Warung-warung pinggir jalan terlihat banyak dikunjungi orang-orang. Muda mudi berpasangan ataupun bersama teman, keluarga cemara dimana sang anak sibuk meminta ini itu, juga kumpulan bapak-bapak yang terlihat asik bercengkrama di angkringan.
Menurut Diandra, tempat ini adalah surganya makanan. Dimana dia hanya perlu berjalan kaki untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Akan tetapi sudah lama ia tak berkunjung kemari. Terlebih saat menjalin hubungan dengan Gava, pria itu selalu membawanya ke restoran ternama.
Usai adegan nangis-nangis tadi, dan akhirnya Gava tahu apa penyebab kekasihnya menangis, mereka bercengkrama sambil menunggu malam tiba. Barulah keduanya pergi keluar setelah kedua sama-sama mandi, tentunya sendiri-sendiri.
"Kamu nggak ada alergi makan di pinggiran gini kan?"
Sang penerima pertanyaan menatap kekasihnya skeptis. "Kamu pikir aku cowok apaan? Gini-gini dulu waktu SMA aku sering makan di pinggiran gini ya."
"Oh ya?"
"He'em. Kamu mau makan apa?"
"Pecak bebek."
Gava menurut saja ketika tangannya ditarik. Terakhir dia makan makanan pinggir jalan seperti saat SMA dulu. Setelah menyelesaikan pendidikan dia langsung sibuk bekerja di perusahaan kakaknya. Walau sempat jadi bawahan, nyatanya dia selalu ke kantin perusahaan ataupun restoran terdekat. Menurutnya lebih simpel dan memiliki privasi, karna terkadang dia lanjut bekerja saat sedang makan.
Sama seperti kekasihnya, dia juga memesan pecak bebek. Tidak ada menu ringan yang bisa mereka pesan, jadi lah hanya menu utama dan minum saja. Karena keduanya suka minum, jadilah Diandra memesan dua es jeruk dan satu gelas air mineral.
"Dulu aku sering jajan disini. Nggak terlalu jauh, makannya juga enak-enak." Diandra memulai pembicaraan saat keduanya baru saja duduk. "Sebelah kanan tempat ini, ada martabak langganan aku. Terus nanti ke kanan lagi, selisih berapa gitu aku agak lupa, ada telor gulung. Kadang seminggu aku bisa sampai empat kali kesini. Selain beli jajan, aku juga suka keluar waktu malem. Sumpek sih, tapi lumayan lah buat cari angin."
Gava bertopang dagu, menatap Diandra yang duduk di seberangnya. Mereka hanya dipisahkan meja kecil, duduk lesehan membuat jarak mereka tidak terlalu jauh. Matanya menikmati ekspresi kekasihnya yang berubah-ubah saat bercerita. Terlihat senang ketika menceritakan kegiatannya jajan sepulang kerja.
"Kalau kamu, jarang jajan di pinggiran gini ya?"
Mendapat pertanyaan tersebut, Gava terlihat berpikir. Mengingat-ingat kenangan yang sudah cukup lama. "Waktu SMA, kadang jajan gitu, tapi bukan disini. Ada tempat juga yang penuh pedagang kaki lima dekat sekolah dulu. Pulang sekolah kadang mampir kalau diajakin sama mantan."
Lugas Gava menjawab, namun saat melihat perubahan riak diwajah Diandra. Dia merasa baru saja melakukan kesalahan.
"Ouh, jadi yang bawa kamu jajan dipinggiran itu mantan kamu. Dejavu nggak?"
"Sayangku, cantikku... Itu udah lama banget. Jaman SMA, waktu masih jadi remaja labil. Lagian udah agak lupa, yakali dejavu segala."
Tak ada yang salah dari cerita Gava. Bukan hanya pria itu, dia juga memiliki mantan kekasih. Banyak hal yang mereka lakukan dan terulang saat bersama Gava. Seharusnya dia biasa saja. Tapi entah kenapa dia sensitif saat mendengar kata mantan. Terlebih dia tidak suka jika disama-samakan.
"Di..."
"Ah, iya?" Ternyata dia habis melamun tadi. "Maaf, kayaknya bentar lagi aku mens deh. Mood aku jadi nggak jelas."
Gava tersenyum maklum. Tangan pria itu terulur, mengusap sisi kepala kekasihnya lembut. "Nggak pa-pa, nanti kita cari banyak jajan biar mood kamu bagusan ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for Weird Boss
Romance[#6 Wiratama's] Diandra merasa beruntung bisa menjadi sekretaris seorang Reza Wiratama. Bukan karena bos-nya itu tampan, melainkan gaji yang sangat menunjang hidupnya. Lagipula sang bos sudah mempunyai istri, mana berani dia berpikir macam-macam. Ke...