👀 Cukup Tau - Duapuluh Delapan

1.4K 175 15
                                    

Aku mengeratkan selimut yang kupakai, memejamkan mata sebentar dan membukanya kembali. Rasanya badanku tidak enak.

Aku mendongak saat melihat sebuah gelas yang mendarat di atas meja yang diletakkan.

Kak Avin menatapku dan memberikan isyarat lewat dagunya agar aku meminumnya, kemudian dia duduk di sampingku.

Aku meliriknya. "Apa gak papa kalau saya pulang di jam segini?" tanyaku agak takut jika aku akan mendapat surat peringatan karna pulang saat jam kerja dan tanpa izin.

"Saya leader kamu, dan itu urusan saya," sahutnya santai.

Aku mengangguk dan mengeluarkan tanganku dari selimut, berniat ingin mengambil gelas yang tadi Kak Avin letakkan di atas meja.

"Kenapa kamu bisa ke gudang?" tanya Kak Avin yang membuatku menoleh.

"Oh itu. Mau ambil tinta printer," jawabku jujur dengan tangan yang sudah menggapai gagang mug dan mengangkatnya, mendekatkan padaku.

"Kak eh Pak Avin kenapa bisa ada di gudang?" tanyaku dan dia terlihat menggaruk kepalanya yang entah gatal atau hanya spik.

"Hanya lewat," sahutnya sekenanya dan aku mengangguk.

Mengarahkan mug yang sedang kupegang ke arah bibirku dan menghirup harum teh yang membuatku merasa nyaman.

Setelah tadi Kak Avin yang tiba-tiba datang dan memelukku, lalu membawaku keluar dari gedung hingga aku sampai di apartemennya yang ternyata sangat dekat dengan kantor. Aku dan Kak Avin sama sekali tidak berbicara. Dan baru berbicara barusan.

"Gerhana," panggilnya dan aku hanya menjawab dengan berdeham karna sibuk menyeruput teh hangat yang dia buatkan.

"Tehnya enak, Pak. Harum melati," ujarku dan tersenyum. Merasa nyaman hanya dengan mencium harumnya.

"Boleh saya tanya?"

Aku menoleh, menatapnya dengan mengernyit. "Ya. Tanya apa?"

Kak Avin menggaruk dagunya. "Boleh saya tau, kamu kenapa?" tanyanya membuatku mengernyit lagi.

"Kenapa gimana?" tanyaku balik yang malah ikutan bingung.

"Lupakan."

Aku menatapnya heran. Kak Avin kenapa sih. Bukannya tadi dia sedang bertanya, kenapa malah menyuruhku melupakannya. Aneh.

"Pak Avin balikan sama Sandra? Keliatan care bang—" belum juga aku menyelesaikan kalimatku, Kak Avin main menyerobot saja.

"Kenapa? Kamu cemburu?"

Aku menatapnya kaget. "Lah. Siapa juga yang cemburu? Saya cuma mau bilang, jangan terlalu kentara saja, gak enak sama yang lain," ujarku menolak tuduhan sepihak yang dia ucapkan.

Kak Avin berdecak. "Sudah deh. Kalau cemburu ya bilang. Masih suka kan kamu sama saya. Jujur saja deh," pungkasnya yang membuatku geram saja mendengarnya.

"Lambang nomor atom 31," jawabku mengikuti jawaban yang dia berikan delapan tahun lalu.

"Tuh kan masih inget apa yang saya katakan saat delapan tahun lalu," ujarnya menggodaku dan itu membuatku berdecak.

"Bapak juga ngapain masih ingat? Bukannya Bapak duluan yang mengatakan kalimat tadi?" Aku membalikkan, tidak ingin jika hanya aku yang tersudutkan sekarang.

"Jelas saya ingat. Saya kan punya ingatan yang kuat," sahutnya menyombongkan diri.

"Kata Nenek, orang sombong tuh azabnya mati disambar geledek, Pak," ujarku ngasal dan menjual nama Nenek. Siapa tau dia tidak akan sombong lagi nanti.

Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang