👀 Cukup Tau - Tujuh

2K 237 11
                                    

Sudah seminggu Kak Avin menjadi kepala divisi kami yang baru. Dan itu artinya sudah seminggu juga darahku selalu mendidih ketika berbicara dengannya.

Ada rasanya aku ingin mencabik-cabik bibir julidnya itu. Tapi untunglah aku masih diberi kesadaran. Aku tidak ingin pekerjaanku menjadi jaminannya jika aku memalukan hal buruk kepada kepala divisi banyak omong itu.

Seperti halnya pagi ini. Baru saja aku mendudukkan bokongku di kursi sehabis dari pantry untuk membuat teh hangat. Kak Avin sudah berdiri di samping papan pembatas mejaku dan bersandar setengah badan.

"Kopi saya mana?"

Aku mendongak, menatapnya sinis. Ini masih pagi loh, dan dia sudah membuat moodku buruk saja ketika bertemu dengannya.

"Kopi Bapak akan dibuatkan oleh Teh Eli," jawabku yang masih berpura-pura sabar dan kembali menoleh menuju berkas di atas meja kerjaku.

"Saya maunya kamu yang buat."

Astagfirullah. Kenapa sih. Bisa tidak sih laki-laki satu ini membuat hidupku tenang sedikit. Semenit saja.

"Kopi Bapak akan dibuatkan oleh Teh Eli," ucapku dengan penegasan di setiap katanya. Sebenarnya dia tuh dengar gak sih.

"Saya maunya kamu yang buat."

Aku menatapnya tajam. "Pak. Bapak bisa gak sih tiap pagi gak ngancurin mood saya dulu? Bentar lagi saya ada presentasi, jangan bikin saya bad mood dulu bisa?" aku menatapnya dengan berharap.

Seharusnya aku tahu. Mau aku jungkir balik atau kayang pun, Kak Avin tidak akan pernah peduli sebelum keinginannya terkabul.

"Gak bisa," jawabnya santai membuatku berdecak sebal dan memutar kursiku membelakanginya.

"Kopi saya, Gerhana."

Menyebalkan. Muak aku mendengar suaranya, aku langsung berdiri dan mendorong kursiku agar sedikit menjauh dengan sebal. Menatapnya penuh permusuhan sebelum kakiku berjalan menuju pantry.

Punya dosa apa sih aku bisa bertemu kembali dengannya. Dan kenapa juga dulu aku menyukainya. Orang menyebalkan yang pernah aku temui.

"Gulanya setengah sendok. Jangan lupa," teriaknya yang tidak aku jawab. Karna aku sudah malas meladeni ocehan menjengkelkan darinya.

Di pantry ternyata masih ada Nena. Dia tersenyum saat melihatku dengan tangan yang sedang mengaduk coklat hangat buatannya.

"Kok balik lagi, Kak?" tanya Nena membuatku mendengus dan dengan kasar mengambil mug pink secara asal.

"Ini sih parah, Na. Lebih parah dari Pak Sukma. Bawaannya bikin emosi mulu," cetusku dengan dada yang naik-turun.

Nena terlihat mengernyit. Mungkin bingung apa yang sedang aku bicarakan itu apa.

"Ada masalah lagi sama si Bapak?" tanya Nena membuatku menoleh menatapnya.

"Ini sih bukan masalah lagi. Tapi udah overdosis masalah. Sampai emosi sendiri aku," keluhku dan mengelus dadaku sendiri, mencoba menenangkannya.

Kurasakan tangan Nena yang menyentuh pundakku dan meremasnya pelan. "Sabar ya, Kak."

Aku hanya mengangguk dan kembali menyelesaikan pembuatan kopiku. Setelah selesai aku langsung berjalan kembali menuju meja divisi kami.

Menaruh kopi bermug pink itu di atas meja Kak Avin. Laki-laki itu sedang fokus menatap layar monitor dengan kacamata yang bertengger di tulang hidungnya yang mancung, dan sebelah tangannya yang menyanggah pipinya.

 Laki-laki itu sedang fokus menatap layar monitor dengan kacamata yang bertengger di tulang hidungnya yang mancung, dan sebelah tangannya yang menyanggah pipinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang