👀 Cukup Tau - Lima

2.1K 216 15
                                    

Seperti biasa, saat jam istirahat aku dan Nena selalu makan berdua. Tapi kali ini berbeda, kami menjadi bertiga. Ada Iren yang ikut bergabung denganku dan Nena.

Siang kali ini, kami berdua memilih untuk makan ketoprak. Agak jauh memang dari kantor, tapi kami tidak keberatan. Hanya membutuhkan sepuluh menit berjalan saja sudah terbalaskan dengan rasa kenyang dan enaknya ketoprak.

"Kepala divisi kita yang baru itu ... lebih galak sih dari Pak Sukma? Kalau kata aku sih iya," celetuk Nena dan mengelap bibirnya dengan tisu.

Kami memang baru saja selesai makan, dan Nena pun baru bisa angkat berbicara.

"Tapi sebenarnya Bang Avin tuh gak galak kok. Dia baik. Baik banget malahan," terang Iren yang sepertinya tidak setuju dengan ucapan Nena.

Dapat terlihat kening Nena yang mengernyit. "Abang? Kak Iren adeknya Pak Avin?" tanya Nena kaget, bahkan dia sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang masih memegang tisu kotor.

"Iya. Hanya adek sepupu," jawab Iren membenarkan. "Nama belakang kami kan sama. Wirdana," lanjutnya.

"Wirdana? Kayak nama rumah sakit gak sih? Yang di persimpangan itu," tanya Nena menatapku dan Iren bergantian.

"Iya. Rumah sakit itu punya keluarganya Iren." Kali ini yang berbicara adalah aku.

Nena melotot, menatap Iren dengan tatapan tidak percaya. "Serius Kak Iren?" tanyanya memastikan dan Iren mengangguk membenarkan.

"Eh tapi." Nena mencondongkan tubuhnya ke arah kami.

Memang aku dan Iren duduk bersampingan, sedangkan Nena duduk sendiri di hadapan aku dan Iren.

"Kan Kak Iren punya rumah sakit—"

"Rumah sakit keluarga aku, bukan punya aku," sela Iren membenarkan dan Nena hanya mengangguk.

"Iya itu maksud aku," sahutnya. "Kenapa Kak Iren sama Pak Avin gak kerja aja di Wirdana Hospital? Kenapa melamar ke kantor kita?" tanyanya dan melirikku.

Kali ini aku setuju dengan Nena. Aku juga bingung dengan pikiran para orang kaya. Padahalkan aku sangat tahu, jika keluarganya Iren tuh tajir melintir.

Papanya saja mewarisi rumah sakit swasta terbesar di Jakarta. Dan Mamanya adalah seorang penulis film yang karyanya selalu bergantian masuk bioskop.

"Pengen yang beda. Kerja di bawah keluarga tuh terkadang gak enak. Aku gak mau merasa diistimewakan. Makanya aku dan Bang Avin memilih untuk bekerja keras sendiri," jelas Iren yang membuatku dan Nena mengangguk paham.

"Kamu sendiri kenapa? Bukannya Ayah kamu punya start-up? Udah semakin membesar aku dengar," tanya Iren menatapku.

Dan kali ini pusat perhatian tertuju padaku membuatku berdehem sebelum menjawab, "Garis besarnya sih hampir sama kayak yang Iren katakan tadi. Dan yang lainnya, karna aku ingin mandiri dan suka berjuang sendiri dengan keras."

Nena menatapku dan Iren dengan tatapan takjub kemudian dia bertepuk tangan yang membuatku dan Iren saling melirik. Bingung dengan tingkah Nena yang memang terkadang membingungkan.

"Keren sih pemikiran kalian," ujarnya. "Kalau orang kaya tuh bebas ya. Beda dengan orang sederhana seperti aku, yang kerja di kantor ini saja rasanya susah dan sangat beruntung. Tinggal aja gak di apartemen, tapi ngekos. Pengen deh ngerasain jadi orang kaya, sehari aja gak papa."

Aku dan Iren terkekeh kemudian menatap Nena yang sepertinya sedang membayangkan sesuatu.

"Boleh yuk nginep di rumah aku, mau gak?" tawar Iren yang membuat Nena langsung menggeleng.

Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang