Aku menghela napas lega, mendudukkan bokongku di kursi kantorku. Dan menyandarkan punggungku merasa lelah.
Barusan aku menanyai Mba Firda tentang kantor cabang di Surabaya. Keputusanku sudah bulat ... jika aku ingin memutasikan diri ke sana.
Lagi pula jika aku pindah ke Surabaya, itu artinya aku tidak akan jauh dari Bunda, Ayah, dan adik-adikku.
Jujur aku sangat merindukan mereka, dan berharap bisa bersama lagi dengan mereka.
Dulu memang impianku yang ingin berkuliah dan kerja di Jakarta. Namun sekarang itu bukanlah lagi impian.
Impian yang berubah menjadi ketakutan.
Aku kira, Papa dan Mama masih tinggal di Surabaya. Tapi gak taunya, selama ini mereka berada dekat denganku dan aku tidak menyadari akan hal itu.
"Oey!"
Aku menoleh, menatap Iren yang mendorong kursinya hingga melewati papan pembatas dan menatapku.
"Besok sabtu," ujarnya dan membuatku mengernyit.
"Kalau sabtu emang kenapa?" tanyaku heran namun terkekeh diakhir pertanyaanku. Lagian Iren ada-ada saja, aku juga tau jika besok hari sabtu. Yang artinya kami libur selama dua hari hingga senin tiba kembali.
"Main yuk," ajaknya. "Gue bosan banget. Ke Dufan atau ke mana kek. Nonton juga boleh," lanjutnya dengan helaan napas yang khas seperti orang frustrasi.
Aku terkekeh dan mengangguk. "Kita nonton," ujarku yang membuat Iren tersenyum berbinar mendengarnya. "Ada masalah lagi sama Pak Ezra?" tanyaku ketika melihat gurat sedih dari wajah Iren.
Dia menggeleng. "Bukan sama Pak Ezra," sahutnya. "Tapi sama diri gue sendiri," lanjutnya dan menghela napas lagi. Engah sudah berapa kali aku mendengar helaan napasnya.
"Kenapa sama lo?" tanyaku dan meliriknya lewat ujung mataku karna kepalaku yang bersender.
Iren terlihat menaikkan bahunya. "Gue gagal ya?" Aku mengernyit. "Jadi sahabat lo," lanjutnya dengan nada suara merasa bersalah.
Aki bergerak, menggeser posisi tubuhku hingga menatapnya sepenuhnya. "Maksud lo?" tanyaku tidak mengerti topik apa yang akan kami berdua bahas.
"Gue tau lo ada masalah kan, Han?" tanyanya dan menatapku membuatku hanya diam menatapnya. "Semalam lo gak pulang karna lo takut ketemua gue? Lo takut gue tau?" tanyanya lagi dengan nada kecewa bercampur sedih.
Lidahku kelu. "Kok lo tau?" tanyaku pelan menatapnya tidak percaya. Tidak mungkin juga Kak Avin mengatakan itu kan pada Iren.
"Semalam gue sama Ersy mau antar berkas ke Pak Dera, dan ngeliat lo nangis dipelukan Bang Avin." Iren menjeda, menarik napasnya. "Apa gue gak boleh tau permasalahan lo? Setelah gue anggap lo adalah orang yang harus tau permasalahan gue?"
Aku menggeleng, bukan itu. "Gak gitu, Ren." Aku mencoba menjelaskan. "Gue cuma belum siap," lanjutku dan menunduk.
Kurasakan elusan lembut dilengan kiriku dan ketika aku mendongak, Iren tersenyum lembut. "Sorry. Gue terlalu memaksa lo. Seharusnya gue gak lakukan itu," ucapnya merasa bersalah.
Aku menggeleng. "Gak papa," jawabku dan tersenyum. "Boleh kan kasih gue waktu?" tanyaku dan Iren mengangguk.
"Boleh. Silahkan," sahutnya yang membuatku merasa lebih lega sekarang.
Awalnya aku mengira pertemananku dengan Iren sudah berakhir dan waktu lah yang mengakhiri itu semua.
Tapi sekarang aku sadar, jika waktu juga bisa memulai kembali kisah yang belum tamat. Dan waktu juga bisa membawa kita berenang dalam lautan masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Tau [Tamat]
Ficción GeneralCERITA 4 [ꜱɪʟᴀʜᴋᴀɴ ꜰᴏʟʟᴏᴡ ᴛᴇʀʟᴇʙɪʜ ᴅᴜʟᴜ ꜱᴇʙᴇʟᴜᴍ ʟᴀɴᴊᴜᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ.] {CERITA INI AKAN MEMBUATMU KESAL DAN MEMUKUL GULING YANG ADA} 𝚂𝚙𝚒𝚗-𝙾𝚏𝚏 𝙺𝚘𝚜-𝙺𝚘𝚜𝚊𝚗 𝙼𝚊𝚗𝚝𝚊𝚗. "Kalau aku CH ₃CO ₂H sama kamu, boleh kan?" "Lambang nomor atom 31." ~***~...