepat pulang lalu tidur.

"Kayaknya deket sini ada hotel, kamu mau tidur disana aja bentar? Biar nanti sekalian rapat berangkat bareng, baru setelahnya aku antar pulang. Gimana?"

Bagi kaum pecinta uang sepertinya, membuang-buang uang untuk hal tidak berguna semacam itu adalah pantangan. Numpang tidur saja harus bayar kamar mahal-mahal.

"Bapak yang bayarin kan?" basa-basi saja sih, biasanya memang Gava yang selalu membayar ini itu. Bahkan makannya saja Gava yang membayar. Kan lama-lama dia jadi nyaman. Eh?

"Iya. Tapi satu kamar."

"Nggak usah, saya tidur di kost-an aja."

Gava tergelak pelan. Pria yang duduk diseberang Diandra itu nampak puas menggoda dirinya. "Padahal biar irit loh, Di. Masa kita cuma tidur beberapa jam aja, tapi bayar mahal. Apalagi kalau dua kamar."

Diandra menggedikan bahunya. "Urusan Bapak, kan situ yang ngajak."

"Tapi ada syaratnya."

"Saya pulang saja lah Pak."

"Gampang padahal loh, Di." cegah Gava cepat. "Cukup jangan panggil aku dengan sebutan 'Bapak'. Kita jadi keliatan kayak anak sama bapak kalau gitu."

"Ngaco, bocil aja tahu kalau kamu pasti bukan Bapak saya."

"Padahal aku pacar kamu loh, Di."

"Saya masih belum terima kalau kita pacaran."

Percakapan keduanya terjeda saat dua orang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Ucapan terimakasih keduanya berikan pada pelayan tersebut. Membuat kedua perempuan berseragam sama itu mengulas senyum manis.

"Apa yang bisa bikin kamu menganggap kalau kita itu sepasang kekasih?"

Diandra yang baru saja menyeruput jus jeruknya pun nampak berpikir. Sebenarnya dia ingin langsung menjawab 'tidak ada' tapi bos-nya ini pasti akan terus mendesak sampai mendapat jawaban yang memuaskan. Jadi kira-kira kalimat seperti apa yang bisa membuat Gava sadar kalau mereka itu tidak bisa menjadi sepasang kekasih.

"Buatkan saya seribu candi." ceplosnya dengan tampang serius. Tiba-tiba saja cerita lama tentang seribu candi itu melintas di pikirannya. "Dalam satu malam." lanjutnya. Jika dengan bantuan jin saja Bandung Bondowoso gagal mewujudkan keinginan pujaan hatinya, apalagi Gava yang kekuatannya hanya uang.

"Kamu nggak secantik Roro Jonggrang buat aku bangunin seribu candi, Diandra."

"Emang tahu wajahnya Roro Jonggrang kayak gimana?"

Cengiran lebar khas Gava sudah memperlihatkan jawaban pria itu. "Enggak sih." Pria itu menjeda ucapannya karena mengunyah makanannya terlebih dahulu. Perutnya sudah meronta-ronta, kasihan jika harus diisi setelah percakapan random mereka. "Gimana kalau aku ganti pakai aset aku aja, Di?" tanyanya dengan mimik serius. "Nikah sama aku, dan semua punya aku menjadi punya kamu."

Mengulas senyum lebar, Diandra menggeleng tegas. "Tawarkan saja pada wanita lain, saya bukan cewek matre!" tentu saja tidak benar. Dia juga manusia yang membutuhkan uang untuk hidup. Hanya saja terlihat materialistis di depan pria bukan lah dirinya.

"Kalau gitu kasih aku kesempatan, buat meyakinkan kamu kalau aku itu jodoh kamu."

"Lihat saja nanti." ia bergumam pelan. Toh menolak pun akan sia-sia. Lihat saja bagaimana kelanjutan dari sikap Gava. Tapi dia yakin, pria ini hanya main-main saja. Mungkin sekedar penasaran pada dirinya.

🍁🍁🍁🍁

To be continue

Cieee yang nungguin lama. Btw, pakabar guys? Sehat-sehat kan kalian?

Spam next disini ya!

Jangan pelit-pelit komen, kali aja aku jadi semangat mwehe. Jangan lupa vote juga ya!

See you...

Falling for Weird BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang