👀 Cukup Tau - Duapuluh Satu

1.6K 176 6
                                    

Aku mendongak, melirik Kak Avin sekilas dan melanjutkan aktivitasku membuka lembaran-lembaran map yang dia berikan padaku.

"Kenapa sih, Pak? Dari tadi melototi saya terus?" tanyaku dan menjilat sedikit tanganku untuk mempermudahku untuk membuka lembaran berikutnya.

"Kamu ngapain sih? Harus banget dijilat-jilat gitu?"

Aku mendongak, menatapnya yang menatapku dengan tatapan gelinya. Ingin tertawa tapi takut disentak.

"Biar gampang nyari halamannya. Kan Bapak yang suruh saya nyari halaman materi buat rapat ini," jelasku dan dia meneguk kopinya.

"Kebiasaan kamu jorok sekali," sindirnya yang tentu saja aku bodoamatin. Lagi pula aku sama sekali tidak takut jika dia merasa ilfil padaku.

Ponselku berdering membuatku menoleh dan segera mengangkat panggilan telepon dati seberang sana.

"Ya, Ren?"

Aku menatap Kak Avin yang juga menatapku saat aku menyebutkan nama Iren.

"Gue udah bawa barang. Mau pindah. Lo kapan balik?"

"Masuk aja ke apartemen gue, Ren. Sandinya ulang tahun gue. Masih inget kan?" tanyaku yang ragu jika Iren masih mengingatnya.

"Iya iya masih dong. Gue langsung bawa masuk ke atas ya."

"Iya bawa aja."

"Okay. Hati-hati di jalan gue tunggu di apartemen."

Aku tersenyum dan memutuskan panggilan telepon secara sepihak kemudian kembali menaruh ponselku di tempat yang semula.

"Iren sudah pindah?" tanya Kak Avin memperhatikanku dan aku mengangguk.

Baru saja Kak Avin ingin bicara lagi, seseorang menghampiri kami yang tidak tahunya adalah client kami hari ini. Ada rapat pun dimulai.

Setelah rapat yang kurang lebih memakan waktu satu setengah jam. Aku dan Kak Avin memutuskan untuk langsung kembali ke Jakarta.

Saat lampu merah dan motor Kak Avin berhenti, aku mencondongkan tubuhku ke arah Kak Avin.

"Pak Avin tadi kelihatan akrab banget sama Om Ajun," ujarku memulai pembicaraan.

Kak Avin yang tadinya sedang menatap rambu lalu lintas yang menunjukkan angka merah terhitung mundur itu melirikku.

"Selera kami sama," sahutnya dan aku mengangguk.

"Kata Tante Gena. Jarang dia lihat Om Ajun akrab sama orang, apalagi sampai ngobrol panjang begitu," jelasku memberitahu apa yang Tante Gena bilang padaku tadi.

Terlihat Kak Avin tersenyum miring. "Tante kamu buta," ujarnya yang malah mengatai Tante Gena.

Baru saja aku ingin menyahutinya dan memarahinya, Kak Avin tiba-tiba saja menarik gas motornya yang membuat badanku tertarik ke belakang dan kaget.

Tanganku secara otomatis memukul punggungnya sebal. Kebiasaan sekali di kalau habis berhenti narik gasnya begitu. Untung saja aku selalu siap siaga, ya meskipun kadang ikutan ngajol juga.

"Maksud Kak Avin apa ngatain Tante Gena buta?" tanyaku emosi, tidak terima jika Tante terbaikku dikatai begitu.

Kak Avin melirikku dan mendengus. "Kamu pikir dong, Gerhana," ujarnya. "Gak ada seorang laki-laki yang tidak mencintai wanitanya, ketika dia yakin memilih wanita itu sebagai ibu dari anak-anaknya."

Aku mengernyit mendengarnya. "Tapi banyak orang bercerai dan laki-laki pun meninggalkan wanitanya dan anaknya. Kan?"

Kak Avin berdecak. "Itu beda lagi," sahutnya. "Kamu tau gak sih, perbedaan laki-laki tulus sama enggak?" tanyanya yang tentu saja kujawab dengan gelengan kepala.

Cukup Tau [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang