FFWB || 01. Weird Boss

8.4K 616 28
                                    

Memasuki divisi keungan, Diandra meringis melihat kesibukan orang-orang di dalamnya. Wajah-wajah suram yang terlihat tertekan. Walau baru satu bulan bekerja disini, dia sudah cukup mengenal orang-orang divisi ini. Sebagian orang-orangnya kebanyakan kurang waras, saat bercanda maka tidak akan ingat dunia, jika melihat wajah stress mereka saat ini, Diandra cukup memaklumi kegilaan mereka saat bercanda.

"Ngapain kesini lo?!" suara ketus itu tidak membuatnya takut. Malahan dia menyengir lebar seraya mengangkat sebuah map. Dari cara penyambutan Mbak Dena, ia tahu jika wanita itu sudah menebak jika pekerjaan mereka akan bertambah.

"Titipan dari bos besar," ujarnya seraya memberikan map tersebut pada Mbak Dena. "Langsung kalian aja yang kerjain katanya, soalnya Pak Bian lagi sibuk."

Brak!

Sembari mengusap dadanya, Diandra mengumpat dalam hati. Memang bar-bar sekali orang-orang disini. "Bos lo nggak kira-kira amat sih ngasih kerjaan! Nggak lihat apa kita udah mendekati kata depresi beneran ini?"

"Hehe," cengir Diandra sembari menunjukkan raut wajah -itu bukan salah gue. Lagipula dia kan sama seperti mereka, hanya kacung dari Gava Wiratama. Dia hanya menjalankan tugas. "Sama laporan keuangan parfum tiga bulan terakhir udah siap? Diminta sama bos."

Beginilah jika mendekati rapat besar yang dilakukan tiga bulan sekali. Kenapa dalam kurun waktu cepat? Menurut informasi dari para seniornya, itu agar perusahaan tetap dalam kontrol. Jika ada masalah bisa dipecahkan dengan cepat. Karena sayap Wiratama semakin melebar, jika tidak seperti ini ditakutkan akan ada yang terbengkalai nantinya. Ini juga alasan pemecahan anak perusahaan TM Corp menjadi Wiratama Group.

Mendengar cerita dari para seniornya hanya membuat Diandra bergidik. Sebenarnya sebanyak apa harta para Wiratama? Membayangkannya saja membuat kepalanya pusing. Memiliki uang sebanyak satu miliar saja ia belum pernah, sedangkan di keluarga ini uang segitu bisa digunakan untuk bersenang-senang saja. Benar-benar perbandingan yang sangat jauh.

"Nanti gue yang anterin ke lo, bentar lagi kok beneran. Bilangin sama bos biar sabar ya?"

Kepalanya mengangguk kemudian berpamitan darisana. Pengalamannya bekerja selama satu bulan dengan Gava, ia mengetahui sikap Gava yang cukup santai walau sering menyulitkan bawahannya. Asalkan tidak kepepet, Gava akan memberikan kelonggaran pada karyawan-karyawannya.

"Di, menurut lo kalau kita ngeluarin produk coklat bakal pada tertarik nggak ya?"

Yang diutarakan bos-nya ini, menurutnya bukanlah sebuah ide brilian yang langka. Produk coklat, siapa saja bisa mencetuskan bukan? Hanya saja yang menyebalkan adalah, ide-ide biasa milik Gava kerap kali bermunculan.

Contohnya, minggu lalu Gava juga meminta pendapatnya tentang mengeluarkan produk kopi. Akan tetapi pria ini tidak mau kopi biasa dengan harga merakyat. Mungkin sekitar dua puluh ribu persaset. Sedangkan pria ini mau semua orang meminum kopinya, alias masuk sampai ke desa-desa kecil. Dia pikir orang pedesaan akan meminum kopi seharga di cafe? Sebagai orang yang pernah hidup di desa, jelas dia tidak setuju dengan pemikiran bos-nya.

"Kalau Bapak memang ingin menetapkan harga segitu, berarti target Bapak hanya orang-orang perkotaan. Lalu Bapak bisa mengimpornya sebagaimana produk Bapak yang lain."

"Gitu ya?" Gava nampaknya bisa menerima masukan dari Diandra. "Tapi jangan dulu deh, gue belum nemu kebun kopi yang pas. Lagian produk Teh kita juga belum launching."

ITU TAHU! Ingin rasanya Diandra berteriak di samping telinga bos-nya ini. Produk terbaru mereka bahkan belum launching, tapi bos-nya ini sudah memiliki pemikiran lain. Untuk anggaran dana mungkin bisa dicukupi, tapi keperluan lainnya? Dari tempat hingga pekerja, belum juga pakar-pakarnya. Haish, kenapa dia juga yang ikut pusing? Lagipula kenapa bos-nya ini tidak setia dengan satu produk saja sih? Hanya karena minum teh beliau tiba-tiba berpikir ingin membuat produk minuman botol tersebut.

Ini juga yang membuat bawahannya tertekan. Untuk informasi saja, divisi keuangan tidak hanya satu di gedung ini. Kenapa? Mereka bisa stress jika mengurus semuanya sendiri. Setidaknya sudah ada lima produk yang dikeluarkan Gava --dan jika dilihat tidak begitu nyambung. Ada parfum, ada juga minuman botol. Gava benar-benar terlihat bekerja semaunya sendiri, anehnya, perusahaan ini malah maju pesat.

"Katanya Bapak pengin ngeluarin varian baru dari parfum Bapak."

"Emang nggak bisa bareng-bareng?"

Menurut ngana? Lagian, apa Gava tidak pusing mengurus banyak dokumen?

"Menurut saya, Bapak fokus saja dengan yang sekarang. Mungkin Bapak bisa mengeluarkan produk baru tahun depan."

Bos-nya nampak berpikir. Memangnya sebanyak apa sih warisan anak ini sampai terus melebarkan sayap tanpa pikir panjang.

"BTW, Di, lo kan orang Jawa. Kenapa nggak manggil gue Mas aja ketimbang Bapak?"

Kenapa malah pembicaraan mereka melenceng jauh seperti ini. Dari pembahasan produk menjadi panggilan.

"Itu tidak sopan, Pak." sebisa mungkin ia tetap menjaga sopan santunnya. Ingat, dia baru saja menerima gaji. Tidak boleh emosi, nanti pulang bekerja dia akan mampir ke cafe agar jiwanya kembali tenang.

"Coba manggil gue make mas." ujar Gava tak mengindahkan ucapan sekretarisnya.

"Tidak bisa Pak." sopan santun masih tetap terjaga hingga saat ini.

"Karena gue lebih muda?"

Akhirnya sadar! Bos-nya ini memang lebih muda darinya walau hanya satu tahun. Meski begitu tidak etis kan kalau ia memanggil Gava dengan sebutan 'mas' sedangkan dia sendiri lebih tua. Jika tidak mengenal sih tidak apa-apa. Seperti tukang batagor yang ia panggil 'mas' karena tidak tahu namanya.

"Bukan Pak, tapi panggilan 'mas' terlalu pasaran. Tukang ojek saja dipanggil 'mas', bapak mau disamain sama tukang ojek?"

Ada kerutan samar di dahi bos-nya ini. Ia kira Gava akan setuju dengan ucapannya, ternyata salah. "Memang kenapa dengan tukang ojek? Gue sama mereka itu sama, sama-sama manusia."

Benar juga. Haish, kenapa jadi dirinya yang terlihat seolah merendahkan pekerjaan orang lain? Padahal bukan itu maksud ucapannya. Mengatur emosinya, ia tersenyum sopan pada atasannya ini. "Kalau sudah tidak ada yang diperlukan, saya undur diri, Pak."

Tangan kanan Gava terangkat, mengibas tanda mengusir. "Kenapa nggak dari tadi coba, buang-buang waktu gue kerja."

Sabar, Di, sabar... Orang sabar pantatnya lebar. Mantep nggak tuh?

Masih dengan senyum penuh sopan santun ia keluar dari ruangan luas namun terasa pengap itu. Bisa tidak sih dia mendapat bos yang lebih layak gitu? Tapi dengan gaji besar juga. Untuk mencapai kesejahteraan, selalu ada rintangan bukan? Yeah, dia harus tetap semangat sampai tabungannya cukup untuk membeli perkebunan puluhan hektar.

Semangat, Di!

🍁🍁🍁🍁

TO BE CONTINUE

Yuhuuuu, aku up lagi, rajin gak tuh?

Aku gamau jadwal up buat sementara, karena jaringan disini nggak pasti. Kalau misal aku janji hari minggu tapi sinyalnya nauzubillah kan kasian kalian kena PHP. Jadi aku up tergantung mood.

Gimana sama part ini? Suka gak?

Jangan lupa komen sama vote banyak-banyak ya biar aku semangat. See you....


Nih mbak Di yang cuma bisa nahan kesel liat bosnya

Falling for Weird BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang