👀 Cukup Tau - Empat

2.2K 220 6
                                    

Aku terdiam, mengerjapkan mataku tak percaya. Apa-apaan ini? Kenapa ada Kak Avin di sini? Jangan bilang—

"Selamat pagi Pak Avin."

Kulihat Teh Pipit yang berdiri diikuti oleh Geno dan Nena. Jadi ... apa yang aku takutkan terjadi.

Bertemu kembali dengan dia. Orang yang menyakitiku tanpa harus mengenal dan saling berbicara.

"Hana."

"Kak Hana."

"Gerhana!"

Aku tersentak saat mendengar panggilan dari Teh Pipit, yang langsung membuatku berdiri mengikuti yang lain. Menyambut Kak Avin yang sekarang akan menjadi kepala divisi kami yang baru.

"Pagi," sapa Kak Avin tegas dan terlihat datar. "Langsung ke inti ya. Ezra, maksud saya Pak Ezra sudah mengonfirmasi pada dewan direksi. Kita sebagai pihak penanggung jawab harus menunggu dulu."

Awalnya kami sempat kaget karna dia langsung membahas pekerjaan alih-alih perkenalan terlebih dulu.

Kak Avin menatap kami satu persatu, kemudian seakan sadar dia langsung berdehem.

"Maaf saya lupa," ujarnya yang ternyata menyadari jika dia memang bersalah. Bahkan berdosa.

Astagfirullah sabar, Han. Gak boleh pake emosi.

"Nama saya Avin," ujarnya singkat, padat, dan jelas membuat kami awalnya cengo namun hanya manggut-manggut saja.

"Kembali ke topik awal. Mungkin setelah makan siang beliau akan menginformasikannya kepada kita," jelasnya dan duduk di mejanya. Tepat di sebelah mejaku dan Nena.

Sungguh, aku berharap dia tidak mengenaliku saat ini. Jujur saja, melihatnya kembali semakin membuatku merasa malu.

Malu karna sudah menjadikan diriku sendiri sebagai lelucon kakak kelas, bahkan angkatanku sendiri. Karna pengiriman surat cinta merah muda itu.

"Lo ... udah gak suka kan sama Bang Avin?"

Aku menoleh menatap Iren yang menyembulkan kepalanya dari balik papan pembatas kami.

"Gak," jawabku yakin.

Semoga saja memang beneran yakin. Tidak hanya yakin dimulut saja.

"Bagus deh. Soalnya Bang Avin gak berubah. Kakuk kayak kanebo kering," bisik Iren dan menarik kepalanya kembali.

Aku mendengus, mencoba fokus pada layar komputerku. Menghilangkan si kanebo kering sejenak dari pikiranku.

Lagi-lagi aku mendengus, marah pada dalam hatiku karna kesal. Apakah dunia sedang mencoba mentertawaiku? Membuatku merasa malu dan memberitahuku jika aku memang belum bisa melupakan masa lalu yang mungkin sudah dia lupakan.

"Saya belum kenal nama kamu. Bisa kamu sebutkan nama kamu? Karna saya ingin membahas sesuatu bersama kamu."

Aku mendongak. Menatap Kak Avin yang sudah menyandarkan separuh badannya di papan pembatas dan sebelah tangannya dia taruh di atas papan pembatas dengan wajah yang sungguh sangat minta di tampol.

"Siapa nama kamu?" tanyanya yang terdengar lebih mendesak.

Aku menghela napas kasar. "Gerhana, Pak," jawabku pelan namun aku yakin dia masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Hah? Siapa?" tanyanya lagi yang seakan tidak mendengar apa yang aku ucapkan barusan.

"Gerhana, Pak. Nama saya Gerhana," cetusku dengan penekanan ekstra.

"Oh Gerhana," ucapnya. "Gerhana yang delapan tahun lalu kirim surat merah muda itu bukan? Yang bilang asam cuka sama saya?"

Aku yang mendengar itu spontan langsung mendongak, melotot ke arahnya. Apakah dia baru saja mengingatkanku pada masa lalu memalukan itu.

Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang